Jadi aku mendapat notifikasi dari Google Cloud Platform (GCP).
Jika Anda mengklik tautan rekomendasi untuk berhemat (“Save $59 / mo”), maka Anda akan diberi saran seperti ini:
GCP bilang, “Hei, VM kamu ada yang nganggur, jadi mending dimatikan saja biar kamu bisa hemat. VM yang nganggur itu VM SwanLove, Mamba, dan API PredictSalary.” ðĪĢ
Oh, ya ada dua VM untuk PredictSalary. Satu untuk situsnya yang populer sekali karena orang bisa melihat gaji-gaji orang lain. Satunya lagi VM untuk API yang memprediksi gaji dari lowongan pekerjaan. Yang satu laku, yang lain tidak.
You can do anything, but you cannot do everything
Hal ini membuat aku merenung. Selama ini sebagian proyek aku terbelangkai karena kurang perhatian dari aku sehingga akhirnya proyek itu ketinggalan jauh daripada kompetitornya.
Oke, aku ringkaskan proyek-proyek aku yang berjibun di GCP biar Anda bisa menghayati perjuangan batinku:
ArjunaSkyKok dot com (lahir Maret 2020): blog yang sedang Anda baca ini. Ia membahas dunia perintis (startup) di Indonesia dan dunia.
PredictSalary (lahir Juli 2020): pengaya perambah (browser extension) yang memprediksi gaji dari lowongan pekerjaan. Ada juga fitur orang-orang berbagi gaji dan melihat gaji.
ParttimeCareers (lahir Januari 2021): situs lowongan pekerjaan paruh-waktu.
SwanLove (lahir November 2020): situs jodoh berdasarkan Linkedin.
Mamba (lahir September 2019): kerangka pengembangan proyek Ethereum.
Pembangun (lahir April 2021): forum pengembang mandiri (indie hackers) Indonesia.
Nah, belum lagi ada hasrat mencari pekerjaan profesional lagi dan tawaran berbisnis B2B dari teman.
Aku selama ini konsentrasinya terpecah belah. Aku tidak fokus ke proyek aku. Aku mengerjakan semuanya secara dangkal. Jadi hasil mereka ada yang tidak optimal. Tapi ada juga yang menunjukkan potensinya walaupun aku mengerjakannya tidak penuh waktu.
Hal ini juga membuat aku frustrasi karena aku merasa bersalah mengabaikan sebagian proyek aku. Jika aku mengerjakan proyek A, maka proyek B terabaikan. Jika aku mengerjakan proyek B, bagaimana dengan proyek C?
Aku punya banyak fitur yang aku ingin kerjakan di proyek A, B, C, E, F. Tapi waktu aku cuma 24 jam sehari dan aku butuh tidur 8-9 jam sehari.
Lalu aku mengevaluasi proyek-proyek tersebut. Bagaimana hasilnya? Proyek mana yang pantas untuk dilanjutkan dan ditekuni?
ArjunaSkyKok dot com
Aku mulai rutin menulis blog ini sejak bulan lalu (setiap minggu mengeluarkan satu artikel). Tapi sebelumnya sempat vakum lama. Blog ini lumayan disukai orang.
Keputusanku adalah aku tetap menulis blog (dan buku) ini seminggu sekali. Setiap hari Minggu. Itu saja. Aku tidak akan memusingkan masalah monetasi. Blog ini adalah ekspresi spiritual aku.
PredictSalary
Ide awalnya cuma buat lucu-lucuan saja. Tiap kali aku posting tentang gaji di Linkedin, pasti ramai. Jadi aku mencoba untuk membuat aplikasi untuk prediksi gaji dari lowongan pekerjaan dengan Deep Learning dalam bentuk pengaya perambah. Hasilnya…. hangat-hangat saja.
Penggunanya tidak sampai seribu. Dan memasukkan satu situs lowongan pekerjaan ke PredictSalary itu butuh waktu yang banyak. Tidak semua situs yang rapi seperti Techinasia. Ada yang lowongan pekerjaannya berbentuk struktur data yang tidak rapi. Harus pakai NLP untuk mengekstrak informasi. Terus ada juga situs lowongan pekerjaan yang tidak memberitahu gaji secara eksplisit. Dia mensyaratkan Anda mengisi ekspektasi gaji, baru dia kasih tahu bahwa apakah gaji di lowongan pekerjaan ini sesuai dengan ekspektasi gaji Anda tidak. Artinya saya mesti scrap berulang kali (karena mesti mengubah ekspektasi gaji saya berkali-kali) untuk mendapatkan angka yang tepat.
Semua itu bisa aku kerjakan, cuma masalahnya seberapa besar nilai yang orang dapatkan dari memprediksi gaji dari lowongan pekerjaan. Sebanding tidak dengan usaha saya?
Lalu pada bulan Mei 2021 kemarin, aku bikin fitur berbagi gaji. Jadi Anda bisa mengirimkan gaji, terus saya tampilkan semua gaji orang-orang yang berbagi gaji. Hasilnya luar biasa. Sempat satu bulan itu, situs PredictSalary dikunjungi sampai 50 ribu kali. Untuk satu bulan terakhir situs PredictSalary dikunjungi 3 ribu kali.
Keputusanku adalah untuk mematikan pengaya perambah dan tetap melanjutkan fitur berbagi gaji karena sudah membantu banyak orang.
I know, the irony. Aplikasi dengan Deep Learning tidak laku. Aplikasi berbagi gaji yang berupa form biasa itu laris manis.
Dapatkah PredictSalary dikembangkan lagi? Sepertinya susah. Upside-nya tidak tinggi-tinggi amat. Aplikasi PredictSalary itu harus dimasukkan dalam kerangka yang lebih luas. Saya ambil contoh aplikasi serupa, TechPays, yang dibikin oleh Gergely Orosz. Dia memiliki blog dan artikel premium yang membahas tentang karir software engineer. Hal ini masuk akal. Situs berbagi gaji itu bisa dianggap sebagai content marketing, hal yang menarik orang-orang ke Anda. Tapi susah kalau mau dijadikan produk utama. Berapa banyak orang yang mau membayar untuk memprediksi gaji lowongan pekerjaan?
Jadi jangan khawatir, aku tetap me-maintain PredictSalary. Yang aku matikan adalah pengaya perambah saja. Nanti aku juga akan merapikan situsnya, menambahkan filter dan pengurutan. Terus aku bakal bikin fitur berbagi gaji untuk profesi lain, misalnya dokter (sudah diminta orang nih). Hal ini masih mungkin aku kerjakan karena tidak memakan waktu banyak. Mengerjakan pengaya perambah itu yang susah. Ia memakan banyak waktu karena harus meng-scrap situs lowongan pekerjaan dan bikin model Deep Learning yang akurat.
ParttimeCareers
Sedikit pengunjungnya. Tapi aku suka dengan konsep lowongan pekerjaan paruh waktu. Lagipula me-maintain ParttimeCareers ini cuma butuh 1 jam per bulan. PER BULAN. Situs ini jarang diperbaharui karena kontennya susah dicari. Pekerjaan paruh-waktu itu jarang ada.
Mamba
Kalau dipikir-pikir, aku agak menyesal tidak fokus 100% sejak awal dalam mengerjakan Mamba. Mamba bisa membuat reputasiku tinggi di dunia DeFi. Dengan Mamba sebagai pijakan, aku seharusnya bisa membangun proyek DeFi yang sukses. Tapi karena tidak fokus, aku tidak serius mengerjakan Mamba. Akhirnya Mamba kalah dengan kompetitornya, seperti Brownie, Truffle, Hardhat.
Keputusanku adalah matikan saja proyek ini. Tapi karena crypto akan menjungkirbalikkan dunia ini di masa depan, aku tetap harus belajar pemrograman crypto biar bisa beradaptasi. Lagipula proyek di mana aku akan fokus itu bakal bersinggungan dengan crypto.
Mamba ini aku akan jadikan sebagai situs blog atau Youtube (belum tahu yang mana) di mana aku berbagi dalam mempelajari kode-kode proyek DeFi/NFT yang terkenal, misalnya Uniswap, Sushi Swap. Paling aku habiskan sejam atau dua jam sehari untuk proyek ini.
Pembangun
Traffic-nya lumayan.
Jadi rata-rata traffic Pembangun (di luar crawler) adalah 7 ribu per bulan. That’s not bad. Tiap hari aku cuma habiskan setengah jam untuk mengisi konten di forum Pembangun.
Terus Pembangun sudah banyak menginspirasi orang.
Selain itu, ketika aku mengisi konten di Pembangun, aku belajar banyak. Aku jadi tahu berapa lama yang dibutuhkan waktu untuk membangun SaaS. Aku jadi tahu bikin video game itu jauh lebih susah dan lama daripada bikin SaaS. Terus aku juga mendapat pengetahuan bahwa tidak perlu bekerja penuh waktu untuk membangun bisnis yang sukses. Dan lain-lain.
Keputusanku adalah menghabiskan waktu setengah sampai satu jam sehari untuk me-maintain Pembangun. Hitung-hitung belajar bisnis.
Sebagai sumber pemasukan, nanti mungkin aku bekerja sama (affiliate marketing) dengan pihak dompet elektronik sehingga pembangun bisa memakai produk mereka dalam menerima pembayaran. Diharapkan forum ini bisa self-sustain ke depannya.
Apakah Pembangun bisa dikembangkan lebih lanjut? Bisa. Aku bisa bikin jadi marketplace, seperti Gumroad. Tapi aku putuskan untuk memilih proyek lain.
SwanLove
Ia gagal mendapat traction. Tapi wajar sih. Ini adalah marketplace. Ia kena kutukan masalah ayam atau telur duluan.
Jadi aku sementara ini matikan dulu. Tapi aku masih berhasrat untuk melanjutkan aplikasi ini ketika kondisinya sudah tepat. Mungkin 5 atau 8 tahun lagi. Aku punya banyak mimpi terhadap SwanLove.
Aku memutuskan untuk menjual angsa-angsa sebagai NFT di OpenSea sebagai ucapan selamat tinggal.
SailorCoin
Ia memang tidak ada VM di GCP. Yang aktif adalah akun Twitter SailorCoin yang membahas tentang berita-berita finansial dan penawaran saham perdana perusahaan-perusahaan Indonesia.
Ternyata banyak orang suka, termasuk akun IG yang terkenal di dunia startup Indonesia, yaitu ecommurz.
Akun Twitter SailorCoin sudah mulai mendapat traction.
Setelah dipikir-pikir, akun yang membahas berita finansial teknologi, mata uang kripto, NFT, saham meme, IPO (Initial Public Offering) perusahaan Indonesia dan Amerika masih sedikit.
Pasarnya bagus. Kita lihat Felicia Putri, yang membahas tentang finansial dan saham di Youtube, bisa mendapatkan Rp 400 juta per bulan.
Nah, masih belum ada akun media sosial yang kuat yang membahas mata uang kripto, DeFi, NFT. IPO perusahaan Amerika juga masih sedikit yang bahas. Nah, there’s a void.
Akun SailorCoin memang berbahasa Inggris. Tapi nanti setelah beberapa bulan, bakal dibikin akun khusus berbahasa Indonesia.
Terus, SailorCoin juga bakal menawarkan produk SaaS, yaitu aplikasi yang membaca dokumen finansial (Form S-1, Earnings Call, Whitepaper) dengan teknologi NLP (Natural Language Processing).
Aplikasi SaaS-nya sedang dikembangkan.
Aku akan fokus ke SailorCoin karena peluangnya besar. Orang butuh media finansial yang membahas finansial teknologi, NFT, DeFI. Hal ini sudah tervalidasi.
Nah, aplikasi pembaca dokumen finansial ini memang belum tervalidasi. Bisa saja tidak ada orang yang mau memakainya. Tapi minimal aku bakal pakai. Sesial-sialnya SailorCoin bakal jadi media finansial yang sukses. Aplikasi SaaS-nya dipakai untuk membaca dokumen IPO oleh saya sehingga saya menghasilkan konten untuk SailorCoin dengan lebih cepat.
SailorCoin juga saya pilih karena ia bisa dikerjakan sebagai proyek bootstrap. Ia juga sepertinya menarik bagi investor karena ia bersinggungan dengan Kecerdasan Buatan dan crypto. Jadi saya memiliki fleksibilitas yang besar dengan proyek SailorCoin.
SailorCoin adalah proyek yang aku bakal fokus. It’s time to go all-in.
Fokus Laser
Kenapa aku mengerjakan banyak proyek dengan usaha yang dangkal selama ini? Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Sebagian dikarenakan aku takut go all-in. Bagaimana jika pilihanku salah? Aku juga punya kecenderungan untuk melakukan banyak hal.
Tapi untuk sukses, aku harus bisa fokus. Iya, saya tahu ada yang namanya Elon Musk. Selalu ada yang namanya pengecualian.
Begini pembagian waktu aku. Anggap aku bekerja 11 jam sehari.
