Categories
salary wealth

Pekerjaan Paruh Waktu

Jadi beberapa hari yang lalu, aku mendapat inspirasi untuk membuat situs lowongan pekerjaan paruh waktu. Situs ini aku namakan ParttimeCareers. Aku mendapat inspirasinya (jam 4 sore). Beberapa waktu kemudian aku langsung beli domainnya. Aku merilis situsnya malam itu juga (jam 11 malam). Kemudian aku mengumumkannya di Hacker News malam itu juga dan besoknya di Linkedin. Respon sejauh ini positif (dari survei, Linkedin, dan Google Analytics). Sebenarnya ide untuk membuat situs lowongan pekerjaan paruh waktu ini sudah lama ada (dari 1-2 tahun lalu). Cuma dorongan kuat untuk memanifestasikan ide ini dan waktu yang tepat baru saya dapatkan beberapa hari yang lalu.

Berikut statistik posting Linkedin tentang pekerjaan paruh waktu.

Statistik posting Linkedin
Statistik posting Linkedin

Posting Linkedin itu sebentar lagi mencapai angka 10 ribu views. Dari pengalaman saya, posting saya di Linkedin yang lewat angka 10 ribu views atau 100 likes harus mendapat perhatian dari saya. Ada “sesuatu” di sana. Ada tren di sana. Ada yang tidak boleh saya lewatkan. Alam semesta sedang mengirim pesan kepada saya.

Kemudian mari kita lihat statistik Google Analytics.

Statistik Google Analytics
Statistik Google Analytics

Dari statistik ini, aku mendapat kilasan cahaya tentang keinginan orang untuk bekerja paruh waktu.

Kemudian aku membuat survei dan menyebarkannya ke teman-teman. Yang ikut cuma 51 responder sih. Mari kita lihat.

Ini hasil penuhnya: https://arjunaskykok.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/survei/survei_pekerjaan_paruh_waktu.pdf

Mari kita bahas pertanyaan pertama.

Apakah Anda sedang/bakal mencari pekerjaan paruh waktu?
Apakah Anda sedang/bakal mencari pekerjaan paruh waktu?

Hanya 14% yang benar-benar ingin bekerja penuh waktu sampai pensiun (atau dalam jangka waktu lama).

Apa alasan mau bekerja paruh waktu?
Apa alasannya?

Dugaan saya sebelum bikin survei, mengurus anak bakal jadi alasan nomor satu. Saya “setengah salah”. Membangun bisnis adalah alasan utama orang mau bekerja paruh waktu.

Tapi yang menjawab “membangun bisnis” itu hampir semuanya laki-laki. Yang menjawab “mengurus anak” itu hampir semuanya perempuan.

Terbuka terhadap karyawan paruh waktu?
Terbuka terhadap karyawan paruh waktu?

Setengah orang terbuka terhadap karyawan paruh waktu tanpa syarat. Sisanya ada syarat.

Jumlah jam kerja paruh waktu yang bisa ditolerir?
Jumlah jam kerja paruh waktu yang bisa ditolerir?

Jawaban ini cukup bervariasi.

Bersimpati kepada karyawan paruh waktu demi anak
Bersimpati kepada karyawan paruh waktu demi anak

Ternyata banyak yang bersimpati terhadap Susi. 😉

Nah, kombinasi dari statistik Linkedin, statistik Google Analytics, dan survei ini membuat saya dapat merasakan kerinduan orang terhadap pekerjaan paruh waktu.

Mengurus Anak

Saya sering bertemu dengan teman-teman saya yang menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Sebagian dari mereka berpendidikan tinggi (minimal S1). Kadang-kadang saya bertanya apakah potensi mereka tidak tersia-siakan dengan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Di kebanyakan kasus mereka memiliki suami yang menjadi pencari nafkah 100%. Gaji suami cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Nah, dari yang saya lihat (tergantung anaknya umur berapa) ibu-ibu rumah tangga penuh waktu ini tidaklah selalu sibuk 100%. Ketika anak masih di bawah 3 tahun, iya, mereka harus mengerahkan seluruh raga dan jiwa mereka dalam mengurus anak mereka. Tapi ketika anak sudah besar, misalnya berumur 6 tahun, mengurus anak tidaklah memerlukan waktu 24 jam. Ada beberapa waktu di mana ibu-ibu rumah tangga ini memiliki banyak waktu luang (apalagi mereka memiliki asisten rumah tangga).

