Categories
pendidikan perintis

Universitas Terbaik untuk Startup di Indonesia

Jadi 2 tahun lalu, saya membuat posting paling viral di Linkedin. Posting itu mendapat 1600 reaksi, 162 ribu jumlah terlihat, dan 177 komentar. Setelah itu sampai sekarang, saya tidak dapat membuat posting yang mengalahkan posting tersebut.

Berikut posting terviral sepanjang sejarah saya menjadi Linkedinfluencer:

https://www.linkedin.com/posts/arjunaskykok_kuliah-kerjadiunicorn-activity-6528128788478459905-wfSU/

Posting itu saking viralnya sampai membuat aku dihubungi oleh seorang jurnalis dari Kompas. Dan posting aku pun masuk Kompas (daring yah, bukan cetak).

https://edukasi.kompas.com/read/2019/05/14/20334881/5-universitas-paling-banyak-diterima-4-unicorn-besar-indonesia
https://edukasi.kompas.com/read/2019/05/14/20334881/5-universitas-paling-banyak-diterima-4-unicorn-besar-indonesia

Nah, aku menulis posting itu cuma buat ekspresi diri. Iseng-iseng saja. Buat lucu-lucuan saja. Tapi konten posting itu ternyata bagi banyak orang dianggap nyolot dan menyinggung perasaan orang. Setelah dipikir-pikir, iya sih. Bahasa Inggrisnya obnoxious. Cara menulis aku membakar emosi orang karena konten ini berhubungan dengan kelas (status sosial). Kelas lulusan universitas ternama vs kelas “di luar itu”. Tapi cara aku menulis itu juga yang bikin konten itu viral. Menjadi influencer itu kadang harus nyebelin biar bisa viral. 😝

Kalau Anda pergi ke posting Linkedin itu, Anda bisa lihat banyak komentar yang bernada seperti ini, “Aku bukan dari universitas-universitas tersebut. Tapi aku juga sukses,” dan “Aku bukan lulusan universitas. Tapi aku lebih sukses daripada lulusan universitas.

Kita akan membahas tentang peran sebuah universitas terhadap kesuksesan orang. Gulung ke bagian bawah kalau kalian tidak sabar.

Tapi sementara ini mari kita lihat statistik terkini. Apakah sudah berubah. Statistik ini diambil dari Linkedin. Cari perusahaannya. Terus klik tab People. Lihat bagian “Where they studied“. Perhatikan universitas mana yang mengambil posisi tiga teratas.

Tokopedia

Bukalapak

Traveloka

Gojek

Blibli

OVO

Tiket.com

Apa yang Anda bisa simpulkan? Jika Anda bicara karyawan unicorn, maka lulusan universitas yang paling banyak diterima adalah:

  1. Universitas Indonesia
  2. Institut Teknologi Bandung
  3. Universitas Bina Nusantara

Nah, di posting viral Linkedin saya, ada komentar seperti ini, “Apa gunanya kesuksesan universitas yang memproduksi banyak karyawan yang diterima di unicorn? Mending jadi pengusaha.” Jadi yang berkomentar ini adalah lulusan universitas di luar tiga universitas tersebut. Dan dia adalah pengusaha.

Tapi saya sudah menganalisa pendiri perintis itu kebanyakannya dari universitas mana. Tiga universitas itu tetap mendominasi. Betul, posisi mereka tidak selalu posisi tiga teratas karena ada yang namanya *batuk* lulusan Amerika *batuk*. 😘

Terus saya juga sudah menganalisa eksekutif (C-level dan VP-level) di perusahaan teknologi besar itu kebanyakan dari universitas mana. Tiga universitas itu juga tetap mendominasi.

Berikut kesimpulan saya. Kalau ini adalah Olimpiade universitas terbaik untuk dunia startup di Indonesia, maka pemenang medali emas, medali perak, medali perunggu-nya adalah:

  1. ITB
  2. UI
  3. Binus

Mungkin ada yang keberatan dengan pemenang medali emas, yaitu ITB. Harusnya UI yang juara. Tapi saya mempertimbangkan juga faktor lulusan ITB yang lebih sedikit daripada lulusan UI. Selain itu, sudah ada pendiri unicorn yang berasal dari ITB (pendiri Bukalapak). Tapi belum ada alumni UI yang berhasil menjadi pendiri unicorn.

