Categories
startup

Kenapa Susah Cari CTO?

Pada suatu hari beberapa minggu yang lalu, saya membaca kicauan dari seorang pemodal ventura (VC / Venture Capitalist) dari Sequoia India, lulusan bisnis dari Wharton, yang bernama Alyssa Maharani. Sequoia India itu mencakup India dan Asia Tenggara. Mungkin namanya lebih tepat Sequoia India and South East Asia. 😉

Lihat topik yang saya tandai. “Cariin gw CTO / engineer dong“. Sebagai seorang pujangga Indonesia, terlebih dahulu saya harus meminta maaf kepada kalian dan Ibu Pertiwi, tanah air tercinta, Indonesia Raya 🙏. Saya biasanya sangat ketat dalam berbahasa Indonesia. Saya mengekspresikan diri saya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya melarang diri saya memakai bahasa Indonesia keInggris-Inggrisan. Tapi untuk artikel ini, saya memberi pengecualian untuk istilah-istilah tertentu, seperti CTO / engineer. Karena terlalu aneh dan menyimpang dari kicauan, jika saya menyenerjemahkan CTO sebagai Pejabat Teknologi Utama dan engineer sebagai insinyur. Lagipula, judul “Kenapa Susah Cari CTO?” lebih bersahabat kepada mesin pencari (SEO-friendly) daripada “Kenapa Susah Cari Pejabat Teknologi Utama?” Sekali lagi, maafkanlah jiwa saya yang lemah ini 🙏.

Oke, kembali ke topik. Pemodal ventura yang latar belakangnya bukan engineer (latar belakang dia bisnis) menulis “Cariin gw CTO / engineer dong“. Dia tidak menulis:

  • Cariin gw CFO / akuntan dong,
  • Cariin gw CMO / marketer dong,
  • Cariin gw CPO / product manager dong

Saya bisa membenarkan hal ini karena fenomena ini sesuai dengan pengalaman saya. Untung bukan engineer yang menulis kalimat itu. Jika saya yang latar belakangnya engineer menulis hal seperti itu, orang akan menulis pantun buat saya:

Naik becak ke Bali,

Liburan jangan lupa minum jamu,

Kamu congkak sekali,

Nyebur ke laut saja kamu

Nah, mari kita bahas kenapa CTO yang lebih banyak dicari daripada C-levels lainnya. Konteksnya adalah membangun perintis (startup). Perusahaan kecil yang bakal tumbuh dengan cepat karena faktor pertumbuhan dimungkinkan oleh peranti lunak (software). Bahasa Stratechery-nya, biaya marginal peranti lunak itu 0. Biaya marginal itu maksudnya kalau Anda jual meja ke 100 orang, Anda harus buat meja sebanyak 100 buah (dengan asumsi 1 orang beli 1 meja). Tapi jika Anda menjual peranti lunak kepada 100 orang, Anda hanya perlu buat peranti lunak sebanyak 1 buah saja.

Fungsi CTO

Siapa yang bertugas membuat peranti lunak? Software engineer atau engineer singkatnya. Engineer dengan kemampuan mendalam sebutannya apa? CTO. Nah, inilah jawaban singkatnya.

Tidak berarti bagian lain tidak penting juga. Tentu saja pemasaran (marketing) itu penting. Kalau peranti lunaknya bagus, tapi cuma sedikit orang yang tahu kan sia-sia. Tentu saja Pengalaman Pengguna (UX) itu penting. Peranti lunak yang susah dipakai orang membuat orang malas menggunakan peranti lunak.

Tapi skala pentingnya mereka berbeda. Anggap Anda adalah CEO yang ingin membangun perintis, misalnya pasarloka (marketplace) jual-beli mobil bekas. Anda cuma boleh ambil 1 orang saja sebagai pasangan pendiri (co-founder). Anda disuruh pilih: CTO atau CMO atau CPO atau CFO? Mana yang Anda pilih? Kemungkinan besarnya Anda akan pilih CTO.

Peranti lunak (aplikasi web tempat jual-beli mobil) tanpa UX yang bagus itu memang tidak bersahabat (user-friendly) terhadap pengguna. Tapi masih bisa dipakai. Masih bisa memberikan nilai (value) ke pengguna. Orang masih bisa pakai aplikasi web untuk mencari mobil untuk kemudian membelinya. Pengguna mungkin menyumpah-serapah terhadap aplikasi web yang tidak intuitif tapi setidaknya aplikasi web itu masih bisa dipakai. Sementara itu desain Figma/Sketch aplikasi web atau wireframe-nya tanpa peranti lunak tidak dapat memberikan nilai ke pengguna. Apa yang Anda dapat lakukan sebagai pengguna terhadap mock-up situs web jual-beli mobil bekas?

Pemasaran tanpa produk bisa menarik calon pengguna dalam jumlah besar. Tapi jika tidak ada produk dalam waktu yang signifikan, calon pengguna itu yah akan tetap menjadi calon pengguna bukan pengguna. Produk tanpa pemasaran masih bisa memberikan nilai ke pengguna. Anda mungkin bisa mengumpulkan orang yang membaca blog Anda tentang situs jual-beli mobil bekas sejumlah 1 juta orang. Tapi tanpa situs jual-beli mobil bekas itu sendiri, 1 juta orang ini kan tidak dapat jual-beli mobil bekas.