Kemudian saya membayangkan sebuah kasus hipotesis. Susi adalah pemrogram iOS yang mengerti juga Kubernetes (kombinasi yang jarang). Dia bekerja selama 8 tahun sebelum menikah. Suaminya bergaji tinggi karena bekerja sebagai VP of Marketing. Susi melahirkan seorang anak. Setelah mengurus anaknya penuh selama 2 tahun, Susi ingin kembali bekerja untuk mengekspresikan diri atau menambah uang saku atau ingin bersosialisasi di luar rumah. Tapi pekerjaan yang tersedia di pasar cuma pekerjaan penuh waktu (40 jam per minggu). Susi tidak bersedia bekerja penuh waktu karena dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan anak atau dia tidak percaya pengasuh anak (babysitter) 100%. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak bekerja sama sekali. Toh, gaji suaminya sudah cukup besar. Tidak masalah bagi dia sih.

Tapi keputusan dia memberikan masalah bagi kita. Kita kehilangan keahlian (expertise) dan potensi penciptaan kekayaan. Anda pikir gampang mencari pemrogram iOS senior yang jago? Negara juga kehilangan potensi pendapatan dari pajak terhadap penghasilan Susi.

Bayangkan kalau Susi bekerja paruh waktu misalnya 20 sampai 30 jam per minggu. Dia masih bisa berkontribusi terhadap masyarakat (walaupun tidak penuh). Perusahaan bisa menciptakan kekayaan (aplikasi iOS) dengan keahlian Susi. Negara mendapat pemasukan dari pajak (baik dari gaji Susi maupun pemasukan perusahaan).

Ada banyak Susi di luar sana. Bayangkan kalau ada 1000 Susi di luar sana, berapa banyak potensi kekayaan yang terlewatkan oleh kita?

Susi yang ingin mencari tambahan penghasilan akhirnya dihadapkan kepada beberapa pilihan, yaitu menjadi agen asuransi, agen MLM, atau menjual masakan di dalam rumah. Tidak ada yang salah dari ketiga mata pencaharian itu. Tapi jika bakat Susi adalah pemrograman iOS, adalah lebih baik bagi dia untuk mencari penghasilan lewat keahlian dia yang langka itu.

Pasti ada yang bilang, di luar sana ada banyak ibu yang bekerja 100%. Kenapa Susi harus diistimewakan? Karena dengan mengistimewakan Susi, kita juga yang akan diuntungkan secara kolektif. Akan saya jelaskan lebih lanjut di bawah.

Bisnis

Ini alasan paling populer di survei tapi Anda harus ingat bahwa 76% pengambil survei ini adalah laki-laki dan 50% alasan laki-laki mengambil pekerjaan paruh waktu adalah untuk membangun bisnis.

Jika dipikir-pikirkan kembali, ini adalah ide yang bagus. Indonesia kekurangan pengusaha kan? Tapi untuk membangun bisnis, Anda butuh modal. Jika Anda bukan anak orang kaya, Anda harus menabung terlebih dahulu. Hidup dari tabungan memiliki resiko tersendiri. Bisa sih mendapat modal lewat Venture Capitalist (VC). Tapi hal itu memiliki kompleksitas tersendiri.

Tapi bayangkan orang itu (tidak harus laki-laki; bisa perempuan juga) bekerja paruh waktu 20-30 jam dan sisa waktunya dipakai untuk membangun bisnis. Misalnya dia membuat aplikasi video game di platform Steam. Kalau seandainya aplikasi dia gagal, dia masih ada gaji yang menghidupi dia. Kalau seandainya berhasil, dia sudah menciptakan kekayaan di masyarakat dengan aplikasi video game-nya. Dia memiliki tambahan penghasilan dan negara mendapat tambahan pemasukan dari penghasilan dia (dengan asumsi aplikasi video game-nya itu tidak gratis dan memiliki penghasilan dari penjualan langsung atau in-app purchase).

Dari Sudut Pandang Perusahaan

Perusahaan tidak memandang pekerjaan paruh waktu dengan keceriaan. Mereka jauh lebih suka menerima karyawan penuh waktu. Tapi saya akan memberikan alasan kenapa perusahaan harus bersikap terbuka karyawan paruh waktu.

Oh ya, saya harus jelaskan karyawan paruh waktu beda dengan pekerja lepas (freelancer). Karyawan paruh waktu itu seperti karyawan penuh waktu tapi jumlah jam kerjanya di bawah 40 jam per minggu. Pekerja lepas itu yah mungkin bekerja berdasarkan proyek.