Tapi kalau Anda mau pasang UI sebagai juara 1, yah silakan. Tidak perlulah kita bergelut 🤼 soal ini. 😝

Nah, mari kita bahas apakah kuliah perlu menjadi syarat untuk sukses (tidak harus di dunia perintis, tapi di hidup pada umumnya). Hal ini untuk menanggapi komentar-komentar di posting Linkedin saya yang sudah saya sebutkan.

Perlukah Kuliah di Universitas Ternama?

Untuk sukses, perlukah kita kuliah di universitas ternama seperti Stanford, MIT, Carnegie Mellon, Oxford, ITB, UI?

Ada yang mengambil contoh bahwa ada orang yang sukses tapi tidak kuliah di universitas ternama. Betul, ada. Dari analisa di atas, kalian juga bisa lihat ada orang yang berasal dari universitas yang kurang terkenal, tapi bisa jadi pendiri perintis, bisa jadi eksekutif di unicorn, bisa jadi karyawan di unicorn.

Tapi kalau kita bicara statistik, nah, ceritanya berbeda. Kalau Anda kuliah di tiga universitas tersebut, maka peluang Anda untuk sukses di dunia perintis menjadi lebih besar. Tapi kalau Anda bukan lulusan universitas ternama, tidak berarti Anda tidak bisa sukses.

https://www.dealstreetasia.com/stories/indonesia-itb-195458/

Kenapa ITB, UI, dan Binus bisa secara konsisten menghasilkan lulusan yang sukses (entah sebagai karyawan, eksekutif, pendiri, pengusaha) di dunia teknologi, secara pasti saya tidak tahu. Tapi mungkin dosen-dosennya bagus dalam mengajar.

Masih ingat Onno W. Purbo pernah bilang salah satu alasan kenapa Indonesia tidak punya banyak orang yang jago di IT adalah karena kebanyakan dosen mengajarnya tidak bagus. His words, not mine.

Ngga banyak dosen yang bisa ngajar bagus dan bener gitu. Banyak dosen yang ngajar ecek-ecek.”

Onno W. Purbo

Jadi jika Anda kuliah di universitas yang dosennya mengajar ecek-ecek, maka peluang Anda untuk sukses menjadi lebih redup. Tapi Anda masih bisa tetap sukses. Anda bisa belajar sendiri kan? Anda bisa belajar dari buku, Youtube, dan lain-lain.

Tapi berapa banyak orang yang memiliki dorongan tinggi seperti itu? Hitunglah statistiknya. Jumlahnya rendah.

Selain itu, ada faktor networking yang cuma ada di universitas ternama. Networking di sini maksudnya orang yang bisa memberi Anda rekomendasi ke perusahaan atau investor.

Misalnya, Anda kuliah di ITB. Terus Anda bikin aplikasi web yang keren. Terus dosen melihat potensi Anda. Dia menghubungkan Anda dengan investor. Boom. Jadilah perintis. Atau mungkin dia mendorong Anda untuk ikut lomba hackathon. Nama Anda jadi populer. Setelah lulus, Anda diperebutkan unicorn.

Tapi bandingkan ketika Anda kuliah di universitas XYZ. Anda bikin compiler yang bisa mengkompilasi bahasa daerah menjadi bahasa Python. Tapi tidak ada yang menghubungkan Anda dengan investor. Jadilah potensi Anda terlewatkan.

Yeah, life is not fair, buddy.

Perlukah Kuliah?

Sekarang mari kita ubah pertanyaannya. Perlukah kita kuliah untuk sukses? Apakah lulusan SMU/SMK bisa sukses juga?

Mari kita ambil contoh Susi Pudjiastuti. Beliau menjadi menteri di periode 2014-2019 tapi beliau tidak menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Beliau cuma lulusan SMP. Tapi beliau termasuk sukses kan? Sebelum menjadi menteri, beliau menjadi pengusaha perikanan yang sukses sampai mampu membeli pesawat.

Bayangkan saya bilang, “Wah lulusan SMP saja bisa sukses. Mari kita memberi nasihat kepada anak-anak muda untuk tidak perlu sekolah sampai SMA. Cukup sekolah sampai SMP saja.” Apa pendapat Anda?

Nggak gitu kan?