Delapan (8) jam aku mengerjakan SailorCoin. Delapan jam itu dibagi 4 jam mengerjakan konten media SailorCoin (Youtube, Twitter, TikTok), 4 jam mengerjakan proyek aplikasi web pembaca dokumen finansial.
Satu (1) jam dipakai untuk me-maintain Pembangun dan PredictSalary.
Dua (2) jam dipakai untuk belajar pemrograman crypto. Karena crypto adalah masa depan. Mau tidak mau harus belajar crypto.
Fokus laser juga membuat aku mendapatkan ketenangan jiwa. Tidak ada lagi perasaan bersalah karena tidak memperbaharui aplikasi-aplikasi yang berjibun itu. Aku bisa fokus untuk menumbuhkan SailorCoin.
Aku ini seperti samurai yang berada dalam keadaan Zen. Tidak ada keraguan lagi dalam bertempur. Karena aku sudah memilih medan pertempuran.
Sebelum fokus laser:
Setelah fokus laser:
Nah, barulah aku bisa sukses!
Moral Cerita
Moral dari cerita adalah jangan mengerjakan banyak proyek. Fokus kepada satu atau maksimal dua proyek. Betul, tahu proyek mana yang harus Anda fokus itu kadang-kadang harus melewati banyak eksperimen. Jadi ada kalanya Anda harus bikin banyak proyek untuk mencari The One. Terus, jangan takut untuk mengambil resiko.
Kesimpulan
Aku kebanyakan proyek. Akhirnya banyak yang terbelangkai. Solusinya adalah memilih mana yang harus aku fokus. Harus tegas dalam mematikan proyek yang lain.
Ada apa dengan lulusan Amerika? Memangnya kenapa dengan lulusan Amerika sampai judul ini seakan-akan mencari keributan? Jadi begini, teman. Di dunia perintis (startup) di tanah air, lulusan Amerika itu punya aura khusus. Mereka spesial. Saya juga dulu tidak sadar akan fenomena “lulusan Amerika” di tanah air.
Kalau saya bilang “lulusan Amerika” itu maksudnya adalah lulusan universitas yang ada di negara Amerika Serikat. Jadi lulusan universitas di Kanada atau Bolivia itu tidak masuk hitungan. ð
Walaupun judul artikel blog ini adalah “Jangan Terintimidasi dengan Lulusan Amerika”, semangat artikel ini bisa dipakai di situasi yang mirip misalnya: lulusan universitas swasta vs lulusan universitas negeri elit, lulusan bootcamp vs lulusan universitas, lulusan SMA vs lulusan universitas, orang Indonesia vs ekspat, dll.
Mari kita pergi ke masa lalu saya. Beberapa tahun yang lalu, saya mendekap tubuhnya, rambutnya yang panjang membelai wajah saya, suaranya yang manja…. Ooops, salah memori. Maaf, maaf, saya ambil memori yang salah. ð
Mari kita mulai lagi. Beberapa tahun yang lalu, saya diajak oleh teman saya untuk mendirikan perintis. Salah satu strategi yang mau dipakai oleh dia adalah posisi CEO (Pejabat Eksekutif Utama / Chief Executive Officer) mau diberikan ke lulusan Amerika. Dia dan saya sama-sama lulusan dalam negeri. Alasan dia adalah lulusan Amerika itu punya koneksi ke investor-investor yang kebanyakannya adalah lulusan Amerika. Teorinya adalah lulusan Amerika itu punya komunitas sendiri di mana mereka sering berkumpul bersama (hang-out). Nah, dengan begitu, maka CEO lulusan Amerika itu punya probabilitas yang besar dalam mendapatkan pendanaan karena teman bergaulnya investor-investor. Begitulah teorinya.
Hal itu membuat saya merenung apakah lulusan Amerika itu begitu spesialnya. Terus selama saya bertualang di dunia perintis, saya bertemu dengan beberapa orang yang mau mendirikan perintis. Kebanyakan dari mereka adalah lulusan Amerika. Saya jadi bertanya-tanya ini pergaulan saya yang bias atau lulusan Amerika itu memang spesial. Jumlahnya itu signifikan, tidak bisa dikategorikan sebagai kebetulan saja. Ada sesuatu dengan lulusan Amerika ini.
Kemudian saya iseng-iseng lihat statistik latar belakang pendidikan (mereka kuliah di mana) para pendiri perintis. Jumlah perintis itu kan banyak sekali ya. Jadi saya batasi perintis yang masuk kategori yunikon (unicorn) dan centaur. Definisi centaur itu perintis yang memiliki valuasi di atas USD 100 juta tapi di bawah USD 1 milyar. Terus saya tidak masukkan perusahaan yang berasal dari korporasi seperti OVO atau Dana.
Kita mulai dari latar belakang pendidikan pendiri yunikon:
Gojek: lulusan Amerika
Traveloka: lulusan Amerika
Tokopedia: lulusan dalam negeri
Bukalapak: lulusan dalam negeri
Imbang ya. 2 lulusan dalam negeri vs 2 lulusan Amerika.
Nah, mari kita lanjut ke daftar perintis lainnya:
Akulaku: lulusan Amerika
Kredivo: lulusan dalam negeri
Halodoc: lulusan luar negeri non-Amerika
Sociolla: lulusan luar negeri non-Amerika
Warung Pintar: lulusan dalam negeri
IDN Media: lulusan Amerika
Modalku: lulusan Amerika
Kopi Kenangan: lulusan Amerika
Waresix: lulusan Amerika
Moka: lulusan Amerika
Investree: lulusan luar negeri non-Amerika
Ralali: lulusan luar negeri non-Amerika
Ruangguru: lulusan Amerika
Tanihub: lulusan dalam negeri
Sayurbox: lulusan luar negeri non-Amerika
Fabelio: lulusan luar negeri non-Amerika
Payfazz: lulusan dalam negeri
Mekari: lulusan dalam negeri
Xendit: lulusan Amerika
Fore: lulusan dalam negeri
Nah, nah, sumber informasi dari Linkedin. Jadi kalau pendirinya “berbohong” di Linkedin, yah informasinya menjadi salah. Atau mungkin pendirinya lupa perbaharui pendidikannya di Linkedin. Jadi saya ketik “founder nama perintis” di Duckduckgo atau Google. Terus cek nama pendirinya di Linkedin. Mungkin juga saya lupa cek semua pendirinya. Perhitungannya bisa salah yah.
Selain itu saya mesti jelaskan bagaimana cara saya mengkategorikan pendiri ini lulusan Amerika atau dalam negeri atau luar negeri non-Amerika. Aturan saya agak acak (ad-hoc). Misalnya si A, kuliah S1 di dalam negeri, terus S2 di Amerika, saya hitungnya lulusan Amerika. Terus ada lagi kasus pendiri S1 di Amerika terus S2 di Eropa, dan pasangan pendiri lainnya kuliah di Amerika saja. Nah, itu saya hitungnya lulusan Amerika. Nah, terus ada lagi pendirinya bukan WNI, tapi orang luar. Yah, wajar sih, dia kuliah di luar. Itu tetap saya hitung.
Idealnya hitung-hitungan begini tidak boleh binary (hitam atau putih). Mesti pakai berat (weight) atau spektrum (hitam – abu-abu – putih). Jadi pendiri S1 di Eropa, terus S2 di Amerika, itu mungkin hitungannya 60% lulusan Amerika, 40% lulusan luar negeri non-Amerika. Terus kalau pasangan pendirinya lulusan Amerika saja maka hitungan spektrumnya berubah menjadi 70% lulusan Amerika, 30% lulusan luar negeri non-Amerika.
Tapi itu mesti menunggu saya punya waktu luang. Sekalian juga saya investigasi perintis-perintis lainnya, seperti Qlue, Ajaib, Bukukas, dan lain-lain. Lagi sibuk saya sekarang. Menyelediki latar belakang para pendiri perintis ini bikin cape, tahu gak? Misalnya, saya ketik “founder fabelio” di Google. Terus saya klik artikel pertama di hasil pencarian.
Nah, saya tinggal ketik “Christian Sutardi”, “Krisnan Lenon”, “Marsel Utoyo” di Linkedin, terus saya lihat pendidikan mereka di Linkedin. Begitu saja? Tidak begitu cepat, Ferguso. Tidak ada nama “Krisnan Lenon” dan nama “Marsel Utoyo” di Linkedin. Ternyata salah tulis. Harusnya “Krishnan Menon” dan “Marshall Tegar Utoyo“. ð
Nah, grafiknya seperti ini:
Lihat tidak, lulusan Amerika yang paling banyak. Padahal jika dibandingkan dengan lulusan dalam negeri, lulusan Amerika itu jumlahnya sedikit sekali. Jumlah mahasiswa Indonesia di Amerika itu 9000 lebih (tahun 2020). Sementara itu jumlah mahasiswa terdaftar di dalam negeri itu hampir 7 juta (tahun 2018). Jumlah mahasiswa dalam negeri itu ratusan kali lebih banyak. Kalau digabungkan kedua kategori ini, mahasiswa Indonesia di Amerika itu jumlahnya di bawah 1%. Hal ini mengasumsikan persentase kelulusan mahasiswa di dalam negeri dan Amerika sama ya.
Jadi 50% pendiri yunikon dan 40% pendiri centaur itu lulusan Amerika. ðĪ·ââïļ
Kalau Anda penasaran terhadap negara-negara di lulusan luar negeri non-Amerika, paling banyak Australia. Selebihnya tersebar merata di Kanada, Jerman, Belanda, Inggris.
Ini konsisten dengan pengalaman anekdot saya di lapangan. Misalnya ada 9 orang yang “berjumpa” dengan saya dan ingin mendirikan perintis, mungkin persentasenya seperti ini: 5 orang lulusan Amerika, 3 orang lulusan dalam negeri, 1 orang lulusan luar negeri non-Amerika. Lulusan Amerika benar-benar mendominasi dunia perintis.
Nah, kembali ke kasus di mana saya diajak mendirikan perintis dan menyerahkan posisi CEO kepada lulusan Amerika, saya tidak tahu seberapa banyak kasus seperti itu. Apakah lulusan Amerika mendapatkan “keistimewaan” dalam mendirikan perintis? Kalaupun ada, apakah jumlahnya signifikan?
Tapi saya bisa menceritakan hipotesis saya bagaimana lulusan Amerika itu bisa mendominasi dunia perintis. Apa sih kelebihan mereka? Dan, sesuai dengan judul artikel ini, bagaimana supaya tidak terintimidasi mereka? Bagaimana cara menetralkan keunggulan mereka dan malah balik mengintimidasi mereka? Minimal apa yang Anda dapat lakukan supaya tidak minder dekat mereka. Lulusan Amerika itu (dari pengalaman saya) pintar-pintar tapi bukan berarti mereka “tidak bisa dikalahkan”. They are not invincible. Jadi kalau Anda “cuma” lulusan dalam negeri, sementara kompetitor Anda lulusan Amerika dan kalian sedang berebut posisi Wakil Presiden (Vice President) di perusahaan tempat kalian bekerja, baca artikel ini sampai selesai.
Ketika berkompetisi dengan lulusan Amerika, kalau Anda tidak dapat mengalahkan mereka, minimal jangan kalah banyak. JANGAN sampai kalah telak. Analoginya, kalau ini adalah pertandingan sepakbola, jangan sampai bernasib seperti Barcelona yang kalah 2-8 dari Bayern Munich. Jangan seperti Brazil yang kalah 1-7 dengan Jerman di semifinal Piala Dunia 2014. Kalah tipis, seperti kalah 1-2, tidak apa-apa. Kalah telak itu bisa merusak psikologi Anda. Kepercayaan diri Anda bisa tidak pulih bertahun-tahun.
Oke, mari kita mulai. Keunggulan pertama dari lulusan Amerika adalah:
Bahasa Inggris
No shit, Sherlock. ð
Ini adalah medan pertempuran yang paling penting. Cara untuk tidak kalah di medan pertempuran ini gampang. Tapi kalau Anda sampai kalah telak, rusaklah semuanya. Kalau Anda cuma ambil satu hikmah dari artikel blog yang panjang ini, inilah dia: Belajar bahasa Inggris. This is a low hanging fruit. Saya serius. Jangan sampai bahasa Inggris Anda jelek.
Kalau saya adalah kompetitor Anda di perusahaan (misalnya saya lulusan Amerika), maka hal pertama yang akan saya lakukan adalah mencari tahu apakah bahasa Inggris Anda jelek atau tidak. Kalau jelek, saya akan menyerang Anda habis-habisan dari sini. Saya akan membuat Anda berbicara bahasa Inggris di depan rekan-rekan kerja lain dan Anda akan malu sendiri karena Anda salah mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Anda akan ditertawakan oleh orang lain. Anda akan malu sendiri. Hal itu akan merusak rasa percaya diri Anda dalam merebut posisi Wakil Presiden Teknik (VP of Engineering) misalnya.