Yah, saya tahu tulisan ini kesannya tinggi hati, sombong, congkak. Saya juga belajar desain dan pemasaran supaya saya menjadi orang yang holistik. Jadi saya tahu nilai apa yang bisa mereka berikan. Saya tidak bilang desain dan pemasaran itu gampang. Saya belajar Adobe Illustrator dan bisa buat logo dengannya tapi hasilnya jelek sekali.

Tapi dalam konteks membangun perintis (khususnya di masa-masa awal), saya harus bilang engineer “lebih banyak dicari” daripada orang yang memiliki kemampuan UX atau desain atau pemasaran atau akuntansi. Kecuali kemampuan itu berhubungan dengan perintis itu sendiri. Misalnya Anda ingin membuat aplikasi akuntansi berbasis awan, maka akuntan itu mungkin orang yang paling penting. Anda ingin membuat situas jual beli logo atau desain, mungkin desainer adalah orang yang paling penting di perintis.

Anda bisa membuat eksperimen. Bayangkan Anda memiliki teman Anda yang ingin membangun perintis. Dia cari CTO. Anda bisa datang ke dia. Hey, bro/sis, saya ada teman. Dia bisa menjadi CFO. Dia bisa mengatur aliran keuangan perintis kamu. Kalau ada uang lebih, dia tahu harus ditaruh ke sekuritas (marketable securities) berapa persen, ke uang tunai berapa persen. Dia juga bisa mengecilkan pajak yang harus dibayar.

Menurut Anda apa jawabannya? Yah kalau dia punya uang ekstra / anggaran berlebih, mungkin dia akan meminta teman Anda, CFO, untuk bergabung ke perintisnya. Tapi tanpa CTO atau engineer kompeten yang membuat produk peranti lunak di perintis dia, kemungkinan besar perintis dia akan sulit untuk sukses.

Yah saya tahu, tulisan saya ini terkesan pongah. But it is what it is.

Tentu saja, saya tidak bilang engineer adalah matahari di mana profesi lainnya adalah planet-planet yang mengitarinya. Yang saya maksudkan adalah dalam konteks sempit ini, yaitu membangun perintis di masa awal, engineer atau CTO adalah yang paling penting setelah CEO. Tentu saja dalam konteks lain, CTO bisa menjadi orang yang tidak berguna. Misalnya pasien yang sedang kesakitan atau sekarat. Pada konteks itu, dokter adalah jauh lebih penting daripada engineer.

Okelah, anggap CTO itu orang terpenting kedua setelah CEO yang mengurus masalah bisnis atau pencariaan pendanaan. Tapi kenapa langka jumlah persediaan CTO?

Semua Orang Mau Membangun Perintis (Startup)

Karena jumlah permintaan naik jauh lebih cepat daripada jumlah persediaan. Yang satu naiknya mungkin eksponensial sementara yang satunya lagi naik secara linear. Persediaan tidak dapat menyanggupi permintaan lagi.

Semua orang berebutan mau bikin perintis. Jika perintis yang Anda buat itu sukses besar, taruhlah menjadi yunikon (unicorn), maka Anda akan menjadi kaya dan kekayaan Anda bakal melebihi impian Anda yang paling liar sekalipun. Ambil contoh: William Tanuwijaya kekayaannya sekitar Rp 1,8 trilyun (tahun 2018). Achmad Zaky kekayaannya sekitar Rp 1,5 trilyun (tahun 2018). Mereka bekerja kurang lebih selama 10 tahun untuk mencapai kekayaan itu. Saya tanya usaha apa yang dalam 10 tahun bisa memberikan kekayaan sebanyak itu.

Menjadi artis juga tidak akan membuat Anda sekaya ini. Siapa artis terkaya Indonesia? Agnez Mo atau Agnes Monica. Kekayaan dia hanya sekitar USD 30 juta (sekitar Rp 400 milyar lebih). Dan Agnez bekerja lebih dari 10 tahun untuk mencapai kekayaan ini.

Nah, makanya wajar kan banyak orang yang mimpi jadi pendiri perintis yang sukses besar. Tapi sayangnya engineer-engineer yang tersedia tidak mencukupi. Jumlah persediaan benar-benar kering. Kita sampai harus mengimpor engineer-engineer dari luar negeri untuk mencukupi permintaan yang sangat tinggi ini.

Tapi adakah alasan lain kenapa jumlah persediaan engineer ini tidak cukup selain daripada permintaan membuat perintis naik terlalu tajam? Ada.

Profesi Engineer itu Tidak Bergengsi

Kita harus belajar sejarah dulu. Mari kita kembali ke 10 tahun lalu atau lebih. (Software) Engineer waktu itu dianggap sebagai profesi dengan status yang rendah. Jangan ketawa. Ini benar. Status rendah dan bayarannya tidaklah tinggi amat. Makanya banyak engineer yang lari keluar negeri untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Dampak lainnya adalah ada sebagian orang yang tidak mau menjadi engineer dan lari ke profesi yang dianggap lebih bergengsi misalnya manajemen bisnis. Karena manajer itu lebih bergengsi daripada engineer. Engineer itu gengsinya beda dengan dokter ya. Misalnya Anda bertemu dengan dokter yang umurnya 50 tahun ketika memeriksa kesehatan Anda, Anda tidak mungkin kan bilang, “Pak/Bu Dokter, umur sudah 50 lebih, kok masih jadi dokter. Bukannya sudah harus menjadi manajer dokter?”