Anda harus lihat bahwa orang seperti kasus Bu Susi tidak bisa diekstrapolasi ke kalangan umum. Tahu tidak kenapa dia tidak lulus SMA? Karena dia ikut demo mendukung golput di pemerintahan Soeharto. Hal itu menunjukkan dia berani mengambil resiko. Ini salah atribut penting seorang pengusaha. Selain itu dia juga berasal dari keluarga pedagang sapi. Jadi setidaknya dia memiliki safety net. Faktor penting lainnya adalah dia ulet bekerja.

Kebanyakan orang memiliki pemahaman yang salah terhadap realita karena kurang mengerti statistik. Betul ada kasus seperti Bu Susi, tapi itu adalah outlier. Secara statistik, ada perbedaan penghasilan antara lulusan universitas dan lulusan SMU. Lulusan universitas mendapatkan penghasilan lebih besar daripada lulusan SMU.

https://money.kompas.com/read/2020/02/25/112300526/gaji-rata-rata-pekerja-ri-berdasarkan-jenjang-pendidikan-sd-sampai-s1?page=all

https://learn.org/articles/what_is_the_average_salary_for_high_school_graduates_vs_college_graduates.html

Yes!!!

Ada orang di timeline Linkedin saya yang kadang-kadang posting bahwa dia sering diremehkan karena bukan lulusan universitas (tidak kuliah). Ada nada kepahitan di posting-postingnya. Terus dia bercerita bahwa dia berhasil menjadi sukses, lebih sukses daripada lulusan-lulusan universitas.

Saya bisa berempati terhadap dia. Saya lulusan Binus, tapi saya juga kadang-kadang diremehkan karena bukan lulusan Amerika di lingkungan startup di Jakarta. Jadi kira-kira saya bisa merasakan emosi dia.

Tapi statistik adalah statistik. Kasus outlier tidak boleh diekstrapolasi ke masyarakat umum.

Kembali ke kasus Bu Susi, coba Anda cek latar belakang pendidikan menteri-menteri kita. Kebanyakan lulusan apa?

Jumlah lulusan sarjana di Indonesia itu masih rendah. Makanya orang-orang Indonesia perlu didorong untuk kuliah. Tentu saja, saya mengerti, tidak semua orang mampu kuliah. Makanya ada beasiswa, pinjaman dana pendidikan, Income Sharing Agreement.

Nah, bagi orang yang tidak mengenyam pendidikan di universitas, barulah kita menyemangati mereka dengan kisah Bu Susi. Tidak kuliah, no problem. Anda masih bisa sukses.

Idealnya, nasihat terhadap anak muda itu seperti ini, “Kalau bisa kuliahlah. Kalau bisa, kuliah di universitas ternama. Tapi kalau cuma lulusan SMA/SMK, jangan berkecil hati. Masih bisa sukses kok dalam hidup.” (Terms and Conditions Apply)

Tapi Mungkin Kuliah itu Tidak Perlu

Jadi ada orang yang skeptis terhadap pendidikan tingkat lanjut. Contohnya Peter Thiel (pendiri PayPal). Dia memberi $100.000 (Rp 1,4 milyar) bagi anak muda untuk putus kuliah supaya bisa jadi pengusaha.

https://www.newsweek.com/2017/03/03/peter-thiel-fellowship-college-higher-education-559261.html

Berikut situs Thiel Fellowship:

https://thielfellowship.org/

Kalau Anda lebih muda daripada 22 tahun, Anda bisa memohon duit $100.000 ini untuk mendirikan perusahaan. Tapi Anda harus keluar (drop out) dari kuliah.

Nah, salah satu lulusan Thiel Fellowship adalah Vitalik Buterin (pencipta Ethereum)!

https://www.coindesk.com/peter-thiel-fellowship-ethereum-vitalik-buterin

Pendiri Figma juga lulusan Thiel Fellowship.

https://techcrunch.com/2013/06/26/21-years-4-million-dollars/

Tapi kita harus hati-hati terhadap kasus seperti ini. Mereka ini adalah orang yang bakal sukses entah kuliah atau tidak. Makanya kasus seperti Bill Gates dan Mark Zuckerberg yang drop out itu tidak bisa diekstrapolasi ke kalangan umum. Sebelum kalian putus kuliah, apakah kalian serajin dan sepintar mereka? Keluarga mereka juga lumayan berada.