Anda pasti berpikir kan kita hidup di Indonesia. Kenapa mesti berbahasa Inggris dengan baik di Indonesia? Memangnya bahasa nasional kita sudah berubah? Kan kita sudah mengucapkan Sumpah Pemuda di mana salah satunya menyangkut berbahasa Indonesia.
Jadi begini, teman! Sekarang ini adalah zaman globalisasi. Perusahaan-perusahaan besar seperti Gojek misalnya sudah mempekerjakan orang-orang luar (bukan WNI). Komunikasi mesti pakai bahasa apa dengan mereka? Bahasa Indonesia? Tidak kan. Jadi kalau Anda ingin karir Anda naik, yah bahasa Inggris mesti bagus.
Ini adalah kelemahan utama orang-orang Indonesia. Sebenarnya banyak lulusan dalam negeri yang punya keahlian apik (jika dibandingkan dengan lulusan Amerika). Cuma bahasa Inggris ini menghambat karir mereka. Misalnya teman saya di sebuah perintis internasional yang menerima karyawan jarak jauh (remote) pernah menunjukkan tulisan seorang kandidat. Jadi kandidat ini menunjukkan portfolionya yaitu blog teknikal dalam bahasa Inggris. Masalahnya bahasa Inggrisnya jelek. Tata bahasanya (grammar) banyak yang salah. Malah kalau dipikir-pikir, untuk melejitkan karir, pemrogram-pemrogram Indonesia lebih baik belajar bahasa Inggris ketimbang bahasa pemrograman baru seperti Dart, Go, Deno, atau Solidity.
Lulusan dalam negeri ini seperti Achilles, ksatria Yunani yang paling perkasa, yang membunuh Hector di depan gerbang Troy, tapi akhirnya mati karena pergelangan kakinya dipanah oleh Paris. Jangan sampai mati konyol “dibunuh” oleh lulusan Amerika karena bahasa Inggris Anda jelek.
Belajar bahasa Inggris itu sumber belajarnya banyak sekali. Di Avatar: The Last Airbender, Aang mesti pergi ke kutub utara untuk belajar manipulasi air (water bending). Kalian belajar bahasa Inggris tidak perlu pergi sebegitu jauhnya. Belajar Inggris bisa di rumah. Banyak situs atau aplikasi untuk belajar bahasa Inggris. Saran saya kalau memang harus keluar duit, yah jangan pelit. Ikut kursus bahasa Inggris yang bagus.
Ingat bahasa Inggris itu terdiri dari 4 komponen: baca (reading), dengar (listening), tulis (writing), bicara (speaking). Hanya karena kalian jago baca novel bahasa Inggris, tidak berarti kalian jago berbicara dalam bahasa Inggris. Jadi pastikan semua komponen bahasa Inggris kalian bagus.
Tidak ada alasan bahasa Inggris kalian jelek. Tapi, tapi, mereka kan tinggal di luar negeri (Amerika), sementara saya tinggal di Indonesia. Wajar bahasa Inggris saya jelek. Kalau itu alasan kalian, saya kasih bukti bahwa kalian bahasa Inggrisnya bisa lebih bagus dari lulusan Amerika. Lihat saja lulusan sastra Inggris. Bahasa Inggris mereka (menurut saya) lebih bagus daripada lulusan Amerika.
Nah, kalian tidak perlu ambil jurusan sastra Inggris untuk mengalahkan lulusan Amerika di medan bahasa Inggris. Ambil kursus dari EF, Wall Street English saja sudah cukup.
No money, no problem. Banyak cara untuk berlatih bahasa Inggris tanpa mengeluarkan banyak duit. Untuk melatih kemampuan membaca bahasa Inggris, banyak kan artikel bahasa Inggris di internet. Kamus Inggris juga gratis. Untuk melatih kemampuan mendengar bahasa Inggris, nonton saja Youtube atau dengar siniar (podcast) dalam bahasa Inggris. Melatih kemampuan menulis bahasa Inggris? Tulis artikel di blog / Medium / Substack / WordPress. Berlatih berbicara bahasa Inggris? Cari saja teman berlatih bahasa Inggris. Tidak ada teman? Monolog. Bicara sama tembok.
Lulusan Amerika itu banyak kelebihannya. Tapi Anda tidak boleh kalah bahasa Inggrisnya karena ada kelebihan mereka lainnya yang susah Anda kalahkan. Jadi itulah kenapa saya tekankan jangan sampai bahasa Inggris kalian jelek.
Keahlian (Skill)
Harus saya akui sebagai lulusan dalam negeri, kualitas universitas-universitas di Amerika Serikat lebih tinggi daripada kualitas universitas-universitas di Indonesia.
In other words, water is wet. ð
Misalnya kalau mereka lulusan fakultas ilmu komputer Stanford, kemungkinan besar kemampuan pemrograman mereka lebih bagus daripada kemampuan pemrograman lulusan fakultas ilmu komputer Bina Nusantara.
Tapi…. ada cara untuk mengalahkan mereka di medan ini, yaitu pendidikan mandiri (self-education). Entah Anda sadar atau tidak, pendidikan sudah lumayan terdemokratisasikan lewat internet. Anda ingin belajar ilmu komputer (computer science)? Ada kurikulum bagi pelajar mandiri. Pembelajaran mandiri bukan cuma berlaku di dunia ilmu komputer. MIT (Massachusetts Institute Technology) mengeluarkan situs MIT Opencourseware di mana Anda bisa belajar material-material mereka (kalkulus, aljabar linear, psikologi, ekonomi, dll) secara gratis. Selain itu dengan biaya rendah (ratusan ribu per bulan) Anda bisa langganan buku-buku di situs O’Reilly. Di sana, Anda bisa ribuan buku teknikal sampai Anda muntah.
Nah, saya sudah berpasangan (pairing) dengan lulusan Amerika dalam pemrograman. Jadi saya tahu seberapa hebatnya mereka. Nah, saya bilang semua materi untuk menjadi pemrogram yang hebat ada di internet. Jadi sebenarnya bahkan kalian tidak perlu kuliah untuk mengalahkan lulusan Amerika. Materi-materi yang saya sudah tulis di paragraf sebelumnya lebih dari cukup untuk mengalahkan lulusan Amerika, dengan catatan kalian benar-benar belajar dan menghabiskan waktu yang sama banyaknya dengan mereka (3-4 tahun). Nah, bagi kalian lulusan dalam negeri, kalian bisa mengkombinasikan pembelajaran kuliah dengan pembelajaran mandiri. Hasilnya super.
Setidaknya untuk domain ilmu komputer, ini adalah medan pertempuran yang harus dimenangi oleh Anda. Titik.
Mereka Lebih Kaya
Lulusan Amerika itu lebih kaya daripada lulusan dalam negeri.
They’re rich. ð
Saya belum menyelidiki hal ini secara mendalam. Tapi menurut dugaan saya, rata-rata lulusan Amerika itu jauh lebih kaya (atau orang tuanya kaya) daripada rata-rata lulusan dalam negeri. Betul, memang ada lulusan Amerika yang belajar di Amerika karena dapat beasiswa. Tapi kebanyakan lulusan Amerika itu belajar di Amerika berkat kekayaan orang tuanya.
Ini adalah salah satu kelebihan dari lulusan Amerika yang…. susah Anda kalahkan. Makanya ketika saya bilang jangan sampai bahasa Inggris Anda jelek dan gunakan pembelajaran mandiri untuk meningkatkan kemampuan Anda, saya benar-benar serius.
Lebih mudah mana? Belajar bahasa Inggris dan belajar mandiri atau jadi orang kaya? Menurut saya, lebih susah jadi orang kaya ketimbang memperbaiki bahasa Inggris. Ini adalah medan pertempuran yang boleh Anda lepas. Kadang untuk menang permainan catur, Anda harus merelakan bidak Anda.
Koneksi (Networking) Mereka Lebih Kencang
Ini sebelas dua belas dengan kelebihan lulusan Amerika sebelumnya (mereka lebih kaya). Koneksi mereka lebih kencang daripada koneksi Anda yang “cuma” lulusan dalam negeri. I’m sorry. It hurts. But it’s true. ð
Apa sih yang dimaksudkan dengan koneksi itu? Misalnya lulusan Amerika ini pengen bikin perintis yang membuat aplikasi finansial. Terus orang tuanya menelpon teman-temannya di bank untuk meluangkan waktunya untuk melihat demo aplikasi web anaknya. Belum apa-apa, lulusan Amerika ini sudah punya klien potensial.
Dari lulusan-lulusan Amerika yang saya “jumpai”, mereka rata-rata memiliki koneksi yang kencang, misalnya punya kenalan investor, dan “orang-orang penting” di “tempat-tempat strategis”.
Ini adalah medan pertempuran yang…. adalah tidak apa-apa jika Anda kalah. Membangun koneksi itu susah luar biasa. Misalnya, untuk meningkatkan kosakata bahasa Inggris, Anda tinggal buka kamus, baca kata-kata dan menghafalkannya. Bangun koneksi dari mana? Anda tidak dapat menghubungi Willson Cuaca tiba-tiba dan bilang, “Yo, bro, kita temenan yuk biar koneksi gw gak kalah jauh ama koneksi lulusan Amerika.” Tidak bisa begitu. ð
Mereka Lebih Percaya Diri
Mereka lebih PD. Misalnya saya mendorong lulusan dalam negeri untuk membuat perintis, jawaban mereka itu seperti ini. “Ah, saya belum punya kemampuan untuk mendirikan perintis. Saya masih harus banyak belajar.”
Nah, lulusan Amerika jawabannya begini, “LET’S DO IT.” Tidak ada keraguan.
Kadang-kadang (sering mungkin) mereka sering melebih-lebihkan aset mereka (kemampuan, koneksi, dll). Misalnya, anggap lulusan Amerika itu punya paman yang kaya. Anggap pamannya punya kekayaan Rp 20 milyar lebih misalnya. Sebenarnya memiliki kerabat seperti paman yang mempunyai kekayaan Rp 20 milyar itu sudah merupakan suatu “prestasi” tersendiri. Berapa banyak orang yang punya paman sangat kaya? Tapi lulusan Amerika masih ada yang melebih-lebihkan hal itu. Dia bilang, “Oh, paman saya punya aset sana sini. Harta dia ratusan milyar Rupiah.” Kira-kira begitu.
Jadi anggap Anda sebagai lulusan dalam negeri dan lulusan Amerika kalau dihitung-hitung nilai intimidasi dari bahasa Inggris, keahlian, kekayaan, koneksi, mungkin perbandingannya seperti ini.
Nah, Anda masih kalah. Tapi perbedannya tidak begitu besar. Lulusan Amerika melebih-lebihkan kelebihan mereka yang sudah lebih sehingga grafiknya seperti ini.
Nah, banyak lulusan dalam negeri yang termakan oleh strategi “melebih-lebihkan” lulusan Amerika ini sehingga lulusan dalam negeri merasa makin terintimidasi. Lulusan dalam negeri merasa jarak antara mereka dengan lulusan Amerika teramat jauh (padahal sebenarnya tidak).
Sebagai lulusan dalam negeri, solusinya adalah normalisasi dari apa yang mereka omongkan. Jangan terlalu percaya semua hal yang mereka katakan. Terus jadi lulusan dalam negeri, Anda jangan terlalu rendah hati. Anda tidak perlu kepedean seperti Presiden Donald Trump, tapi cobalah tambah rasa percaya diri di tindakan dan ucapan Anda.
Strategi
Setelah mengetahui kelebihan mereka, saatnya membicarakan strategi bagaimana cara menghindari intimidasi mereka. Kalau perlu, malah Anda sebagai lulusan dalam negeri yang mengintimidasi mereka. ð
Nomor satu, belajar bahasa Inggris mati-matian. Ini adalah pertahanan Anda yang paling penting. Jangan sampai jebol. Saya serius 100%.
Nomor dua, tingkatkan kemampuan diri dengan pembelajaran mandiri. Saya sudah sebutkan beberapa sumber pembelajaran mandiri di atas. Tapi masih ada lagi yang lain. Misalnya, Coursera, Khan Academy, Edx. Ada juga yang namanya Youtube di mana Anda bisa belajar banyak hal.
Nomor tiga, bangun portfolio Anda. Misalnya dengan menulis blog, membuat video di Youtube tentang hal-hal di industri Anda, dll. Anda dapat juga mengambil S2, misalnya mengambil MBA di Prasmul.
Nomor empat, bangun kekayaan Anda, dengan menabung dan berinvestasi. Jangan terlalu boros dalam hidup Anda. Begini, Anda mungkin tidak akan bisa menyamai kekayaan orang tua lulusan Amerika tapi setidaknya jangan sampai Anda jatuh miskin (gara-gara Anda teledor di finansial Anda). Kalau Anda sampai jatuh miskin, maka misi Anda untuk mengintimidasi lulusan Amerika masuk kategori Mission Impossible. Hanya Ethan Hunt yang sanggup melaksanakannya. Tapi Anda bukan Ethan Hunt.