Di dunia engineering, tidak perlu menunggu sampai umur 50 tahun, pada saat umur 30 tahun, kalau Anda belum menjadi manajer, Anda akan dicela, “Oh, you’re still programmer. I’m already a manager.” Semua orang berebut masuk ke dunia manajemen. Orang yang mau jadi engineer menjadi sedikit jumlahnya.

Hal ini mulai berubah pada tahun 2014 ketika Tokopedia/Bukalapak/Gojek/Traveloka naik daun. Engineer-engineer mulai lebih dihargai. Gaji mereka mulai naik tajam karena semua perusahaan berebutan engineer-engineer yang kompeten. Engineer-engineer juga mulai dianggap sebagai angsa bertelur emas ketimbang sebelumnya dianggap sebagai pusat biaya (cost center). Beberapa tahun belakangan ini orang mulai sadar, profesi engineer itu menjanjikan. Makanya bootcamp mulai berjamuran.

Lalu harusnya permintaan terhadap engineer bisa tercukupi dong? Tidak begitu cepat, Ferguso.

Bukan cuma Anda yang mau membangun perintis dan membutuhkan engineer. Ada ribuan orang seperti Anda yang membutuhkan engineer juga. Sementara jumlah engineer mungkin cuma puluhan. Pasti ada yang tidak kebagian. Ribuan dan puluhan dalam kalimat ini adalah semacam perumpamaan. Jangan ditafsirkan secara harafiah (face value).

Yunikon (Unicorn) Penyerap Engineer-Engineer

Tapi selain itu, ada yang menyerap engineer-engineer ini seperti Lubang Hitam (Black Hole) sehingga membuat pendiri perintis seperti Anda menangis sesegukan karena tidak dapat menemukan engineer-engineer. Mereka adalah yunikon. Mari kita kembali ke kicauan pemodal ventura di atas.

Temen gw abis dihijack unicorn gajinya gede

Mari kita baca bersama-sama kalimat yang saya tandai itu. “Temen gw abis dihijack unicorn gajinya gede.” Jadi Anda bersaing bukan cuma dengan sesama pendiri perintis, tapi Anda bersaing dengan raksasa seperti Gojek/Traveloka/Bukalapak/Tokopedia dan perusahaan bukan yunikon yang berani bayar gaji tinggi ke engineer seperti Tiket.

Gajinya gede. Seberapa tinggi sih gaji engineer di perusahaan raksasa yang sudah saya sebutkan itu? Tinggi sekali! Teman saya yang membangun perintis sampai mengutuk yunikon. Kata dia, yunikon-yunikon ini merusak harga pasaran 😅. Tapi seberapa tinggi sih gaji engineer di raksasa-raksasa ini? Oh, Anda harus menggunakan aplikasi saya, PredictSalary, untuk mencari tahu jawabannya nanti. Maaf, numpang promosi. 😛

Engineer-engineer yang senior (bukan yang junior yah) itu laris manis. Bahasa nginggrisnya in-demand bangeeet. Kalian tahu kan bahwa ada perusahaan teknologi yang harus melakukan PHK terhadap sejumlah karyawan-karyawan mereka. Masuk berita. Tahu tidak kalian bahwa mereka masih mencari engineer-engineer senior. Tentu saja mereka carinya tidak terang-terangan. Saya tahu ini karena teman saya dihubungi oleh perusahaan yang bersangkutan. Tidak boleh sebut nama. Kalian tebak sendiri yah.

Adalah sangat susah bersaing dengan perusahaan raksasa ini untuk merebut hati engineer. Kecuali Anda adalah anak konglomerat dan uang bukan masalah bagi Anda. Atau Anda memiliki kharisma seorang Soekarno.

Saya akan membuat analogi sehingga pemahaman Anda sampai ke sukma Anda bahwa sangat susah bersaing dengan yunikon atau perusahaan raksasa lainnya dalam merebut hati engineer. Analogi yang saya buat adalah pencarian jodoh. Mencari CTO itu seperti mencari jodoh. Susah atau gampang tergantung apa yang Anda bisa bawa ke meja.

Untuk analogi ini, saya membutuhkan beberapa contoh pria atau perempuan yang sangat menarik (attractive men/women). Kita ambil dari kalangan artis saja yah. Orang-orang familiar dengan artis. Siapa perempuan artis yang cantik, kaya, tenar, terampil? Dian Sastro, Raisa, Pevita Pearce, Chelsea Islan, dan lain-lain. Siapa laki-laki artis yang tampan, kaya, tenar, terampil? Abimana Aryasatya, Joe Taslim, Hamish Daud, dan lain-lain.