Kita tahu Indonesia kekurangan orang yang memiliki bakat teknologi (tech talent). Bajak membajak karyawan teknologi adalah hal lumrah. Banyak yang bingung bagaimana bersaing dengan unicorn atau perusahaan raksasa dalam mempekerjakan karyawan teknologi. Bayangkan Anda menawari Susi Rp 40 juta per bulan, tapi unicorn seperti Bobopi atau Sosola (nama ini adalah fiktif) berani membayar jasa Susi sebesar Rp 60 juta per bulan. Banyak cara untuk menarik Susi ke dalam perusahaan Anda dengan gaji yang kalah jauh daripada gaji di unicorn atau perusahaan raksasa. Misalnya kharisma Anda, opsi saham, opsi bekerja di rumah, dll. Tapi Anda juga bisa menawari pekerjaan paruh waktu kepada dia (jika dia menginginkannya). Misalnya Susi ingin bekerja 30 jam per minggu. Jadi gajinya menjadi Rp 30 juta per bulan. Tidak masalah apakah alasan Susi adalah demi anak atau demi hobi atau demi bisnis. Bobopi atau Sosola mungkin tidak bisa memberi pekerjaan paruh waktu kepada Susi tapi Anda dapat.

Visioner

Tahukah Anda bahwa saya adalah seorang visioner? 😎

Pada tahun 2007 saya melamar pekerjaan sebagai pemrogram jarak jauh (remote engineer). Iya, 13 tahun sebelum pekerjaan jarak jauh itu menjadi “lumayan” mainstream. Saya cuma bekerja selama 1 bulan. Saya tidak cocok dengan perusahaan yang bersangkutan waktu itu. Kemudian saya menyerah. Saya ambil jalan normal. Waktu itu, saya gampang menyerah.

Tapi mengenang kembali peristiwa itu membuat saya lumayan yakin terhadap kemampuan saya memprediksi masa depan. Melihat “tren” pekerjaan paruh waktu sekarang ini mengingatkan saya kepada tren remote pada tahun 2007. Masih sangat awal. Jika Anda kembali ke masa lampau misalnya 10 tahun lalu di Indonesia, dan Anda meminta untuk bekerja sebagai pemrogram di rumah, jangan harap permintaan Anda akan disetujui. Seperti itulah reaksi perusahaan di Indonesia terhadap pekerjaan paruh waktu sekarang ini. Tapi di luar Indonesia, orang-orang sudah mulai terbuka terhadap pekerjaan paruh waktu. Iya, seperti tahun 2007 di mana orang-orang di luar sana sudah mulai terbuka terhadap pekerjaan remote. Tapi ada kemungkinan besar perusahaan-perusahaan di Indonesia mulai terbuka terhadap budaya kerja paruh waktu belasan tahun lagi.

BELASAN TAHUN LAGI? Siapa yang sanggup menunggu selama itu? Nah, bagi kalian pembaca blog saya yang budiman, yang sedang mencari pekerjaan paruh waktu sekarang ataupun dalam waktu dekat, keadaan tidaklah seburuk yang Anda duga. Anda bisa mencari pekerjaan paruh waktu di luar sana. Kan sekarang orang bisa bekerja di mana saja (dengan asumsi pekerjaan-pekerjaan teknologi seperti rekayasa peranti lunak).

Perdalam bahasa Inggris dan keahlian-keahlian yang banyak dicari orang (React, Android, Python, dll) di luar sana.

Produk Domestik Bruto

Pasti ada di antara kalian yang takut tren pekerjaan paruh waktu ini akan membuat Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi kurang kompetitif. Bayangkan semua orang bekerja paruh waktu, mau jadi apa Indonesia ini? 😱

Saya mendukung orang yang mencari pekerjaan paruh waktu seperti contoh Susi di atas tidak berarti saya menginginkan semua orang bekerja paruh waktu di masyarakat. Visi saya adalah 80% orang bekerja penuh waktu dan 20% orang bekerja paruh waktu (dengan berbagai alasannya). Jangan tanya saya darimana saya ambil angka 80% – 20%.

Selain itu 1 orang di hidupnya akan mengalami periode di mana dia ingin bekerja penuh waktu, dan ada kalanya dia ingin bekerja paruh waktu. Misalnya Susi lulus kuliah umur 21 tahun, kemudian dia bekerja penuh waktu sampai umur 30 tahun. Pada usia itu dia menikah dan melahirkan anak. Dia berhenti bekerja selama 3 tahun. Kemudian pada umur 33 tahun, dia bekerja paruh waktu sampai umur 40 tahun. Kemudian pada umur 40 tahun dia bekerja penuh waktu sampai dia pensiun.

Dengan memaksa Susi bekerja penuh waktu pada umur 33 tahun di mana dia masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan anaknya, kita mengambil resiko di mana Susi berhenti bekerja sama sekali karena tidak ada yang mau mempekerjakan dia paruh waktu.