Nomor lima, karir Anda bisa menjadi penyelamat Anda. Misalnya Anda berhasil menjadi VP of Engineering di perintis terkenal. Maka hal ini bisa menetralkan keunggulan pendidikan lulusan Amerika. Saya kasih kabar gembira. Sebagai lulusan dalam negeri, tidaklah susah untuk mendapatkan posisi ini. Saya sebagai lulusan dalam negeri sempat menjadi CTO. Teman saya, lulusan dalam negeri, menjadi VP of Engineering di suatu perusahaan teknologi yang terkenal.
Nomor enam, bangun koneksi. Begini, koneksi Anda mungkin tidak akan bisa menyamai koneksi lulusan Amerika. Tapi cobalah sebaik mungkin. Cari koneksi di mana? Di perusahaan tempat Anda bekerja. Bergaullah dengan banyak orang. Jangan jadi orang brengsek. Selain itu Anda dapat juga membangun koneksi di internet.
Nomor tujuh, cari medan pertempuran di mana Anda bisa bersinar lebih terang daripada lulusan Amerika. Seperti apa? Nanti saya cerita di bawah.
Studi Kasus
Nah, mari kita lihat 2 studi kasus. Hidup saya dan kasus hipotetis seorang mahasiswa.
Saya sudah bilang kan saya “cuma” lulusan dalam negeri.
Nah, 7 tahun lalu saya ambil tes IELTS untuk melihat kemampuan bahasa Inggris saya. Nilai saya: Writing 6, Speaking 7, Reading 8.5, Listening 8. Not bad-lah. Saya masih terus memperbaiki kemampuan berbahasa Inggris saya. Tapi untuk medan pertempuran ini, saya merasa aman.
Mari kita lanjut ke portfolio. Saya sudah menulis buku yang diterbitkan oleh penerbit resmi. Dalam bahasa Inggris pula. Topiknya eksotis pula (tentang Blockchain).
Selain itu saya juga sudah menjadi pembicara di PyCon (konferensi Python) dan berkontribusi ke proyek kode terbuka Python dan Django.
Karir saya juga okelah. Saya sempat mengecap rasanya menjadi CTO (Pejabat Teknologi Utama / Chief Technology Officer).
Nah, bicara koneksi, gara-gara jadi CTO, saya diundang ke grup Whatsapp CTO. Sebagian besar anggotanya CTO, tapi ada juga yang menjadi VP of Engineering, dan orang-orang penting di dunia teknologi di tanah air.
Selain itu saya juga membangun produk digital, yaitu PredictSalary, pengaya perambah (browser extension) yang bisa memprediksi gaji dari lowongan pekerjaan. Di Chrome, jumlah penggunanya 493. Di Firefox, jumlah penggunanya 87. Jadi total jumlah pengguna produk saya ini hampir 600 orang. Dan saya baru merilis produk ini bulan lalu.
Nah, saya juga pandai bermain di media sosial. Posting saya di Linkedin rata-rata dapat 3000-4000 terlihat (views). Tidak jarang saya buat posting yang dilihat lebih dari 10 ribu kali. Misalnya:
Nah, Techinasia punya jumlah pelanggan buletin (newsletter) sebanyak 100 ribu. Itu sebagai perbandingannya.
Selain itu, saya juga pandai menulis.
Saya banyak menerima pujian atas kemampuan menulis baik terhadap blog ini maupun buku Pemrogram Rp 100 Juta saya. Di atas 10 ada kali.
Terus saya juga membangun ketrampilan dan reputasi di bidang yang sangat baru, misalnya Deep Learning dan Blockchain. Kita ambil contoh Bitcon. Pelajaran tentang Bitcoin itu ada di MIT baru tahun lalu. Padahal Bitcoin itu sudah ada 10 tahun lalu. Bayangkan Anda menekuni teknologi Bitcoin beberapa tahun lalu, lulusan Amerika tidak dapat memiliki kelebihan berarti dibandingkan dengan Anda. Karena tidak ada pelajaran Bitcoin di universitas-universitas di Amerika beberapa tahun lalu. Kalau Anda ingin belajar Bitcoin, yah tempatnya di internet. Nah sekarang ini (tahun 2020), yang lagi hot adalah Decentralized Finance (DeFi) di Ethereum. Anda dan lulusan Amerika memiliki start yang sama. Belum ada pelajaran tentang DeFi yang komprehensif di universitas-universitas. Kalian sama-sama harus belajar topik ini dari internet.
Sama dengan Blockchain, teknologi Deep Learning itu juga tergolong baru. Pustaka Tensorflow saja baru dipublikasikan ke umum tahun 2015. Jadi orang-orang yang belajar Deep Learning, start awalnya kurang lebih sama, baik lulusan Amerika maupun lulusan dalam negeri.
Nah, semua hal-hal yang saya sebutkan di atas kalau digabungkan cukuplah untuk mengintimidasi lulusan Amerika. ð
Betul, butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun keahlian, koneksi, reputasi yang saya miliki. Mengintimidasi lulusan Amerika adalah maraton bukan sprint. ðĪĢ
Nah, bayangkan ada anak yang baru lulus dari universitas di Amerika, balik ke tanah air, mengajak saya ngopi-ngopi cantik. Dia mau bikin perintis. Karena dia adalah lulusan Amerika dan saya adalah lulusan dalam negeri, maka dia merasa lebih berhak menjadi CEO. Tapi di dunia nyata, orang ngomongnya secara implisit, tidak terang-terangan. Misalnya, “Saya punya kenalan investor A, B, C, dan D.” Ini artinya Anda sebagai lulusan dalam negeri seharusnya tahu diri. ð
Selain itu saya bisa menetralkan koneksi dia ke investor-investor itu. Dengan kata lain melemahkan kelebihan dia.
Saya bisa bilang investor-investor itu sudah terdemokratisasikan. Jadi dia kenal dengan investor-investor itu tidaklah berarti banyak. Mau cari pendanaan? Bisa cari di Linkedin. Atau bisa kirim lamaran ke SurgeAhead, YC, dan masih banyak lainnya.
Tapi di dunia yang nyata, saya tidak akan melakukan hal itu. Saya akan bilang saya tidak tertarik dengan ide perintisnya. Berdebat siapa yang lebih pantas menjadi CEO dengan lulusan anyar Amerika itu seperti berebut mainan. Kekanak-kanakan. Childish. Saya kan orang yang cool ð. Saya lebih suka mengintimidasi orang seperti Itachi di seri Naruto, yaitu dengan reputasi dan bahasa tubuh.
Tapi contoh di atas kan masih bau kencur. Bagaimana dengan lulusan Amerika yang sudah punya kelebihan lainnya, misalnya posisinya sekarang adalah VP of Sales di perintis yang terkenal. Koneksi dia lumayan kencang, misalnya kenal dengan pejabat-pejabat penting di OJK, bank-bank swasta dan nasional. Tentu saja, dia kenal dengan banyak investor. Dia mau mengajak saya untuk membangun perintis finansial. Apa yang harus dilakukan? Dia mau menjadi CEO karena dia merasa lebih berhak.
Nah, saya tidak memiliki koneksi kencang di dunia finansial jadi saya harus mengajaknya bertempur di medan lain. Misalnya saya bisa mengajaknya untuk membangun perintis di bidang lain. Contohnya saya mengajak dia untuk membuat penggubah video seperti Adobe After Effects di web. Dengan begitu kelebihan dia yaitu koneksi kencang di dunia finansial menjadi tidak berguna. Saya punya daya lebih dalam bernegosiasi karena saya punya kelebihan di bidang perintis ini, yaitu kemampuan pemasaran digital dan kemampuan rekayasa peranti lunak. Iya, seperti di cerita Avatar: The Last Airbender, Katara (water bender) mengalahkan Azula (fire bender) dengan mengajaknya bertarung di tempat yang banyak airnya. Sorry, spoiler. ðĪŠ
Nah, tidak berarti saya bisa mengintimidasi semua lulusan Amerika. Ada sebagian lulusan Amerika yang masih mengintimidasi saya misalnya Nadiem Makarim. Jadi misalnya dia mengajak saya membuat perintis, saya rela posisi CEO diambil dia. ð
Nah, mari kita lihat kasus hipotetis. Anggap Anda adalah mahasiswa aktif di universitas dalam negeri. Ada ungkapan Latin: Si vis pacem, para bellum. Artinya, jika Anda ingin perdamaian, bersiaplah untuk perang.
Perang masih lama. Anda masih kuliah. Tapi Anda harus bersiap-siap menghadapi lulusan Amerika.
Jadi belajarlah bahasa Inggris benar-benar. Belajar ilmu-ilmu dari luar kampus misalnya MIT Opencourseware. Kontribusi ke proyek kode terbuka (opensource) misalnya React. Di contoh ini, saya asumsikan Anda adalah mahasiswa ilmu komputer. Kalau bukan, sesuaikan jenis portfolio Anda. Bangun koneksi dengan ikut webinar lokal. Kalau Anda suka jadi pemengaruh (influencer), bangun reputasi Anda di media sosial. Belajarlah menulis teknikal di blog.
Beberapa tahun sudah lewat. Anda diterima bekerja di sebuah perintis. Salah satu rekan kerja Anda adalah lulusan Amerika. Congkak sekali dia. Hanya karena dia adalah lulusan Stanford, dia pikir dia adalah matahari di mana rekan-rekan kerjanya adalah planet yang mengitari dia. Ketika berdiskusi di sprint sebuah produk, tanpa babibu, dia menggunakan bahasa Inggris padahal semua orang di dalam ruangan itu adalah orang Indonesia. Dengan sabar Anda meladeni dia. Belum tahu dia, nilai rata-rata IELTS Anda adalah 8. ð
Kemampuan pemrograman Anda (teruji lewat proyek kode terbuka) mulai mengintimidasi dia. Malah Anda yang sering menegur dia karena standar kode dia masih rendah. Anda juga menulis blog teknikal di bagian teknis (engineering) di perintis Anda. Tulisan Anda memancarkan kirana yang menyilaukan mata lulusan Amerika itu. Akhirnya setelah beberapa minggu, lulusan Amerika itu mulai menunjukkan rasa segan dan hormat terhadap Anda.
Jadi tulisan ini adalah hadiah saya di hari kemerdekaan RI yang ke-75 ini kepada Anda, lulusan dalam negeri (ataupun lulusan SMA, lulusan bootcamp) yang minder terhadap lulusan Amerika (ataupun lulusan luar negeri, ekspat). Saya merdekakan Anda dari rantai penjajahan rendah diri!
Ketika berhadapan dengan lulusan Amerika, jangan melihat ke bawah, tapi lihatlah mata mereka dengan penuh kepercayaan diri. Busungkan dada Anda. Berkacak pingganglah. Berjalanlah seperti Tom Cruise yang penuh kepercayaan diri di film Top Gun. âïļ
Pada suatu hari beberapa minggu yang lalu, saya membaca kicauan dari seorang pemodal ventura (VC / Venture Capitalist) dari Sequoia India, lulusan bisnis dari Wharton, yang bernama Alyssa Maharani. Sequoia India itu mencakup India dan Asia Tenggara. Mungkin namanya lebih tepat Sequoia India and South East Asia. ð
Lihat topik yang saya tandai. “Cariin gw CTO / engineer dong“. Sebagai seorang pujangga Indonesia, terlebih dahulu saya harus meminta maaf kepada kalian dan Ibu Pertiwi, tanah air tercinta, Indonesia Raya ð. Saya biasanya sangat ketat dalam berbahasa Indonesia. Saya mengekspresikan diri saya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya melarang diri saya memakai bahasa Indonesia keInggris-Inggrisan. Tapi untuk artikel ini, saya memberi pengecualian untuk istilah-istilah tertentu, seperti CTO / engineer. Karena terlalu aneh dan menyimpang dari kicauan, jika saya menyenerjemahkan CTO sebagai Pejabat Teknologi Utama dan engineer sebagai insinyur. Lagipula, judul “Kenapa Susah Cari CTO?” lebih bersahabat kepada mesin pencari (SEO-friendly) daripada “Kenapa Susah Cari Pejabat Teknologi Utama?” Sekali lagi, maafkanlah jiwa saya yang lemah ini ð.