Tapi Kuliah Mungkin Bukan Pilihan Terbaik

Kalau kalian membaca berita-berita tentang pendidikan, banyak kegelisahan di dunia pendidikan sejak pandemi menghantam bumi ini. Kenapa orang kuliah? Selain mendapat gelar sarjana, itu adalah kesempatan untuk menjadi orang dewasa tanpa tinggal bersama orang tua (kebebasan). Biasanya orang kuliah itu harus merantau. Jadi tidak tinggal serumah dengan orang tuah lagi. Yeah!!!! Kuliah juga menjadi kesempatan untuk menjalin hubungan dengan orang lain (networking).

Nah, kalau kuliahnya online, what’s the point?

Sekalian saja, tidak perlu kuliah. Belajar sendiri dari Khan Academy dan Youtube. Banyak materi pembelajaran gratis terutama di bidang ilmu komputer. Anda bisa belajar Ilmu Komputer (Computer Science) dengan mandiri.

Betul, kalau Anda ingin jadi dokter atau pengacara, apa boleh buat. Tapi kalau Anda ingin jadi software engineer dan bekerja di Gojek, Anda tidak perlu kuliah kan? Kurikulum tersedia di internet. Yang perlu Anda butuhkan adalah disiplin, komputer, dan tempat yang tenang untuk belajar.

Ada banyak startup yang bergerak di bidang pendidikan. Anda bisa membayar lebih murah untuk belajar ilmu ketimbang Anda kuliah.

Lalu Anda bilang, kuliah itu perlu karena Anda butuh kredensial. HRD tidak akan meloloskan Anda untuk bekerja di perusahaan kalau Anda tidak punya surat kelulusan kuliah.

Betulkah demikian? Tidak salah 100%, tapi tidak benar 100% juga. Ada kok lulusan SMK yang kerja di Bukalapak. Saya sudah membaca dokumen IPO Bukalapak.

Tapi kalau Anda memperhatikan latar belakang pendidikan eksekutif di Bukalapak, rata-rata mereka lulusan S2 dan S1. So there’s that.

Nah, kabar baik bagi Anda yang tidak suka kuliah, di “sebagian tempat”, orang-orang sudah tidak memperhatikan surat kelulusan kuliah Anda.

https://twitter.com/balajis/status/1387620880893681670

Sebagai software engineer, Anda bisa bikin portfolio di GitHub/GitLab. Sebagai desainer, Anda bisa bikin portfolio di Behance.

Nah, kalau Anda menjadi software engineer di bagian back-end engineering, kredensial mungkin tidak terlalu penting, tapi kalau Anda bergerak di bidang Deep Learning / Data Science / Machine Learning, kredensial masih dianggap penting. Kalau crypto, tidak terlalu penting.

Networking? Anda juga bisa melakukan networking dengan orang-orang penting di internet, misalnya lewat Twitter, Discord, GitHub, Linkedin.

Kesimpulan

Kuliah penting atau tidak penting? Anda mungkin jadi tambah bingung setelah membaca artikel blog ini. Di satu pihak, saya bilang kuliah itu penting. Di tempat lain, saya bilang, kuliah itu tidak penting.

There are nuances in this problem.

Kalau saya jadi figur publik, misalnya Presiden atau Menteri Pendidikan, maka saya akan bilang, kuliah itu penting. Karena saya berbicara dengan masyarakat umum.

Tapi seandainya ada mahasiswi yang memiliki karakter seperti Bu Susi, dan dia bilang dia bosan kuliah. Dia pengen bikin startup dan putus kuliah saja. Kemungkinannya saya akan mendukungnya.

Kita juga tidak bisa tergantung terhadap universitas untuk memperbaiki kualitas SDM kita. Makanya saya menulis visi saya, yaitu Pendidikan Terdesentralisasi. Orang bisa belajar dari bootcamp atau Youtuber.

Categories
bisnis pendidikan

Pendidikan Terdesentralisasi

Bahasa kerennya decentralized education.

Salah satu contoh bisnis swakarya adalah bisnis pendidikan atau bisnis info. Misalnya Anda membuat situs yang mengajarkan Vue.js kepada orang-orang. Bisnis pendidikan itu (tergantung bagaimana bentuk pendidikannya) bisa mendapatkan insentif pajak dari pemerintah.

Ada beberapa contoh bisnis pendidikan.

Bisnis Konten

Anda menjual konten premium dalam bentuk video atau buku-el (e-book). Misalnya: Pyimagesearch, Vue School.