Selain masalah anak, ada juga kasus di mana orang harus mengurus orang tuanya yang sakit parah. Misalnya Budi bekerja penuh waktu sampai umur 35 tahun di mana papanya terkena stroke. Budi ingin mengurangi waktu kerjanya sehingga dia bisa menemani papanya lebih lama setiap minggunya. Anggap mama Budi sudah meninggal.

Pembaca yang budiman dan cerdas pasti ada yang mengusulkan kenapa Budi tidak mempekerjakan perawat untuk mengurus papanya. Jadi Budi bisa berkonsentrasi kepada pekerjaan penuh waktunya. Tidak ada yang salah dengan itu. Dari sisi pendapatan negara, pendekatan ini lebih optimal karena Budi bekerja penuh waktu dan Budi harus membayar gaji kepada perawat yang mengurusi papanya. Jika Budi berhenti bekerja misalnya karena mau mengurusi papanya, negara kehilangan pendapatan dari dua orang yaitu Budi dan perawat.

Tapi tidak semua hal di dunia ini harus diukur dengan ekonomi. Saya yakin papa Budi lebih senang ditemani oleh anaknya, yaitu Budi, ketimbang seorang yang asing. Idealnya, Budi menemani papanya penuh waktu tapi Budi hidup di masyarakat yang tidak sempurna. Budi tidak hidup di dunia Star Trek yang sudah mencapai status post-scarcity society. Jadi Budi harus tetap bekerja. Menurut saya, pekerjaan paruh waktu adalah kompromi yang wajar terhadap situasi Budi. Budi mungkin masih tetap memakai jasa perawat. Dia masih bekerja (walaupun paruh waktu). Tapi dia memiliki waktu tambahan misalnya 10 jam setiap minggunya untuk menemani papanya.

Untuk memperjelas ide ini, bayangkan saya menjadi Presiden NKRI dan saya membuat keputusan untuk meningkatkan pendapatan negara maka semua perempuan tidak boleh menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Mereka harus bekerja untuk meningkatkan produktivitas negara. Lalu yang mengurusi anak mereka? Oh, mereka bisa mempekerjakan pengasuh anak. Dengan demikian maka negara mendapat pemasukan dari pajak terhadap gaji perempuan-perempuan profesional ini. Ekonomi juga menjadi lebih hidup karena perempuan-perempuan profesional ini harus menghabiskan sebagian gajinya untuk membayar jasa pengasuh anak. Bayangkan jika mereka menjadi ibu rumah tangga 100%. Oh, itu adalah tragedi ekonomi karena negara bakal kehilangan pemasukan sekian. Aktivitas ibu mengurusi anak kan tidak termasuk aktivitas komersial sehingga tidak menjadi bagian dari ekonomi.

BUT HAVE WE GONE NUTS OR WHAT? Dunia menjadi terlalu sinis dan dingin jika kita menempatkan ekonomi di atas segalanya. Bobby Kennedy pernah berpidato tentang Produk Domestik Bruto:

Yet the gross national product does not allow for the health of our children, the quality of their education or the joy of their play.  It does not include the beauty of our poetry or the strength of our marriages, the intelligence of our public debate or the integrity of our public officials. 

It measures neither our wit nor our courage, neither our wisdom nor our learning, neither our compassion nor our devotion to our country, it measures everything in short, except that which makes life worthwhile. 

Makanya pekerjaan paruh waktu adalah kompromi yang ideal dari idealisme dan dunia nyata yang tidak sempurna ini.

Rencana ParttimeCareers

Situs ini saya bikin terburu-buru. Ia adalah HTML statik sahaja. Tapi ketika saya memiliki waktu luang, saya akan menggunakan Next.js untuk mengembangkan situs ParttimeCareers. Situs ini akan fokus terhadap pekerjaan paruh waktu di bidang teknologi. Dalam waktu dekat, jangan berharap terlalu banyak dari situs ini. Ia akan hanya menjadi situs daftar pekerjaan-pekerjaan paruh waktu saja. Tapi ke depannya (mungkin 2 tahun lagi) akan ada fitur-fitur lainnya. Misalnya daftar orang-orang yang ingin bekerja paruh waktu. Mungkin bakal ada komunitas. Mungkin bakal ada wawasan tambahan bagi orang-orang yang ingin mendapat pekerjaan penuh waktu. Misalnya mereka harus mengembangkan keahlian apa sehingga mereka gampang mencari pekerjaan penuh waktu. Tentu saja bakal ada integrasi dengan karya tercinta saya, PredictSalary.