Oke, kembali ke topik. Pemodal ventura yang latar belakangnya bukan engineer (latar belakang dia bisnis) menulis “Cariin gw CTO / engineer dong“. Dia tidak menulis:
Cariin gw CFO / akuntan dong,
Cariin gw CMO / marketer dong,
Cariin gw CPO / product manager dong
Saya bisa membenarkan hal ini karena fenomena ini sesuai dengan pengalaman saya. Untung bukan engineer yang menulis kalimat itu. Jika saya yang latar belakangnya engineer menulis hal seperti itu, orang akan menulis pantun buat saya:
Naik becak ke Bali,
Liburan jangan lupa minum jamu,
Kamu congkak sekali,
Nyebur ke laut saja kamu
Nah, mari kita bahas kenapa CTO yang lebih banyak dicari daripada C-levels lainnya. Konteksnya adalah membangun perintis (startup). Perusahaan kecil yang bakal tumbuh dengan cepat karena faktor pertumbuhan dimungkinkan oleh peranti lunak (software). Bahasa Stratechery-nya, biaya marginal peranti lunak itu 0. Biaya marginal itu maksudnya kalau Anda jual meja ke 100 orang, Anda harus buat meja sebanyak 100 buah (dengan asumsi 1 orang beli 1 meja). Tapi jika Anda menjual peranti lunak kepada 100 orang, Anda hanya perlu buat peranti lunak sebanyak 1 buah saja.
Fungsi CTO
Siapa yang bertugas membuat peranti lunak? Software engineer atau engineer singkatnya. Engineer dengan kemampuan mendalam sebutannya apa? CTO. Nah, inilah jawaban singkatnya.
Tidak berarti bagian lain tidak penting juga. Tentu saja pemasaran (marketing) itu penting. Kalau peranti lunaknya bagus, tapi cuma sedikit orang yang tahu kan sia-sia. Tentu saja Pengalaman Pengguna (UX) itu penting. Peranti lunak yang susah dipakai orang membuat orang malas menggunakan peranti lunak.
Tapi skala pentingnya mereka berbeda. Anggap Anda adalah CEO yang ingin membangun perintis, misalnya pasarloka (marketplace) jual-beli mobil bekas. Anda cuma boleh ambil 1 orang saja sebagai pasangan pendiri (co-founder). Anda disuruh pilih: CTO atau CMO atau CPO atau CFO? Mana yang Anda pilih? Kemungkinan besarnya Anda akan pilih CTO.
Peranti lunak (aplikasi web tempat jual-beli mobil) tanpa UX yang bagus itu memang tidak bersahabat (user-friendly) terhadap pengguna. Tapi masih bisa dipakai. Masih bisa memberikan nilai (value) ke pengguna. Orang masih bisa pakai aplikasi web untuk mencari mobil untuk kemudian membelinya. Pengguna mungkin menyumpah-serapah terhadap aplikasi web yang tidak intuitif tapi setidaknya aplikasi web itu masih bisa dipakai. Sementara itu desain Figma/Sketch aplikasi web atau wireframe-nya tanpa peranti lunak tidak dapat memberikan nilai ke pengguna. Apa yang Anda dapat lakukan sebagai pengguna terhadap mock-up situs web jual-beli mobil bekas?
Pemasaran tanpa produk bisa menarik calon pengguna dalam jumlah besar. Tapi jika tidak ada produk dalam waktu yang signifikan, calon pengguna itu yah akan tetap menjadi calon pengguna bukan pengguna. Produk tanpa pemasaran masih bisa memberikan nilai ke pengguna. Anda mungkin bisa mengumpulkan orang yang membaca blog Anda tentang situs jual-beli mobil bekas sejumlah 1 juta orang. Tapi tanpa situs jual-beli mobil bekas itu sendiri, 1 juta orang ini kan tidak dapat jual-beli mobil bekas.
Yah, saya tahu tulisan ini kesannya tinggi hati, sombong, congkak. Saya juga belajar desain dan pemasaran supaya saya menjadi orang yang holistik. Jadi saya tahu nilai apa yang bisa mereka berikan. Saya tidak bilang desain dan pemasaran itu gampang. Saya belajar Adobe Illustrator dan bisa buat logo dengannya tapi hasilnya jelek sekali.
Tapi dalam konteks membangun perintis (khususnya di masa-masa awal), saya harus bilang engineer “lebih banyak dicari” daripada orang yang memiliki kemampuan UX atau desain atau pemasaran atau akuntansi. Kecuali kemampuan itu berhubungan dengan perintis itu sendiri. Misalnya Anda ingin membuat aplikasi akuntansi berbasis awan, maka akuntan itu mungkin orang yang paling penting. Anda ingin membuat situas jual beli logo atau desain, mungkin desainer adalah orang yang paling penting di perintis.
Anda bisa membuat eksperimen. Bayangkan Anda memiliki teman Anda yang ingin membangun perintis. Dia cari CTO. Anda bisa datang ke dia. Hey, bro/sis, saya ada teman. Dia bisa menjadi CFO. Dia bisa mengatur aliran keuangan perintis kamu. Kalau ada uang lebih, dia tahu harus ditaruh ke sekuritas (marketable securities) berapa persen, ke uang tunai berapa persen. Dia juga bisa mengecilkan pajak yang harus dibayar.
Menurut Anda apa jawabannya? Yah kalau dia punya uang ekstra / anggaran berlebih, mungkin dia akan meminta teman Anda, CFO, untuk bergabung ke perintisnya. Tapi tanpa CTO atau engineer kompeten yang membuat produk peranti lunak di perintis dia, kemungkinan besar perintis dia akan sulit untuk sukses.
Yah saya tahu, tulisan saya ini terkesan pongah. But it is what it is.
Tentu saja, saya tidak bilang engineer adalah matahari di mana profesi lainnya adalah planet-planet yang mengitarinya. Yang saya maksudkan adalah dalam konteks sempit ini, yaitu membangun perintis di masa awal, engineer atau CTO adalah yang paling penting setelah CEO. Tentu saja dalam konteks lain, CTO bisa menjadi orang yang tidak berguna. Misalnya pasien yang sedang kesakitan atau sekarat. Pada konteks itu, dokter adalah jauh lebih penting daripada engineer.
Okelah, anggap CTO itu orang terpenting kedua setelah CEO yang mengurus masalah bisnis atau pencariaan pendanaan. Tapi kenapa langka jumlah persediaan CTO?
Semua Orang Mau Membangun Perintis (Startup)
Karena jumlah permintaan naik jauh lebih cepat daripada jumlah persediaan. Yang satu naiknya mungkin eksponensial sementara yang satunya lagi naik secara linear. Persediaan tidak dapat menyanggupi permintaan lagi.
Semua orang berebutan mau bikin perintis. Jika perintis yang Anda buat itu sukses besar, taruhlah menjadi yunikon (unicorn), maka Anda akan menjadi kaya dan kekayaan Anda bakal melebihi impian Anda yang paling liar sekalipun. Ambil contoh: William Tanuwijaya kekayaannya sekitar Rp 1,8 trilyun (tahun 2018). Achmad Zaky kekayaannya sekitar Rp 1,5 trilyun (tahun 2018). Mereka bekerja kurang lebih selama 10 tahun untuk mencapai kekayaan itu. Saya tanya usaha apa yang dalam 10 tahun bisa memberikan kekayaan sebanyak itu.
Menjadi artis juga tidak akan membuat Anda sekaya ini. Siapa artis terkaya Indonesia? Agnez Mo atau Agnes Monica. Kekayaan dia hanya sekitar USD 30 juta (sekitar Rp 400 milyar lebih). Dan Agnez bekerja lebih dari 10 tahun untuk mencapai kekayaan ini.
Nah, makanya wajar kan banyak orang yang mimpi jadi pendiri perintis yang sukses besar. Tapi sayangnya engineer-engineer yang tersedia tidak mencukupi. Jumlah persediaan benar-benar kering. Kita sampai harus mengimpor engineer-engineer dari luar negeri untuk mencukupi permintaan yang sangat tinggi ini.
Tapi adakah alasan lain kenapa jumlah persediaan engineer ini tidak cukup selain daripada permintaan membuat perintis naik terlalu tajam? Ada.
Profesi Engineer itu Tidak Bergengsi
Kita harus belajar sejarah dulu. Mari kita kembali ke 10 tahun lalu atau lebih. (Software) Engineer waktu itu dianggap sebagai profesi dengan status yang rendah. Jangan ketawa. Ini benar. Status rendah dan bayarannya tidaklah tinggi amat. Makanya banyak engineer yang lari keluar negeri untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Dampak lainnya adalah ada sebagian orang yang tidak mau menjadi engineer dan lari ke profesi yang dianggap lebih bergengsi misalnya manajemen bisnis. Karena manajer itu lebih bergengsi daripada engineer. Engineer itu gengsinya beda dengan dokter ya. Misalnya Anda bertemu dengan dokter yang umurnya 50 tahun ketika memeriksa kesehatan Anda, Anda tidak mungkin kan bilang, “Pak/Bu Dokter, umur sudah 50 lebih, kok masih jadi dokter. Bukannya sudah harus menjadi manajer dokter?”
Di dunia engineering, tidak perlu menunggu sampai umur 50 tahun, pada saat umur 30 tahun, kalau Anda belum menjadi manajer, Anda akan dicela, “Oh, you’re still programmer. I’m already a manager.” Semua orang berebut masuk ke dunia manajemen. Orang yang mau jadi engineer menjadi sedikit jumlahnya.
Hal ini mulai berubah pada tahun 2014 ketika Tokopedia/Bukalapak/Gojek/Traveloka naik daun. Engineer-engineer mulai lebih dihargai. Gaji mereka mulai naik tajam karena semua perusahaan berebutan engineer-engineer yang kompeten. Engineer-engineer juga mulai dianggap sebagai angsa bertelur emas ketimbang sebelumnya dianggap sebagai pusat biaya (cost center). Beberapa tahun belakangan ini orang mulai sadar, profesi engineer itu menjanjikan. Makanya bootcamp mulai berjamuran.
Lalu harusnya permintaan terhadap engineer bisa tercukupi dong? Tidak begitu cepat, Ferguso.
Bukan cuma Anda yang mau membangun perintis dan membutuhkan engineer. Ada ribuan orang seperti Anda yang membutuhkan engineer juga. Sementara jumlah engineer mungkin cuma puluhan. Pasti ada yang tidak kebagian. Ribuan dan puluhan dalam kalimat ini adalah semacam perumpamaan. Jangan ditafsirkan secara harafiah (face value).
Yunikon (Unicorn) Penyerap Engineer-Engineer
Tapi selain itu, ada yang menyerap engineer-engineer ini seperti Lubang Hitam (Black Hole) sehingga membuat pendiri perintis seperti Anda menangis sesegukan karena tidak dapat menemukan engineer-engineer. Mereka adalah yunikon. Mari kita kembali ke kicauan pemodal ventura di atas.
Mari kita baca bersama-sama kalimat yang saya tandai itu. “Temen gw abis dihijack unicorn gajinya gede.” Jadi Anda bersaing bukan cuma dengan sesama pendiri perintis, tapi Anda bersaing dengan raksasa seperti Gojek/Traveloka/Bukalapak/Tokopedia dan perusahaan bukan yunikon yang berani bayar gaji tinggi ke engineer seperti Tiket.
Gajinya gede. Seberapa tinggi sih gaji engineer di perusahaan raksasa yang sudah saya sebutkan itu? Tinggi sekali! Teman saya yang membangun perintis sampai mengutuk yunikon. Kata dia, yunikon-yunikon ini merusak harga pasaran ð . Tapi seberapa tinggi sih gaji engineer di raksasa-raksasa ini? Oh, Anda harus menggunakan aplikasi saya, PredictSalary, untuk mencari tahu jawabannya nanti. Maaf, numpang promosi. ð
Engineer-engineer yang senior (bukan yang junior yah) itu laris manis. Bahasa nginggrisnya in-demand bangeeet. Kalian tahu kan bahwa ada perusahaan teknologi yang harus melakukan PHK terhadap sejumlah karyawan-karyawan mereka. Masuk berita. Tahu tidak kalian bahwa mereka masih mencari engineer-engineer senior. Tentu saja mereka carinya tidak terang-terangan. Saya tahu ini karena teman saya dihubungi oleh perusahaan yang bersangkutan. Tidak boleh sebut nama. Kalian tebak sendiri yah.
Adalah sangat susah bersaing dengan perusahaan raksasa ini untuk merebut hati engineer. Kecuali Anda adalah anak konglomerat dan uang bukan masalah bagi Anda. Atau Anda memiliki kharisma seorang Soekarno.
Saya akan membuat analogi sehingga pemahaman Anda sampai ke sukma Anda bahwa sangat susah bersaing dengan yunikon atau perusahaan raksasa lainnya dalam merebut hati engineer. Analogi yang saya buat adalah pencarian jodoh. Mencari CTO itu seperti mencari jodoh. Susah atau gampang tergantung apa yang Anda bisa bawa ke meja.
Untuk analogi ini, saya membutuhkan beberapa contoh pria atau perempuan yang sangat menarik (attractive men/women). Kita ambil dari kalangan artis saja yah. Orang-orang familiar dengan artis. Siapa perempuan artis yang cantik, kaya, tenar, terampil? Dian Sastro, Raisa, Pevita Pearce, Chelsea Islan, dan lain-lain. Siapa laki-laki artis yang tampan, kaya, tenar, terampil? Abimana Aryasatya, Joe Taslim, Hamish Daud, dan lain-lain.