Strategi bisnis ini sederhana: menulis blog, menulis buletin (newsletter), membuat produk premium (buku-el / video), membuat produk berbayar langganan untuk mengakses fitur premium (Jupyter Notebook / video). Jangan lupa sering-sering promosi konten di media sosial seperti Twitter atau Facebook.

Kalau Anda mau ambil jalan ini, Anda mesti mengincar pasar global. Pasar Indonesia (sepertinya) belum siap.

Live Coding

Kalau Anda ingin memberikan nilai lebih, jangan cuma menjual konten. Tapi Anda membuat orang-orang bisa langsung belajar pemrograman di aplikasi web Anda. Mirip Codecademy. Tapi ini susah sekali.

Sekolah Vokasi

Nama lainnya bootcamp. Contoh: Hacktiv8, Binar Academy, Purwadhika, Dicoding, Algoritma.

Sekolah vokasi juga menawarkan pelatihan ke perusahaan (corporate training). Jika Anda ingin bergerak di bidang ini, Anda harus memiliki relasi yang baik dengan perusahaan-perusahaan (untuk menyalurkan lulusan Anda). Selain itu Anda juga harus memiliki teknik penjualan yang sangat baik jika Anda ingin menawarkan pelatihan ke perusahaan. Sekolah vokasi itu B2C (tapi bisa juga B2B). Pelatihan ke perusahaan itu jelas-jelas B2B.

B2C = Business to Consumers

B2B = Business to Business

Singkatan dari B2B dan B2C

Untuk membangun bisnis sekolah vokasi / bootcamp, Anda harus memikirkan solusi finansial bagi murid-murid Anda. Pasti banyak yang tidak sanggup bayar puluhan juta Rupiah dengan tunai. Belasan juta Rupiah saja masih bikin orang ragu-ragu. Apakah solusinya berupa pinjaman pendidikan, ISA (Income Sharing Agreement), NFT (Non-Fungible Token)? Nanti akan saya bahas di artikel mendatang.

Kalau Anda nasionalis dan idealis, mungkin ini adalah jalan bagi Anda untuk berbakti kepada tanah air. Indonesia bakal kekurangan bakat digital sebesar 9 juta orang.

Spesialisasi

Nah, di artikel ini saya mengajak Anda untuk menjadi pengusaha bisnis pendidikan swakarya. Tapi bagaimana bersaing dengan sekolah vokasi yang sudah mendapatkan pendanaan puluhan milyar Rupiah? Caranya adalah spesialisasi.

Ketimbang mengajarkan full-stack programming, Anda bisa fokus ke algoritma saja, atau CSS saja, atau back-end programming saja, atau basis data saja. Bangun reputasi Anda di atas pilihan Anda baik dengan kontribusi ke proyek open source, atau menulis blog yang berkualitas.

Setelah itu Anda bisa menjual konten dalam bahasa Inggris ke pasar global. Anda juga bisa memberikan pendidikan langsung (live mentorship) lewat Zoom atau Google Meet kepada saudara-saudari Anda di tanah air. Jadi jual konten (dalam bahasa Inggris) dan kasih pengajaran langsung (dalam bahasa Indonesia) adalah kombo yang efektif.

Anda mungkin ragu dengan strategi spesialisasi ini. Apakah dapat mendatangkan uang yang cukup banyak? Jangan salah! Ada orang yang berhasil mendapatkan setengah juta USD dari membuat kursus CSS saja.

Desentralisasi

Spesialisasi ini cocok dengan aspek desentralisasi. Ketimbang mendirikan sekolah vokasi besar dengan pendanaan ratusan milyar Rupiah yang saya namakan sebagai RumahArjunaSkyKok, mending saya mengajak Anda bergotong royong dengan sistem desentralisasi.

Misalnya saya mengajak 5 orang, yaitu Budi, Susi, Joko, Dono, Ayu. Budi membangun bisnis pengajaran algoritma (linked list, dynamic programming, dll). Susi mendirikan bisnis pengajaran NLP (Natural Language Processing, bukan Neuro-Linguistic Programming). Joko mengajar CSS. Dono memutuskan untuk terjun di bidang Laravel. Ayu fokus di basis data (PotgreSQL, MySQL).