Saya berharap karya saya ini akan berguna bagi Anda.

Categories
salary

Pemrogram Rp 100 Juta Per Bulan

Saya mendapat kabar dari teman saya bahwa ada pemrogram (non-manajerial) yang gajinya di atas Rp 100 juta per bulan (belum potong pajak). Bagaimana dia tahu hal ini? Pacarnya bekerja di perusahaan yang sedang memproses aplikasi dari pemrogram ini. Entah pemrogram ini yang melamar atau dia yang didekati perusahaan tempat pacar teman saya bekerja. Pada saat pemrosesan itulah (mungkin perusahaannya meminta pemrogram itu menunjukkan slip gajinya), gaji pemrogram ini diketahui oleh pacar teman saya yang menceritakan ke teman saya, yang kemudian menceritakan kepada saya. Perusahaan tempat pemrogram bekerja itu ada di Jakarta. Jadi dia tidak kerja jarak jauh (remote) ke perusahaan di Silicon Valley misalnya.

Terus ada lagi teman saya yang lain yang menceritakan ada teman kantornya yang mendapat gaji di atas Rp 100 juta per bulan. Dia tahu karena teman kantornya yang menceritakan gajinya kepada dia. Perusahaan ini juga ada di Indonesia waktu teman kantornya mendapat gaji di atas Rp 100 juta per bulan. Pemrogram ini juga bukan manajer.

Jadi ada 2 teman berbeda yang menceritakan fenomena pemrogram Rp 100 juta per bulan (di atas) di perusahaan yang berbeda. Kalau cuma satu teman yang bercerita, mungkin saya agak skeptis. Tapi ini 2 orang. Maksud saya, saya menggunakan probabilitas untuk mencerna hal ini. Peluang muncul kepala dari lempar koin adalah 0,5. Peluang muncul 2 kepala berturut-turut dari 2 kali lempar koin adalah 0,25 (0,5 * 0,5). Peluang teman saya berbohong kepada saya harusnya lebih rendah daripada peluang kepala muncul di lempar koin. Bohong kepada saya itu jahat, sejahat menendang anak kucing. Saya asumsikan teman-teman saya itu pada dasarnya jujur. Jadi taruhlah peluang mereka berbohong kepada saya itu 0,1 (10%). Peluang 2 orang berbeda berbohong kepada saya itu 0,01 (1%).

Hal ini membuat saya bergembira karena keahlian pemrograman (akhirnya) bisa dihargai mahal. Selama ini di Indonesia, jika Anda ingin mendapat gaji tinggi, Anda harus menjadi manajer dan menguasai keahlian memanajemen orang.

Di Indonesia ini, tanah air tercinta, keahlian teknis (termasuk di dalamnya kemampuan rekaya peranti lunak) masih kurang dihargai. Kemampuan manajemen orang jauh lebih dihargai.

Saya pernah bertemu dengan pebisnis yang bilang kira-kira seperti ini, “Kenapa aku harus mempekerjakan 1 pemrogram Rp 15 juta per bulan jika aku bisa mempekerjakan 2 pemrogram Rp 6 juta per bulan?” Jadi banyak pebisnis atau pengusaha yang berpikir pemrogram itu seperti blok lego. Bisa dipertukarkan (fungible). Semakin banyak pemrogram, semakin bagus.

Saya pernah menangkap beberapa pebisnis atau pengusaha yang menggunakan analogi, membangun pasukan tentara untuk membangun perintis. “Saya mau mempekerjakan 100 pemrogram / perekayasa peranti lunak tahun ini.”

Saya bisa bayangkan jika pebisnis ini bertemu dengan pemrogram Rp 100 juta per bulan ini, dia bakal bilang, “Mending saya dapat satu lusin pemrogram Rp 6 juta per bulan daripada bayar gaji kamu.”

Ada juga yang sinis terhadap fenomena pemrogram Rp 100 juta per bulan, “Ini pasti strategi perusahaan besar untuk merusak harga pasar.” Secara tersirat, dia berpikir pemrogram non-manajerial tidak berhak mendapat Rp 100 juta per bulan.

Saya sendiri sudah pernah melihat surat penawaran gaji mendekati Rp 100 juta per bulan. Q4 (Rp 75 juta – Rp 99 juta). Tapi perannya manajerial di departmen teknik (engineering).

Jadi menurut saya, perekaya peranti lunak / pemrogram itu yang gajinya di atas Rp 100 juta per bulan kemungkinan besar ada di Indonesia. Tidak banyak. Tapi ada.