Karena saya adalah pria yang menyukai perempuan, maka saya akan mengambil Raisa sebagai contoh. Jika Anda adalah perempuan yang menyukai laki-laki, Anda bisa mengambil Joe Taslim sebagai contoh atau siapapun yang Anda suka. Tentu saja Anda tidak harus membatasi diri dengan contoh artis di atas. Mungkin Anda adalah laki-laki penggemar Bollywood dan mengidolakan Katrina Kaif atau Kareena Kapoor. Silahkan pilih mereka. Terus kenapa saya pilih Raisa? Tidak ada alasan khusus. Kalau saya pilih Pevita Pearce, nanti Anda tanya kenapa saya tidak pilih Chelsea Islan? Demi Tuhan, ini cuma analogi. Jangan terlalu serius dengan analogi saya ini. ð
Iya, saya tahu Raisa sudah menikah dengan Hamish Daud. Anggap Raisa itu lajang, dan saya bersaing dengan Hamish Daud untuk merebut hati Raisa. Anda sudah tahu Hamish Daud itu seperti siapa orangnya tapi Anda belum tahu seperti siapa saya orangnya. Saya ini laki-laki yang biasa-biasa saja. Saya tidak tampan tapi tidak jelek juga. Saya tidak kaya tapi tidak miskin juga. Saya ini termasuk kalangan menengah (middle class). Tapi saya pandai melucu. Anda boleh percaya atau tidak, hati saya ini baik. Saya ini ramah orangnya. Murah tersenyum kepada siapa saja. Tutur kata saya juga sopan. Saya berdonasi kepada UNICEF tiap bulan. Nah, menurut Anda, siapakah yang berpeluang lebih besar dalam merebut hati Raisa? Tentu saja Hamish Daud!
Bukankah saya laki-laki yang hatinya baik. Iya, tapi Hamish Daud juga sama baiknya. I think we’re both decent men. Jadi saya tidak bisa mengandalkan hati saya yang baik karena hati Hamish Daud juga sama baiknya. Jadi dari sisi hati, saya imbang dengan Hamish Daud. Nah, Raisa pasti melihat faktor lain, yaitu ketampanan, kekayaan, dan lain-lain. Saya kalah telak dengan Hamish Daud. Betul, ketampanan itu adalah hal yang subjektif. Apa orang bilang? Beauty is in the eye of the beholder. Tapi kita bisa mencari kebenaran secara konsensus seperti yang dilakukan blockchain ðĪŠ. Kita bisa mengadakan sensus, siapa yang lebih tampan: saya atau Hamish Daud? Saya berani bertaruh, secara signifikan Hamish Daud akan menang.
Nah, Raisa itu adalah engineer, Hamish Daud itu adalah yunikon, saya adalah CEO perintis yang berusaha membujuk engineer untuk menjadi CTO.
Dapatkah saya menyalahkan Raisa karena memilih Hamish Daud yang lebih tampan daripada saya? Tentu saja tidak. Jika saya menyalahkan Raisa, saya menjadi seorang yang hipokrit karena saya sendiri tertarik dengan Raisa itu salah satu faktornya adalah Raisa itu cantik (di samping dia tenar, pandai menyanyi dan baik hatinya).
Ada banyak CEO perintis yang menggunakan bujuk rayu dalam membujuk engineer untuk menjadi CTO. Perintis ini akan menjadi yunikon dalam 6 tahun dan kamu sebagai CTO akan menjadi kaya raya. Tentu saja, bujuk rayu mereka tidak persis seperti ini. Kembali ke analogi, bayangkan saya membujuk Raisa, “Pilihlah aku menjadi pacarmu (seperti lagu Krisdayanti). Aku akan menjadi CEO yunikon yang kaya raya yang hartanya sampai Rp 1 trilyun lebih.” Jika Anda menjadi Raisa, apa yang Anda pikirkan? Anda akan ketawa bukan? Sungguh menggelikan. Tentu saja semua hal bisa terjadi di dunia ini. Jika Donald Trump bisa menjadi presiden Amerika Serikat, tentu saja saya memiliki peluang untuk menjadi trilyuner sebagai pendiri yunikon. Tapi berapa besar sih peluang saya?
Terus ada juga CEO yang menggunakan bujuk rayu dari sisi idealisme bukan materialisme seperti di atas. Bujuk rayunya lebih spiritual. Jadi bujuk rayunya seperti ini. Perintis ini akan meningkatkan taraf hidup orang banyak. Perintis ini akan membawa inklusivitas keuangan kepada masyarakat yang tidak terjangkau oleh perbankan. Nah, menggunakan analogi Raisa, bayangkan saya membujuk Raisa untuk menjadi pacar saya seperti ini, “Raisa, oh, Raisa, saya akan menjadi orang yang hatinya jauh lebih baik daripada Hamish. Saya akan memberi makan fakir miskin lebih banyak. Saya akan tersenyum kepada orang lain lebih banyak. Saya akan menyemangati orang yang putus asa sebanyak mungkin.” Jika Anda menjadi Raisa, apa yang Anda pikirkan? Tergantung. Ada kalanya bujuk rayu yang spiritual ini bisa berhasil. Tapi tidak selalu. Kadang kala Anda sebagai Raisa akan menganggap ini konyol. Lagipula bekerja di yunikon, seorang engineer juga dapat mengubah hidup orang banyak. Anda tidak harus mendirikan perintis untuk membawa perubahan.
Manajemen Resiko Seorang Engineer
Saya akan mengajak Anda melihat bagaimana cara engineer menimbang keputusan untuk bergabung dengan yunikon atau perintis Anda yang tidak jelas bakal sukses atau tidak. Ingat, semua orang memikirkan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Every man is for himself. Every woman is for herself. Every engineer is for themselves.
Nah, bayangkan Anda berasal dari keluarga yang kaya, tidak sekaya konglomerat, tapi sangat kaya. Anda dikuliahkan oleh papa mama Anda di Amerika Serikat. Ketika selesai kuliah dan kembali ke tanah air, Anda lihat pendiri perintis ini tinggi statusnya, lebih tinggi daripada vokalis band. Jadi Anda pun latah ingin mendirikan perintis. Syukur-syukur Anda bisa masuk daftar 30 Under 30 Forbes. Waktu di Amerika itu Anda kuliah manajemen bisnis jadi Anda perlu CTO.
Anda bertemu dengan Ayu, seorang engineer ulung yang direkomendasikan oleh teman Anda. Tidak seperti Anda yang berasal dari keluarga kaya, Ayu berasal dari kalangan menengah, kelas pekerja. Bahasa Inggrisnya, working class. Anda menawari Ayu opsi saham sekian dan sekian. Tapi Anda bilang ke Ayu bahwa gaji seorang pendiri tidaklah besar, misalnya Rp 8 juta. Anda juga bilang bahwa gaji Anda sendiri juga Rp 8 juta. Jadi kalian berdua sama-sama gajinya kecil. Adil.
Tapi benarkah adil bagi Ayu? Dengan gaji Rp 8 juta itu, Anda yang berasal dari keluarga yang kaya, masih bisa hidup mewah karena Anda bisa minta uang dari orang tua Anda. Gaji Anda sebagai CEO perintis tidak menghalangi Anda untuk jalan-jalan di Bali tiap bulan. Anda masih bisa ngopi-ngopi cantik tiap hari di Kemang atau Senopati. Tapi situasinya beda bagi Ayu. Ayu tidak dapat meminta duit kepada orang tuanya. Malah dia yang harus mengirim uang ke orang tuanya setiap bulan. Mau makan apa dia setelah mengirimkan sebagian gajinya ke orang tua? Indomie? Bagi Ayu, lebih baik dia bekerja di yunikon sebagai senior engineer misalnya dengan gaji Rp 40 juta per bulan. Mungkin dia melepaskan kesempatan untuk memiliki kekayaaan Rp 1 trilyun lebih. Tapi bagi Ayu, resiko mendirikan perintis itu terlalu besar bagi dia. Jika Anda gagal sebagai pendiri perintis, Anda masih memiliki jaringan pengaman (safety net) dari orang tua. Anda tinggal meminta modal kepada orang tua untuk mendirikan bisnis lain misalnya cafe atau restoran. Sementara Ayu jika gagal sebagai pendiri perintis? Yah, dia masih bisa cari pekerjaan lain tapi dia melewatkan beberapa tahun dalam mengumpulkan kekayaan. Teman-teman sebayanya mungkin sudah memiliki apartmen sendiri tapi Ayu belum. Biaya kesempatan (opportunity cost) bagi Ayu adalah sangat besar.
Itu satu. Selain itu, tentu saja ada engineer yang selera terhadap resikonya sangat besar. Motto hidup dia adalah YOLO (You only live once). Tapi celakanya engineer ini mau jadi CEO bukan CTO. Jadi apa boleh buat, Anda tidak dapat merekrut dia sebagai CTO. Ada peribahasa. There cannot be two tigers on the same mountain. Anda tidak dapat membujuknya dengan pembagian opsi saham yang sama rata misalnya 50% – 50%. Masalahnya walaupun jatah CEO 50% dan CTO 50%, jatah ketenaran itu tidaklah sama. CEO akan menjadi jauh lebih terkenal daripada CTO. Anda tidak percaya? Anda bisa melakukan eksperimen ini. Coba tanya semua teman Anda: siapa CEO SpaceX? Saya yakin pasti banyak yang dapat menjawab pertanyaan itu dengan benar. Nah, pertanyaan kedua: siapa CTO SpaceX? Pasti banyak yang gagal menjawab pertanyaan ini. Intinya, CEO itu lebih tenar daripada CTO. Tapi Anda masih bisa bergabung dengan dia. Cuma salah satu dari kalian harus mengalah dan tidak ada yang mau mengalah. Dua-duanya mau menjadi CEO. ðĪ·
Kembali ke kasus Ayu yang sebenarnya tidak keberatan menjadi CTO. Dia tidak memusingkan Anda menjadi CEO. Dia tidak peduli Anda yang akan masuk sampul majalah bukan dia. Ayu cuma peduli dengan kekayaan. Uang. Money. Dia pengen mendapatkan kekayaan Rp 1 trilyun lebih. Cuma kalau gagal, dia tidak dapat membayangkan sakitnya kegagalan. Dia tidak memiliki jaringan pengaman (safety net). Akhirnya dia memutuskan lebih aman untuk meniti karir sebagai pemrogram di yunikon. Siapa tahu beberapa tahun dia akan menjadi Engineering Manager dengan gaji Rp 100 juta per bulan.
Gaji Rp 100 juta per bulan itu memang tidak ada artinya jika dibandingkan dengan uang Rp 1 trilyun lebih. Tapi bagi Ayu, Rp 100 juta per bulan itu sudah membuat dia hidup bahagia dan nyaman. Dia bisa membeli apartmen sendiri, mobil yang cukup oke. Dia bisa membeli tas desainer ternama. Setelah pandemi berakhir, dia bisa jalan-jalan ke Amerika Latin, Eropa.
Lagipula uang itu sampai titik tertentu tidak akan dapat menambah kebahagiaan Anda lagi. Gaji naik Rp 10 juta menjadi Rp 20 juta, Anda akan tambah bahagia. Gaji Rp 30 juta naik menjadi Rp 50 juta. Anda akan tambah bahagia. Tapi ada titik tertentu, Anda menjadi biasa-biasa saja. Gaji naik dari Rp 100 juta menjadi Rp 120 juta, Anda akan tidak merasa terlalu semangat. Biasa-biasa saja. Grafiknya sudah mendatar.
Jadi bagi Ayu, adalah lebih masuk akal meniti karir di yunikon dan berusaha mendapatkan gaji Rp 100 juta per bulan daripada mendirikan yunikon yang resikonya sangat besar.
Nah, saya tidak pernah menjadi CTO pendiri (saham besar, gaji kecil) tapi saya pernah menjadi CTO profesional (tidak dapat saham, gaji okelah). Tapi saya sering mendapat tawaran menjadi CTO pendiri.
Sudut Pandang Saya Pribadi
Saya akan menceritakan kenapa saya menolak tawaran-tawaran tersebut.
Pertama, saya suka dengan dengan teknologi eksotis seperti robotik, blockchain dan kecerdasan buatan (AI). Semua perintis di mana saya mendapat tawaran sebagai pendiri CTO itu dari sisi teknologi tidak ada yang membuat saya tertarik. Semuanya merupakan aplikasi web CRUD (Create Read Update Delete). Tidak ada yang salah dengan itu sih. Tidak semua perintis harus menggunakan teknologi eksotis. Yang penting kan memberi nilai kepada pengguna. Cuma saya merasa bosan saja. Jangan khawatir. Kasus ini harusnya sedikit. Saya memang aneh orangnya.