Karena saya adalah pria yang menyukai perempuan, maka saya akan mengambil Raisa sebagai contoh. Jika Anda adalah perempuan yang menyukai laki-laki, Anda bisa mengambil Joe Taslim sebagai contoh atau siapapun yang Anda suka. Tentu saja Anda tidak harus membatasi diri dengan contoh artis di atas. Mungkin Anda adalah laki-laki penggemar Bollywood dan mengidolakan Katrina Kaif atau Kareena Kapoor. Silahkan pilih mereka. Terus kenapa saya pilih Raisa? Tidak ada alasan khusus. Kalau saya pilih Pevita Pearce, nanti Anda tanya kenapa saya tidak pilih Chelsea Islan? Demi Tuhan, ini cuma analogi. Jangan terlalu serius dengan analogi saya ini. 🙃

Iya, saya tahu Raisa sudah menikah dengan Hamish Daud. Anggap Raisa itu lajang, dan saya bersaing dengan Hamish Daud untuk merebut hati Raisa. Anda sudah tahu Hamish Daud itu seperti siapa orangnya tapi Anda belum tahu seperti siapa saya orangnya. Saya ini laki-laki yang biasa-biasa saja. Saya tidak tampan tapi tidak jelek juga. Saya tidak kaya tapi tidak miskin juga. Saya ini termasuk kalangan menengah (middle class). Tapi saya pandai melucu. Anda boleh percaya atau tidak, hati saya ini baik. Saya ini ramah orangnya. Murah tersenyum kepada siapa saja. Tutur kata saya juga sopan. Saya berdonasi kepada UNICEF tiap bulan. Nah, menurut Anda, siapakah yang berpeluang lebih besar dalam merebut hati Raisa? Tentu saja Hamish Daud!

Bukankah saya laki-laki yang hatinya baik. Iya, tapi Hamish Daud juga sama baiknya. I think we’re both decent men. Jadi saya tidak bisa mengandalkan hati saya yang baik karena hati Hamish Daud juga sama baiknya. Jadi dari sisi hati, saya imbang dengan Hamish Daud. Nah, Raisa pasti melihat faktor lain, yaitu ketampanan, kekayaan, dan lain-lain. Saya kalah telak dengan Hamish Daud. Betul, ketampanan itu adalah hal yang subjektif. Apa orang bilang? Beauty is in the eye of the beholder. Tapi kita bisa mencari kebenaran secara konsensus seperti yang dilakukan blockchain ðŸĪŠ. Kita bisa mengadakan sensus, siapa yang lebih tampan: saya atau Hamish Daud? Saya berani bertaruh, secara signifikan Hamish Daud akan menang.

Nah, Raisa itu adalah engineer, Hamish Daud itu adalah yunikon, saya adalah CEO perintis yang berusaha membujuk engineer untuk menjadi CTO.

Dapatkah saya menyalahkan Raisa karena memilih Hamish Daud yang lebih tampan daripada saya? Tentu saja tidak. Jika saya menyalahkan Raisa, saya menjadi seorang yang hipokrit karena saya sendiri tertarik dengan Raisa itu salah satu faktornya adalah Raisa itu cantik (di samping dia tenar, pandai menyanyi dan baik hatinya).

Ada banyak CEO perintis yang menggunakan bujuk rayu dalam membujuk engineer untuk menjadi CTO. Perintis ini akan menjadi yunikon dalam 6 tahun dan kamu sebagai CTO akan menjadi kaya raya. Tentu saja, bujuk rayu mereka tidak persis seperti ini. Kembali ke analogi, bayangkan saya membujuk Raisa, “Pilihlah aku menjadi pacarmu (seperti lagu Krisdayanti). Aku akan menjadi CEO yunikon yang kaya raya yang hartanya sampai Rp 1 trilyun lebih.” Jika Anda menjadi Raisa, apa yang Anda pikirkan? Anda akan ketawa bukan? Sungguh menggelikan. Tentu saja semua hal bisa terjadi di dunia ini. Jika Donald Trump bisa menjadi presiden Amerika Serikat, tentu saja saya memiliki peluang untuk menjadi trilyuner sebagai pendiri yunikon. Tapi berapa besar sih peluang saya?

Terus ada juga CEO yang menggunakan bujuk rayu dari sisi idealisme bukan materialisme seperti di atas. Bujuk rayunya lebih spiritual. Jadi bujuk rayunya seperti ini. Perintis ini akan meningkatkan taraf hidup orang banyak. Perintis ini akan membawa inklusivitas keuangan kepada masyarakat yang tidak terjangkau oleh perbankan. Nah, menggunakan analogi Raisa, bayangkan saya membujuk Raisa untuk menjadi pacar saya seperti ini, “Raisa, oh, Raisa, saya akan menjadi orang yang hatinya jauh lebih baik daripada Hamish. Saya akan memberi makan fakir miskin lebih banyak. Saya akan tersenyum kepada orang lain lebih banyak. Saya akan menyemangati orang yang putus asa sebanyak mungkin.” Jika Anda menjadi Raisa, apa yang Anda pikirkan? Tergantung. Ada kalanya bujuk rayu yang spiritual ini bisa berhasil. Tapi tidak selalu. Kadang kala Anda sebagai Raisa akan menganggap ini konyol. Lagipula bekerja di yunikon, seorang engineer juga dapat mengubah hidup orang banyak. Anda tidak harus mendirikan perintis untuk membawa perubahan.

Manajemen Resiko Seorang Engineer

Saya akan mengajak Anda melihat bagaimana cara engineer menimbang keputusan untuk bergabung dengan yunikon atau perintis Anda yang tidak jelas bakal sukses atau tidak. Ingat, semua orang memikirkan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Every man is for himself. Every woman is for herself. Every engineer is for themselves.

Nah, bayangkan Anda berasal dari keluarga yang kaya, tidak sekaya konglomerat, tapi sangat kaya. Anda dikuliahkan oleh papa mama Anda di Amerika Serikat. Ketika selesai kuliah dan kembali ke tanah air, Anda lihat pendiri perintis ini tinggi statusnya, lebih tinggi daripada vokalis band. Jadi Anda pun latah ingin mendirikan perintis. Syukur-syukur Anda bisa masuk daftar 30 Under 30 Forbes. Waktu di Amerika itu Anda kuliah manajemen bisnis jadi Anda perlu CTO.