Kedua, saya memiliki idealisme dalam menjalankan perintis di mana saya harus menjadi CEO untuk memastikan idealisme ini terlaksanakan. Jika saya menjadi CTO, besar kemungkinan idealisme saya gagal diwujudkan. Misalnya saya mau mendirikan perintis jarak jauh penuh (full-remote company), seperti Gitlab ataupun Automattic. Budaya (culture) harus dipaksakan dari CEO. Jadi mau tidak mau saya harus menjadi CEO untuk mendirikan perintis jarak-jauh penuh. Tidak ada yang salah sih dengan mendirikan perintis yang mengharuskan orang-orang pergi ke kantor fisik, cuma saya pengen saja bikin perintis di mana orang-orang kerja dari rumah atau dari mana saja. Pebisnis-pebisnis yang mau menjadikan saya sebagai CTO itu tidak ada yang percaya dengan budaya kerja jarak jauh (remote culture). Tapi itu sebelum pandemi. Entah mereka sudah berubah pikiran atau belum sejak pandemi ini.
Ketiga, ketika berbincang-bincang dengan orang bisnis yang ingin menjadikan saya sebagai CTO, ada jurang yang lebar dan dalam antara saya dengan mereka dalam filosofi manajemen. Intinya mereka menganggap engineer-engineer itu bisa dikomoditaskan seperti Lego.
Anda tahu kan artinya komoditas? Mari saya jelaskan. Jadi pekerjaan yang gampang terkomoditaskan itu seperti buruh pabrik, sopir. Pekerjaan yang susah terkomoditaskan itu seperti dokter, pengacara. Pekerjaan yang gampang dikomoditaskan itu artinya orang yang melakukan pekerjaan itu bisa digantikan oleh orang lain dengan cepat. Perbedaanya minim antara yang satu dengan yang lain. Ketika Anda minta diantar dari rumah Anda ke kantor Anda, Anda tidak terlalu memusingkan sopir mana yang akan mengantar Anda sepanjang mereka mengemudi dengan aman dan nyaman. Tapi berbeda dengan dokter. Ketika Anda berobat penyakit paru-paru ke dokter spesialisasi paru-paru, Anda memperhatikan betul siapa yang menjadi dokter itu. Anda lihat reputasinya. Anda tidak mau sembarang dokter yang mengobati penyakit paru-paru Anda. Kalau bisa, Anda mau dokter paru-paru terbaik se-Nusantara yang mengobati penyakit paru-paru Anda. Sebelumnya, tidak ada yang salah dengan pekerjaan yang gampang terkomoditaskan. Pekerjaan seperti ini juga memberikan nilai kepada masyarakat termasuk di dalamnya saya. Pekerjaan yang gampang terkomoditaskan adalah pekerjaan yang jujur dan mulia. Dokter tidak lebih mulia daripada sopir. Kita semua, baik dokter maupun sopir, sama kedudukannya di mata Tuhan.
Kembali ke manajemen engineer-engineer, pebisnis yang saya temui itu berpikiran untuk membangun peranti lunak yang spektakuler, mereka membutuhkan sepleton engineer. Bahasa yang mereka pakai, we need an army of engineers. Kuantitas bukan kualitas. Kita harus membangun pabrik untuk menghasilkan engineer-engineer dalam jumlah yang besar. Begitu pikir mereka.
Saya pikirnya engineer itu seperti seniman (artist). Untuk membangun peranti lunak yang spektakuler butuh engineer dengan ketrampilan maha dalam, seperti Leonardo da Vinci yang menelurkan karya Mona Lisa. Padanannya di dunia engineering, Linus Torvalds, menelurkan sistem operasi Linux dan Git. Bagi saya kualitas lebih penting daripada kuantitas.
Nah, jika Anda yang membaca tulisan ini berasal dari latar belakang bisnis, saya akan membuat analogi yang lebih mudah Anda pahami. Hampir semua orang sudah membaca novel Harry Potter kan? Siapa penulisnya? J. K. Rowling. Bayangkan Anda, sebagai pengusaha, tergiur dengan royalti Harry Potter. Maka Anda mempekerjakan seribu penulis dengan harapan Anda bisa menghasilkan novel sebagus Harry Potter dan hasil kerjanya lebih cepat. Seribu penulisnya dapat dari mana? Oh cari saja lulusan sastra Inggris atau sastra Prancis atau sastra Rusia. Menurut Anda, berapa besar peluang Anda dengan seribu penulis itu dalam mengalahkan J. K. Rowling?
Nah, betul engineer tidak sekreatif (susah terkomoditaskan) seperti penulis novel. Jika penulis novel Harry Potter itu nilainya 10 (paling susah terkomoditaskan), sopir itu nilainya 1 (gampang terkomoditaskan), maka engineer itu mungkin nilainya 4 sampai 7. Tergantung situasi.
Kenapa saya tidak nyaman dengan mereka yang memiliki filosofi mengkomoditaskan engineer? Bayangkan perintis kami memiliki engineer yang sangat dalam kemampuannya. Anggap saja perintis kami mempekerjakan distinguished engineer. Gaji dia Rp 100 juta per bulan. Lalu pebisnis ini berpikiran engineer ini terlalu mahal. Maka dia mem-PHK-kan engineer ini lalu sebagai gantinya dia mempekerjakan lulusan anyar (fresh graduates) dengan gaji Rp 7 juta per bulan sebanyak 5 orang. Pikir dia, 5 orang kerjanya akan jauh lebih cepat daripada 1 orang. Terus biayanya lebih murah lagi. Rp 35 juta vs Rp 100 juta. Sisanya Rp 65 juta dihitung sebagai penghematan perusahaan. Lalu dia ambil Rp 20 juta dari Rp 65 juta ini sebagai bonus kepada dia sendiri. Dia menganggap hal ini sebagai penghargaan bahwa dia telah berhasil mengefisiensikan perusahaan. You think I’m joking, but I’m not.
Nah selain masalah filosofi komoditas ini, ada juga perbedaan manajemen lainnya. Ada pebisnis yang mau menjadikan saya sebagai CTO dan dia tidak percaya orang bisa kerja produktif di luar kantor. Karyawan-karyawan itu harus diawasi. Kalau mereka tidak bekerja di kantor, bagaimana kita tahu mereka benar-benar bekerja bukannya bermalas-malasan? Begitu pikir mereka. Sementara itu, filosofi saya adalah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada engineer-engineer (dan karyawan-karyawan dengan profesi lainnya).
Nah, setelah Anda tahu betapa susahnya mencari CTO atau engineer, ada beberapa jalan untuk mengatasi masalah ini.
Solusi Atas Kelangkaan CTO
Jika Anda super kaya, seperti konglomerat, maka solusinya gampang. Bayar saja engineer dengan gaji sangat tinggi. Masalah selesai. Jika Anda membujuk saya untuk menjadi CTO, dan perintis Anda sangat membosankan sekali, tapi Anda menawarkan gaji Rp 250 juta per bulan, maka saya akan terima tawaran Anda dengan senang hati. No questions asked. Tentu saja sepanjang perintis Anda itu tidak melanggar hukum. Bahkan saya rela datang ke kantor setiap hari. Money makes the world go around.
Tapi jika Anda tidak sekaya konglomerat tapi Anda punya modal, Anda bisa meminta jasa rumah peranti lunak (software house) untuk bertindak sebagai CTO. Banyak rumah peranti lunak yang menyediakan jasa CTO as a service. Jadi Anda bayar sekian puluh atau ratus juta per bulan kepada rumah peranti lunak dan Anda mendapat jasa pengembangan peranti lunak sekian jam dengan sekian orang dari mereka. Anda tidak perlu memusingkan diri dengan bagaimana cara memanajemen engineer-engineer yang jual mahal dan tak tahu diri itu. ð
Gojek juga melakukan strategi ini di masa-masa awalnya. Mereka melemparkan tanggung jawab sebagian pengembangan peranti lunak kepada rumah peranti lunak. Setelah mereka mendapat pendanaan yang gila-gilaan, barulah pelan-pelan mereka menarik kembali. Selain Gojek, banyak perintis yang melakukan strategi ini. Jadi tunggu pendanaan Anda sudah gila-gilaan, barulah Anda bangun tim produk sendiri.
Tapi cara itu hanya Anda bisa lakukan ketika punya modal misalnya Anda sudah mendapatkan pendanaan awal. Bagaimana ketika Anda masih dalam tahap mengembangkan produk setengah jadi (minimum viable product / MVP)? Investor yang Anda temui bilang kepada Anda, kalau MVP sudah ada dan ada daya tarik (traction), barulah dia mau memberi pendanaan awal. Anda tidak dapat menemukan orang yang bersedia menjadi CTO karena semuanya sudah disedot habis oleh yunikon-yunikon yang menyebalkan itu. Jadi apa yang harus Anda lakukan?
Belajar pemrograman. Dan bangun MVP dengan tangan Anda sendiri. Pemrograman itu tidaklah sesulit ilmu bedah otak atau membangun roket. Bahasa Inggrisnya, it’s not a rocket science. Lagipula kebanyakan produk-produk yang ingin dibangun oleh pebisnis yang saya temui itu bertipe aplikasi web CRUD. Yah, seperti aplikasi web jual-beli mobil bekas. Tampilkan data. Cari data. Buat data. Ubah data. Anda hanya perlu belajar pengembangan web dengan teknologi seperti Ruby on Rails, atau PHP + Laravel, atau Python + Django. Jika Anda menyediakan waktu sebanyak 2-3 jam per hari, Anda bisa menguasai kemampuan pemrograman web dalam 1 tahun. Mau lebih yakin? Tambah 1 tahun lagi menjadi 2 tahun. In the grand scheme of things, 2 years is nothing.
Lain cerita ketika Anda ingin membangun produk dengan teknologi eksotis misalnya pesawat nirawak (drone) yang memantau halaman pabrik secara otonom. Anda harus belajar Kalman Filter yang agak ribet. Atau Anda mau membuat produk mesin pencari seperti Google atau DuckDuckGo. Nah itu baru susah. Tapi untuk produk aplikasi web bertipe CRUD, Anda bisa melakukannya sendiri. Setelah Anda punya MVP, dan mendapat pendanaan, barulah Anda mencari engineer-engineer untuk membantu Anda.
Kebanyakan orang anti dengan ide ini karena mereka merasa ketika mereka menjadi generalis seperti ini, tatanan dunia akan hancur. Mereka mungkin berpikir peradaban manusia itu dibangun di atas spesialisasi. Jadi orang bisnis tidak seharusnya belajar pemrograman. Kalau orang bisnis belajar pemrograman, mau jadi apa dunia ini? Anarki akan menguasai dunia ini.
Tentu saja kita tahu hal itu tidak benar. ð
Studi Kasus PredictSalary
Nah, mari kita melihat studi kasus, yaitu aplikasi yang saya buat, PredictSalary. Ia adalah pengaya perambah (browser extension) yang bisa memprediksi gaji dari lowongan pekerjaan yang tidak menampilkan gaji dengan teknologi Deep Learning.
Bayangkan saya adalah orang bisnis yang tidak memiliki kemampuan pemrograman, kecil kemungkinannya aplikasi ini bisa diluncurkan. Kecuali saya sangat kaya. Mari kita hitung biaya pengembangan PredictSalary.
Untuk membuat aplikasi ini saya membutuhkan:
Deep Learning engineer yang membuat model Deep Learning,
Data engineer yang menyajikan data kepada Deep Learning engineer,
Frontend engineer yang membuat pengaya perambahnya (pengaya perambah itu pada dasarnya adalah berkas JavaScript yang disuntik ke halaman web),
Backend engineer yang membangun aplikasi peladen (server) di depan model Deep Learning yang melayani permintaan prediksi gaji dari pengaya perambah
Anggap jasa 1 engineer itu sekitar Rp 20 juta (pukul rata), berarti saya harus membuang uang Rp 80 juta. Sebagian orang sanggup membayar Rp 80 juta untuk membangun aplikasi ini. Tapi apakah mereka mau mengambil resiko? Selain itu fitur-fitur masih harus dikembangkan lebih lanjut sehingga pengaya perambah ini menjadi lebih dicintai oleh pengguna. Saya harus menghabiskan uang Rp 80 juta tiap bulan untuk mengembangkan PredictSalary. Tidak banyak yang sanggup membuang uang Rp 80 juta per bulan.
Nah, saya tidak perlu membuang uang Rp 80 juta tiap bulan karena saya bisa melakukan semua pekerjaan dari 4 engineer di atas. Biaya yang saya harus bayar hanyalah desain logo, biaya hosting, dan biaya kesempatan (opportunity cost).
Tapi cerita tidak berakhir di sini.
Tahukah Anda bahwa saya memiliki kemampuan di luar kemampuan teknis (pemrograman)? Saya memiliki kemampuan pemasaran (marketing), yaitu pemasaran konten (content marketing). Tidak percaya?