Anda bertemu dengan Ayu, seorang engineer ulung yang direkomendasikan oleh teman Anda. Tidak seperti Anda yang berasal dari keluarga kaya, Ayu berasal dari kalangan menengah, kelas pekerja. Bahasa Inggrisnya, working class. Anda menawari Ayu opsi saham sekian dan sekian. Tapi Anda bilang ke Ayu bahwa gaji seorang pendiri tidaklah besar, misalnya Rp 8 juta. Anda juga bilang bahwa gaji Anda sendiri juga Rp 8 juta. Jadi kalian berdua sama-sama gajinya kecil. Adil.

Tapi benarkah adil bagi Ayu? Dengan gaji Rp 8 juta itu, Anda yang berasal dari keluarga yang kaya, masih bisa hidup mewah karena Anda bisa minta uang dari orang tua Anda. Gaji Anda sebagai CEO perintis tidak menghalangi Anda untuk jalan-jalan di Bali tiap bulan. Anda masih bisa ngopi-ngopi cantik tiap hari di Kemang atau Senopati. Tapi situasinya beda bagi Ayu. Ayu tidak dapat meminta duit kepada orang tuanya. Malah dia yang harus mengirim uang ke orang tuanya setiap bulan. Mau makan apa dia setelah mengirimkan sebagian gajinya ke orang tua? Indomie? Bagi Ayu, lebih baik dia bekerja di yunikon sebagai senior engineer misalnya dengan gaji Rp 40 juta per bulan. Mungkin dia melepaskan kesempatan untuk memiliki kekayaaan Rp 1 trilyun lebih. Tapi bagi Ayu, resiko mendirikan perintis itu terlalu besar bagi dia. Jika Anda gagal sebagai pendiri perintis, Anda masih memiliki jaringan pengaman (safety net) dari orang tua. Anda tinggal meminta modal kepada orang tua untuk mendirikan bisnis lain misalnya cafe atau restoran. Sementara Ayu jika gagal sebagai pendiri perintis? Yah, dia masih bisa cari pekerjaan lain tapi dia melewatkan beberapa tahun dalam mengumpulkan kekayaan. Teman-teman sebayanya mungkin sudah memiliki apartmen sendiri tapi Ayu belum. Biaya kesempatan (opportunity cost) bagi Ayu adalah sangat besar.

Itu satu. Selain itu, tentu saja ada engineer yang selera terhadap resikonya sangat besar. Motto hidup dia adalah YOLO (You only live once). Tapi celakanya engineer ini mau jadi CEO bukan CTO. Jadi apa boleh buat, Anda tidak dapat merekrut dia sebagai CTO. Ada peribahasa. There cannot be two tigers on the same mountain. Anda tidak dapat membujuknya dengan pembagian opsi saham yang sama rata misalnya 50% – 50%. Masalahnya walaupun jatah CEO 50% dan CTO 50%, jatah ketenaran itu tidaklah sama. CEO akan menjadi jauh lebih terkenal daripada CTO. Anda tidak percaya? Anda bisa melakukan eksperimen ini. Coba tanya semua teman Anda: siapa CEO SpaceX? Saya yakin pasti banyak yang dapat menjawab pertanyaan itu dengan benar. Nah, pertanyaan kedua: siapa CTO SpaceX? Pasti banyak yang gagal menjawab pertanyaan ini. Intinya, CEO itu lebih tenar daripada CTO. Tapi Anda masih bisa bergabung dengan dia. Cuma salah satu dari kalian harus mengalah dan tidak ada yang mau mengalah. Dua-duanya mau menjadi CEO. ðŸĪ·

Kembali ke kasus Ayu yang sebenarnya tidak keberatan menjadi CTO. Dia tidak memusingkan Anda menjadi CEO. Dia tidak peduli Anda yang akan masuk sampul majalah bukan dia. Ayu cuma peduli dengan kekayaan. Uang. Money. Dia pengen mendapatkan kekayaan Rp 1 trilyun lebih. Cuma kalau gagal, dia tidak dapat membayangkan sakitnya kegagalan. Dia tidak memiliki jaringan pengaman (safety net). Akhirnya dia memutuskan lebih aman untuk meniti karir sebagai pemrogram di yunikon. Siapa tahu beberapa tahun dia akan menjadi Engineering Manager dengan gaji Rp 100 juta per bulan.

Gaji Rp 100 juta per bulan itu memang tidak ada artinya jika dibandingkan dengan uang Rp 1 trilyun lebih. Tapi bagi Ayu, Rp 100 juta per bulan itu sudah membuat dia hidup bahagia dan nyaman. Dia bisa membeli apartmen sendiri, mobil yang cukup oke. Dia bisa membeli tas desainer ternama. Setelah pandemi berakhir, dia bisa jalan-jalan ke Amerika Latin, Eropa.

Lagipula uang itu sampai titik tertentu tidak akan dapat menambah kebahagiaan Anda lagi. Gaji naik Rp 10 juta menjadi Rp 20 juta, Anda akan tambah bahagia. Gaji Rp 30 juta naik menjadi Rp 50 juta. Anda akan tambah bahagia. Tapi ada titik tertentu, Anda menjadi biasa-biasa saja. Gaji naik dari Rp 100 juta menjadi Rp 120 juta, Anda akan tidak merasa terlalu semangat. Biasa-biasa saja. Grafiknya sudah mendatar.

Jadi bagi Ayu, adalah lebih masuk akal meniti karir di yunikon dan berusaha mendapatkan gaji Rp 100 juta per bulan daripada mendirikan yunikon yang resikonya sangat besar.

Nah, saya tidak pernah menjadi CTO pendiri (saham besar, gaji kecil) tapi saya pernah menjadi CTO profesional (tidak dapat saham, gaji okelah). Tapi saya sering mendapat tawaran menjadi CTO pendiri.

Sudut Pandang Saya Pribadi

Saya akan menceritakan kenapa saya menolak tawaran-tawaran tersebut.

Pertama, saya suka dengan dengan teknologi eksotis seperti robotik, blockchain dan kecerdasan buatan (AI). Semua perintis di mana saya mendapat tawaran sebagai pendiri CTO itu dari sisi teknologi tidak ada yang membuat saya tertarik. Semuanya merupakan aplikasi web CRUD (Create Read Update Delete). Tidak ada yang salah dengan itu sih. Tidak semua perintis harus menggunakan teknologi eksotis. Yang penting kan memberi nilai kepada pengguna. Cuma saya merasa bosan saja. Jangan khawatir. Kasus ini harusnya sedikit. Saya memang aneh orangnya.

Kedua, saya memiliki idealisme dalam menjalankan perintis di mana saya harus menjadi CEO untuk memastikan idealisme ini terlaksanakan. Jika saya menjadi CTO, besar kemungkinan idealisme saya gagal diwujudkan. Misalnya saya mau mendirikan perintis jarak jauh penuh (full-remote company), seperti Gitlab ataupun Automattic. Budaya (culture) harus dipaksakan dari CEO. Jadi mau tidak mau saya harus menjadi CEO untuk mendirikan perintis jarak-jauh penuh. Tidak ada yang salah sih dengan mendirikan perintis yang mengharuskan orang-orang pergi ke kantor fisik, cuma saya pengen saja bikin perintis di mana orang-orang kerja dari rumah atau dari mana saja. Pebisnis-pebisnis yang mau menjadikan saya sebagai CTO itu tidak ada yang percaya dengan budaya kerja jarak jauh (remote culture). Tapi itu sebelum pandemi. Entah mereka sudah berubah pikiran atau belum sejak pandemi ini.

Ketiga, ketika berbincang-bincang dengan orang bisnis yang ingin menjadikan saya sebagai CTO, ada jurang yang lebar dan dalam antara saya dengan mereka dalam filosofi manajemen. Intinya mereka menganggap engineer-engineer itu bisa dikomoditaskan seperti Lego.

Anda tahu kan artinya komoditas? Mari saya jelaskan. Jadi pekerjaan yang gampang terkomoditaskan itu seperti buruh pabrik, sopir. Pekerjaan yang susah terkomoditaskan itu seperti dokter, pengacara. Pekerjaan yang gampang dikomoditaskan itu artinya orang yang melakukan pekerjaan itu bisa digantikan oleh orang lain dengan cepat. Perbedaanya minim antara yang satu dengan yang lain. Ketika Anda minta diantar dari rumah Anda ke kantor Anda, Anda tidak terlalu memusingkan sopir mana yang akan mengantar Anda sepanjang mereka mengemudi dengan aman dan nyaman. Tapi berbeda dengan dokter. Ketika Anda berobat penyakit paru-paru ke dokter spesialisasi paru-paru, Anda memperhatikan betul siapa yang menjadi dokter itu. Anda lihat reputasinya. Anda tidak mau sembarang dokter yang mengobati penyakit paru-paru Anda. Kalau bisa, Anda mau dokter paru-paru terbaik se-Nusantara yang mengobati penyakit paru-paru Anda. Sebelumnya, tidak ada yang salah dengan pekerjaan yang gampang terkomoditaskan. Pekerjaan seperti ini juga memberikan nilai kepada masyarakat termasuk di dalamnya saya. Pekerjaan yang gampang terkomoditaskan adalah pekerjaan yang jujur dan mulia. Dokter tidak lebih mulia daripada sopir. Kita semua, baik dokter maupun sopir, sama kedudukannya di mata Tuhan.

Kembali ke manajemen engineer-engineer, pebisnis yang saya temui itu berpikiran untuk membangun peranti lunak yang spektakuler, mereka membutuhkan sepleton engineer. Bahasa yang mereka pakai, we need an army of engineers. Kuantitas bukan kualitas. Kita harus membangun pabrik untuk menghasilkan engineer-engineer dalam jumlah yang besar. Begitu pikir mereka.

Saya pikirnya engineer itu seperti seniman (artist). Untuk membangun peranti lunak yang spektakuler butuh engineer dengan ketrampilan maha dalam, seperti Leonardo da Vinci yang menelurkan karya Mona Lisa. Padanannya di dunia engineering, Linus Torvalds, menelurkan sistem operasi Linux dan Git. Bagi saya kualitas lebih penting daripada kuantitas.