Lihat berapa banyak jumlah dilihat dari posting Linkedin ini yang mempromosikan PredictSalary ini. 32 ribu. Pemasaran konten ini mendorong jumlah unduhan PredictSalary secara tajam. Bayangkan jika saya tidak memiliki kemampuan pemasaran, aplikasi PredictSalary masih bisa tetap dirilis. Tapi adopsinya bakal terhambat. Jumlah pengguna bakal menjadi lebih sedikit.
Yang ingin saya katakan jika saya orang teknis bisa belajar pemasaran (ketrampilan non-teknis), kenapa Anda orang bisnis tidak dapat belajar pemrograman?
Saya tidak mengindentifikasikan lagi diri saya sebagai engineer. Saya adalah apapun yang saya perlukan untuk menjadi sukses. Saya adalah engineer ketika membangun produk. Saya adalah tenaga pemasaran ketika memasarkan produk. Saya adalah penulis ketika menulis blog ini. Saya juga belajar banyak hal di luar pemrograman misalnya saya sudah belajar finansial dari Andrew Lo. Saya juga sudah belajar akuntansi sehingga pernyataan finansial tidak lagi mengintimidasi saya.
So do whatever it takes to be successful (barring some pathological cases like killing kitties). If you met an awesome CTO, I would be happy for you. If you don’t, then learn programming and build an awesome product. So one day you’ll be as rich as William Tanuwijaya and Achmad Zaky. I wish you success. ð
Jadi baru-baru ini Basecamp (CTO-nya adalah DHH, pencipta Ruby on Rails) mengeluarkan produk Hey. Ia adalah layanan surel seperti Gmail. Kelebihannya dari yang saya baca-baca sekilas adalah pengalaman pengguna (UX) yang superior. Mereka tidak ada versi gratis seperti Gmail. Ada 14 hari uji coba tapi pada akhirnya Anda harus membayar atas jasa layanan surel ini. Harganya $99 per tahun. Tapi jika Anda memilih nama pengguna yang lebih pendek seperti sky@hey.com, atau yo@hey.com, maka harganya akan naik beberapa kali lipat. Reaksi dari beberapa orang yang memakai jasa ini positif.
Produk Hey bertipe sama dengan produk Basecamp. Mereka adalah produk murni digital atau 100% digital. Artinya semua interaksi di produk mereka bisa dilakukan di ranah digital. Tidak ada hal yang perlu dilakukan di lapangan. Ada keunggulan (dan kelemahan) dari produk murni digital ini. Mereka bisa menjual jasa mereka ke seluruh dunia (sepanjang pembeli memiliki koneksi internet dan tidak ada embargo ekonomi). Anda bisa menjadi pelanggan Hey ataupun Basecamp sepanjang Anda memiliki kartu kredit atau kartu debit atau akun Paypal. Hayati paragraf ini sebelum kita beranjak ke paragraf berikutnya. Tarik napas dan resapi kata-kata saya. Sudah? Ayo, lanjut!
Nah, mari kita kembali ke tanah air tercinta kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Orang-orang kan sekarang berlomba-lomba bikin perintis (startup) di Indonesia. Siapa yang tidak ngiler melihat kisah sukses Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, Gojek, Tiket.com, dll? Umur kurang-lebih baru 10 tahun, tapi valuasi Gojek sudah mengalahkan perusahaan Garuda yang memiliki pesawat-pesawat terbang!
Tapi coba perhatikan tipe-tipe perusahaan digital yang besar. Bukan cuma yunikon, tapi juga perusahaan-perusahaan besar seperti Kredivo, Blibli, Halodoc, Cekaja, Warung Pintar, Dana, IDN Media, Modalku, Happy Fresh, Fabelio, Sayurbox, Koinworks, Moka, dll. Perhatikan baik-baik contoh-contoh tersebut. Tidak ada perusahaan yang menawarkan produk 100% digital ke seluruh dunia.
Ambil contoh Warung Pintar. Mereka harus ke lapangan untuk mengintegrasikan teknologi dengan warung. Modalku? Anda bisa bilang mereka memiliki produk digital 100% karena mereka tidak terjun ke lapangan. Tapi produk mereka terbatas di Indonesia saja karena aliran finansial antar negara itu kompleks dan penuh dengan birokrasi (yang coba diselesaikan oleh teknologi blockchain). IDN Media? 100% digital dan produknya bisa dinikmati seluruh dunia. Tapi konten mereka dalam bahasa Indonesia yang membatasi segmen pembaca. Dana? Cuma bisa dipakai di Indonesia. Sayurbox? Mesti terjun ke lapangan (beli produk dari petani, mengantarkan sayur ke rumah). Fabelio? Mereka jual dan kirim perabotan ke penduduk Indonesia. Apakah Anda melihat tema besar dari apa yang saya tulis?
Saya pernah berbincang-bincang dengan teman saya. Saya mengutarakan ide saya yaitu membuat platform edukasi tentang suatu teknologi dengan target ke penganut teknologi itu di seluruh dunia. Jawaban dia, “Kenapa kamu memikirkan dunia? Indonesia saja sudah cukup besar sebagai pasar.”
Dia benar. Achmad Zaky dan Nugroho Herucahyono membuat perintis Bukalapak yang cuma melayani segmen Indonesia. Hasilnya? Achmad Zaky diasumsikan memiliki kekayaan sebesar kurang lebih 100 juta USD (sekitar 1,4 trilyun Rupiah). Saking kayanya sekarang mereka bagi-bagi duit ke perintis.
Tidak ada yang salah dari membuat perintis yang hanya melayani segmen Indonesia. Sepanjang Anda memberi nilai ke masyarakat, dan tidak merampok orang, ada yang salah memangnya?
Betul, tidak ada yang salah. Cuma dari pengalaman saya di lapangan, saya mendapat kesan bahwa di Indonesia, orang-orang cenderung membuat perintis yang terbatas terhadap Indonesia. Jarang sekali saya melihat orang membuat produk digital 100% untuk segmen dunia di Indonesia. Tidak percaya? Coba cari perusahaan Indonesia yang membuat produk seperti Hey, Basecamp, atau Gitlab. Saya tunggu.
Hal ini membuat saya gelisah. Kenapa tidak ada (atau jarang) orang yang membuat produk 100% digital untuk segmen dunia? Salah satu figur terkenal di dunia perintis Indonesia (tidak boleh sebut nama!) bilang kepada saya bahwa ketika kita membuat produk 100% digital untuk seluruh dunia, sebenarnya kita cuma membuat produk untuk negara yang menggunakan bahasa Inggris (negara-negara di Eropa, India, Amerika Serikat). Kita berkompetisi dengan perintis-perintis di Amerika Serikat, Eropa, dan India. Bandingkan jika kita membuat perintis untuk segmen Indonesia, kompetitornya jarang dari luar karena ada faktor birokrasi, wilayah dan hukum.
Dia ada benarnya. Misalnya ada orang yang namanya A yang tinggal di Belanda. Dia bakal susah untuk mendirikan perusahaan teknologi finansial yang memberi pinjaman kepada petani di Indonesia. Dia harus datang ke Indonesia dan mendirikan Perusahaan Modal Asing. Belum lagi dia harus berhadapan dengan birokrasi Indonesia yang terkenal akan…. <disensor>. Jadi penghalang masuk (barrier entry) tergolong tinggi. Itulah kenapa kita “dianjurkan” untuk membuat perintis khusus segmen Indonesia. Orang luar susah masuk.
Selain itu Indonesia memiliki populasi yang sangat tinggi, hampir 300 juta penduduk. Alasan egois mendirikan perintis kan jadi super kaya. Apakah kaya dari mendirikan perintis yang cuma melayani penduduk Indonesia atau melayani seluruh dunia, itu kan tidak relevan. Seperti kata teman saya, pasar Indonesia itu besar. Besar sekali. Seperti gajah. Eh, seperti paus deh. Hanya ada 3 negara yang jumlah penduduknya lebih banyak daripada Indonesia: Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Dengan faktor pasar yang besar ini, pendiri perintis pun kehilangan insentif untuk melayani segmen dunia. Bandingkan jika Anda adalah warga negara Belanda atau Singapura. Mau tak mau Anda harus mendirikan perintis dengan segmen internasional.
Sytse Sijbrandij (Belanda) dan Dmitriy Zaporozhets (Ukraina) mendirikan Gitlab, saingan dari Github. Valuasi Gitlab itu sekitar Rp 40 trilyun. Memang masih kalah dengan valuasi Gojek. Tapi itu hitungannya sudah yunikon. Gitlab adalah produk 100% digital dengan segmen dunia.
Kenapa saya menceritakan kisah singkat Gitlab? Karena saya merasa gelisah kenapa jarang sekali orang Indonesia membuat produk internasional seperti Gitlab. Jika Anda membaca kisah-kisah pendanaan (funding) perintis Indonesia akhir-akhir ini, hampir semua fokus mereka adalah segmen Indonesia.
Hanya karena Anda tinggal di negara dengan populasi penduduk yang besar, tidak berarti Anda tidak boleh membangun produk internasional. HackerRank itu berasal dari India.
Indonesia memang pasar yang besar. Tapi dunia adalah pasar yang lebih besar. Jika Anda membuat produk untuk orang-orang yang bisa berbahasa Inggris, Anda bisa menjangkau penduduk Amerika Serikat, India, dan negara-negara di Eropa. Hitung saja jumlah penduduknya. Beberapa kali lipat dari Indonesia.
Jika Anda berpikiran Anda bakal berhadapan dengan kompetitor dari seluruh dunia, so what? Anda kan bukan anak kecil yang masih harus sembunyi di belakang kaki orang tua Anda. Lagipula kompetisi dalam negeri bukannya tidak keras. Jadi jangan membatasi diri terhadap Indonesia saja.
Saya akan menceritakan perintis yang melayani segmen dunia dan pendirinya orang Indonesia. Nama perintisnya adalah Cotter. Ia adalah perintis yang memberikan solusi kata sandi satu sentuhan yang lebih aman dari SMS. Pendirinya adalah Putri Karunia, Kevin Chandra, dll. Produk mereka menjangkau seluruh dunia. Mereka orang Indonesia (lihat saja nama-nama mereka, Indonesia banget). Produk mereka 100% digital. Tidak perlu terjun ke lapangan. Moral dari paragraf ini adalah sebagai orang Indonesia, Anda tidak harus membuat perintis yang cuma melayani segmen Indonesia.
Nah, saya juga tidak mau cuma mengkritik. Tapi tindakan saya juga harus sinkron.
Saya membuat situs ArjunaSkyKok.com ini dengan misi untuk meningkatkan harkat dan martabat pemrogram-pemrogram Indonesia. Lihat saja tulisan blog ini! Target artikel ini adalah pemrogram-pemrogram Indonesia. Kalau saya terjemahkan tulisan blog ini ke bahasa Inggris, maka tulisan saya menjadi tidak relevan lagi. Lagipula kenapa orang Amerika Serikat atau India mau membaca tulisan blog yang membahas masalah spefisik di Indonesia? Situs ini bakal meluncurkan produk-produk yang bakal meningkatkan taraf hidup pemrogram-pemrogram Indonesia, misalnya Buku Pemrogram Rp 100 Juta. Ke depannya situs ini (mungkin) bakal meluncurkan produk (misalnya) English for Software Engineers. Dan lain-lain.
Tapi… bukankah saya mengadvokasikan perintis dengan segmen internasional sementara situs ini hanya melayani segmen Indonesia? SABAR WOI!
Selain situs ini yang cuma melayani segmen Indonesia, saya juga sedang mengembangkan perintis / produk internasional, yaitu Mamba. Memang sekarang ia hanyalah proyek kode terbuka (open source). Itu karena saya lagi menyelesaikan buku saya dan saya masih dalam tahap riset dan pengembangan di bidang blockchain. Saya juga sedang membangun reputasi saya di bidang blockchain. Nanti beberapa tahun lagi baru saya kembangkan proyek kode terbuka ini menjadi perintis internasional. Harus Anda ingat banyak perintis yang berasal dari proyek kode terbuka misalnya Gastby, Red Hat, dan Gitlab. So I’ll walk the talk. Bukan cuma omdo. (Permutakhiran tanggal 24 Agustus 2020: sekarang saya fokus ke produk lain: PredictSalary bukan Mamba lagi. Tapi semangat paragraf ini masih sama karena PredictSalary fokusnya ke pasar internasional.)
Jadi tunggu apa lagi? Negara Indonesia tidak sedang diembargo oleh negara adikuasa. Stripe memang belum masuk Indonesia. Tapi kita masih bisa pakai Paypal untuk menerima pembayaran dari konsumen internasional. Masih ada mata uang kripto juga yang lintas negara. Jadi tidak ada yang menghalangi Anda untuk membuat produk internasional. Jangan rendah diri dengan orang-orang luar. Taklukkan dunia dengan produk digital Anda! Go get’em, tiger! ðŊ