Nah, jika Anda yang membaca tulisan ini berasal dari latar belakang bisnis, saya akan membuat analogi yang lebih mudah Anda pahami. Hampir semua orang sudah membaca novel Harry Potter kan? Siapa penulisnya? J. K. Rowling. Bayangkan Anda, sebagai pengusaha, tergiur dengan royalti Harry Potter. Maka Anda mempekerjakan seribu penulis dengan harapan Anda bisa menghasilkan novel sebagus Harry Potter dan hasil kerjanya lebih cepat. Seribu penulisnya dapat dari mana? Oh cari saja lulusan sastra Inggris atau sastra Prancis atau sastra Rusia. Menurut Anda, berapa besar peluang Anda dengan seribu penulis itu dalam mengalahkan J. K. Rowling?

Nah, betul engineer tidak sekreatif (susah terkomoditaskan) seperti penulis novel. Jika penulis novel Harry Potter itu nilainya 10 (paling susah terkomoditaskan), sopir itu nilainya 1 (gampang terkomoditaskan), maka engineer itu mungkin nilainya 4 sampai 7. Tergantung situasi.

Kenapa saya tidak nyaman dengan mereka yang memiliki filosofi mengkomoditaskan engineer? Bayangkan perintis kami memiliki engineer yang sangat dalam kemampuannya. Anggap saja perintis kami mempekerjakan distinguished engineer. Gaji dia Rp 100 juta per bulan. Lalu pebisnis ini berpikiran engineer ini terlalu mahal. Maka dia mem-PHK-kan engineer ini lalu sebagai gantinya dia mempekerjakan lulusan anyar (fresh graduates) dengan gaji Rp 7 juta per bulan sebanyak 5 orang. Pikir dia, 5 orang kerjanya akan jauh lebih cepat daripada 1 orang. Terus biayanya lebih murah lagi. Rp 35 juta vs Rp 100 juta. Sisanya Rp 65 juta dihitung sebagai penghematan perusahaan. Lalu dia ambil Rp 20 juta dari Rp 65 juta ini sebagai bonus kepada dia sendiri. Dia menganggap hal ini sebagai penghargaan bahwa dia telah berhasil mengefisiensikan perusahaan. You think I’m joking, but I’m not.

Nah selain masalah filosofi komoditas ini, ada juga perbedaan manajemen lainnya. Ada pebisnis yang mau menjadikan saya sebagai CTO dan dia tidak percaya orang bisa kerja produktif di luar kantor. Karyawan-karyawan itu harus diawasi. Kalau mereka tidak bekerja di kantor, bagaimana kita tahu mereka benar-benar bekerja bukannya bermalas-malasan? Begitu pikir mereka. Sementara itu, filosofi saya adalah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada engineer-engineer (dan karyawan-karyawan dengan profesi lainnya).

Nah, setelah Anda tahu betapa susahnya mencari CTO atau engineer, ada beberapa jalan untuk mengatasi masalah ini.

Solusi Atas Kelangkaan CTO

Jika Anda super kaya, seperti konglomerat, maka solusinya gampang. Bayar saja engineer dengan gaji sangat tinggi. Masalah selesai. Jika Anda membujuk saya untuk menjadi CTO, dan perintis Anda sangat membosankan sekali, tapi Anda menawarkan gaji Rp 250 juta per bulan, maka saya akan terima tawaran Anda dengan senang hati. No questions asked. Tentu saja sepanjang perintis Anda itu tidak melanggar hukum. Bahkan saya rela datang ke kantor setiap hari. Money makes the world go around.

Tapi jika Anda tidak sekaya konglomerat tapi Anda punya modal, Anda bisa meminta jasa rumah peranti lunak (software house) untuk bertindak sebagai CTO. Banyak rumah peranti lunak yang menyediakan jasa CTO as a service. Jadi Anda bayar sekian puluh atau ratus juta per bulan kepada rumah peranti lunak dan Anda mendapat jasa pengembangan peranti lunak sekian jam dengan sekian orang dari mereka. Anda tidak perlu memusingkan diri dengan bagaimana cara memanajemen engineer-engineer yang jual mahal dan tak tahu diri itu. 😉

Gojek juga melakukan strategi ini di masa-masa awalnya. Mereka melemparkan tanggung jawab sebagian pengembangan peranti lunak kepada rumah peranti lunak. Setelah mereka mendapat pendanaan yang gila-gilaan, barulah pelan-pelan mereka menarik kembali. Selain Gojek, banyak perintis yang melakukan strategi ini. Jadi tunggu pendanaan Anda sudah gila-gilaan, barulah Anda bangun tim produk sendiri.

Tapi cara itu hanya Anda bisa lakukan ketika punya modal misalnya Anda sudah mendapatkan pendanaan awal. Bagaimana ketika Anda masih dalam tahap mengembangkan produk setengah jadi (minimum viable product / MVP)? Investor yang Anda temui bilang kepada Anda, kalau MVP sudah ada dan ada daya tarik (traction), barulah dia mau memberi pendanaan awal. Anda tidak dapat menemukan orang yang bersedia menjadi CTO karena semuanya sudah disedot habis oleh yunikon-yunikon yang menyebalkan itu. Jadi apa yang harus Anda lakukan?

Belajar pemrograman. Dan bangun MVP dengan tangan Anda sendiri. Pemrograman itu tidaklah sesulit ilmu bedah otak atau membangun roket. Bahasa Inggrisnya, it’s not a rocket science. Lagipula kebanyakan produk-produk yang ingin dibangun oleh pebisnis yang saya temui itu bertipe aplikasi web CRUD. Yah, seperti aplikasi web jual-beli mobil bekas. Tampilkan data. Cari data. Buat data. Ubah data. Anda hanya perlu belajar pengembangan web dengan teknologi seperti Ruby on Rails, atau PHP + Laravel, atau Python + Django. Jika Anda menyediakan waktu sebanyak 2-3 jam per hari, Anda bisa menguasai kemampuan pemrograman web dalam 1 tahun. Mau lebih yakin? Tambah 1 tahun lagi menjadi 2 tahun. In the grand scheme of things, 2 years is nothing.

Lain cerita ketika Anda ingin membangun produk dengan teknologi eksotis misalnya pesawat nirawak (drone) yang memantau halaman pabrik secara otonom. Anda harus belajar Kalman Filter yang agak ribet. Atau Anda mau membuat produk mesin pencari seperti Google atau DuckDuckGo. Nah itu baru susah. Tapi untuk produk aplikasi web bertipe CRUD, Anda bisa melakukannya sendiri. Setelah Anda punya MVP, dan mendapat pendanaan, barulah Anda mencari engineer-engineer untuk membantu Anda.

Kebanyakan orang anti dengan ide ini karena mereka merasa ketika mereka menjadi generalis seperti ini, tatanan dunia akan hancur. Mereka mungkin berpikir peradaban manusia itu dibangun di atas spesialisasi. Jadi orang bisnis tidak seharusnya belajar pemrograman. Kalau orang bisnis belajar pemrograman, mau jadi apa dunia ini? Anarki akan menguasai dunia ini.

Tentu saja kita tahu hal itu tidak benar. 🙂

Studi Kasus PredictSalary

Nah, mari kita melihat studi kasus, yaitu aplikasi yang saya buat, PredictSalary. Ia adalah pengaya perambah (browser extension) yang bisa memprediksi gaji dari lowongan pekerjaan yang tidak menampilkan gaji dengan teknologi Deep Learning.

Bayangkan saya adalah orang bisnis yang tidak memiliki kemampuan pemrograman, kecil kemungkinannya aplikasi ini bisa diluncurkan. Kecuali saya sangat kaya. Mari kita hitung biaya pengembangan PredictSalary.

Untuk membuat aplikasi ini saya membutuhkan:

  • Deep Learning engineer yang membuat model Deep Learning,
  • Data engineer yang menyajikan data kepada Deep Learning engineer,
  • Frontend engineer yang membuat pengaya perambahnya (pengaya perambah itu pada dasarnya adalah berkas JavaScript yang disuntik ke halaman web),
  • Backend engineer yang membangun aplikasi peladen (server) di depan model Deep Learning yang melayani permintaan prediksi gaji dari pengaya perambah

Anggap jasa 1 engineer itu sekitar Rp 20 juta (pukul rata), berarti saya harus membuang uang Rp 80 juta. Sebagian orang sanggup membayar Rp 80 juta untuk membangun aplikasi ini. Tapi apakah mereka mau mengambil resiko? Selain itu fitur-fitur masih harus dikembangkan lebih lanjut sehingga pengaya perambah ini menjadi lebih dicintai oleh pengguna. Saya harus menghabiskan uang Rp 80 juta tiap bulan untuk mengembangkan PredictSalary. Tidak banyak yang sanggup membuang uang Rp 80 juta per bulan.

Nah, saya tidak perlu membuang uang Rp 80 juta tiap bulan karena saya bisa melakukan semua pekerjaan dari 4 engineer di atas. Biaya yang saya harus bayar hanyalah desain logo, biaya hosting, dan biaya kesempatan (opportunity cost).

Tapi cerita tidak berakhir di sini.

Tahukah Anda bahwa saya memiliki kemampuan di luar kemampuan teknis (pemrograman)? Saya memiliki kemampuan pemasaran (marketing), yaitu pemasaran konten (content marketing). Tidak percaya?

https://www.linkedin.com/posts/arjunaskykok_mememarketing-predictsalary-deeplearning-activity-6690841024908152832-1cQl

Lihat berapa banyak jumlah dilihat dari posting Linkedin ini yang mempromosikan PredictSalary ini. 32 ribu. Pemasaran konten ini mendorong jumlah unduhan PredictSalary secara tajam. Bayangkan jika saya tidak memiliki kemampuan pemasaran, aplikasi PredictSalary masih bisa tetap dirilis. Tapi adopsinya bakal terhambat. Jumlah pengguna bakal menjadi lebih sedikit.

Yang ingin saya katakan jika saya orang teknis bisa belajar pemasaran (ketrampilan non-teknis), kenapa Anda orang bisnis tidak dapat belajar pemrograman?

Saya tidak mengindentifikasikan lagi diri saya sebagai engineer. Saya adalah apapun yang saya perlukan untuk menjadi sukses. Saya adalah engineer ketika membangun produk. Saya adalah tenaga pemasaran ketika memasarkan produk. Saya adalah penulis ketika menulis blog ini. Saya juga belajar banyak hal di luar pemrograman misalnya saya sudah belajar finansial dari Andrew Lo. Saya juga sudah belajar akuntansi sehingga pernyataan finansial tidak lagi mengintimidasi saya.

So do whatever it takes to be successful (barring some pathological cases like killing kitties). If you met an awesome CTO, I would be happy for you. If you don’t, then learn programming and build an awesome product. So one day you’ll be as rich as William Tanuwijaya and Achmad Zaky. I wish you success. 🙏