Masing-masing bisnis ini berada di payung yang berbeda. Bisnis pengajaran algoritma oleh Budi namanya BudiMengajarAlgoritma. Bisnis pengajaran Laravel dari Dono namanya LaravelKeren.

Nah, bisnis pendidikan ini bisa dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Tidak butuh dana besar. Yang penting mereka gigih membuat konten dan memasarkan bisnis mereka di media sosial. Untuk menjangkau perusahaan-perusahaan, mungkin mereka bisa membuat perusahaan patungan sebagai perusahaan cangkang untuk menjual jasa pelatihan ke perusahaan. Mereka bisa berbagi tenaga penjual dalam menjual jasa pendidikan mereka ke klien perusahaan.

Sertifikat

Mereka bisa mengeluarkan sertifikat sendiri. Tapi bisa juga orang lain yang mengambil bisnis sertifikat ini. Ambil contoh di atas. Ayu mengajar basis data dan SQL. Tapi sertifikat kompetensi SQL bisa dikeluarkan oleh pihak lain, misalnya Ringo. Hal ini mirip dengan uji coba IELTS di mana pembelajarannya terpisah dengan ujiannya. Anda bayar untuk ujiannya.

Kalau Anda sudah mendapatkan sertifikat kompetensi basis data dan SQL dari Ringo, itu tandanya Anda memiliki memiliki kemampuan di basis data dan SQL. Ringo itu mengadakan ujian yang benar-benar jujur. Anda tidak bisa menyuap dia atau berlaku curang. Masalahnya ujiannya seperti apa, itu tidaklah relevan dengan artikel ini. Bisa saja Ringo menggunakan ProctorU, atau mengadakan ujian di lapangan, atau memberi ujian lewat Zoom. Jika lulusan sertifikat SQL dari Ringo terbukti tidak becus, nanti reputasi Ringo bakal hancur. Makanya kadang-kadang mereka yang mengeluarkan sertifikat mesti dipisahkan dari mereka yang mengajar materi tersebut.

Nah, sertifikat ini bisa ditaruh di situs dan diakses dengan API atau perambah. Misalnya: saya sudah lulus kursus Self-Driving Car Engineer Nanodegree dan Robotics Software Engineer Nanodegree dari Udacity.

Sertifikat Nanodegree SDC dan robotik

Sertifikatnya bisa diakses di https://graduation.udacity.com/confirm/DZLSTGVG dan https://graduation.udacity.com/confirm/SKJZCLSS.

Sertifikat juga bisa ditaruh di blockchain dan ditandatangani dengan kunci digital dari pihak yang mengeluarkan sertifikat itu.

Dengan begini saya bisa membuat keperluan kompetensi apa yang saya cari dari seseorang dan orang itu bisa memberikan bukti kompetensinya. Saya tinggal akses dari blockchain atau situs.

Misalnya saya mencari pemrogram back-end untuk aplikasi web saya, SwanLove. Ini adalah keahlian yang saya cari:

  1. Algoritma dan struktur data
  2. Basis data
  3. Ansible
  4. Google Cloud Platform
  5. Python
  6. Django

Nah, orang yang ingin bekerja di tempat saya bisa mengambil kursus algoritma dan struktur data dari Budi. Bisa juga orang itu belajar sendiri dari internet atau buku. Dia bisa ambil ujian algoritma dari Budi atau tempat lain. Dia ambil kursus Python dari Susanti. Dia ikut ujian Django dari Sakura.

Setelah dia merasa kompetensinya cukup, dia bisa kirim lamaran kerja kepada saya. Saya melihat dia memiliki sertifikat di Django, basis data, algoritma dan struktur data, Python. Saya bisa cek sertifikatnya dari blockchain dan mengecek apakah pemilik sertifikat ini benar-benar orang yang mengirim lamaran kerja ini dari tandatangan digital yang dia kirim. Atau saya bisa cek dari situs dan memastikan namanya sama (dan beberapa info pendukungnya cocok).

Orang ini masih belum terampil di bidang Ansible dan Google Cloud Platform. Tidak apa-apa. Dari 6 keahlian yang saya minta, orang ini sudah membuktikan dia memiliki 4 keahlian yang saya cari. Not bad.

Jadi ketimbang Anda mendirikan sekolah vokasi besar yang mengajarkan algoritma dan struktur data, basis data, Ansible, Google Cloud Platform, Python, Django, Anda memutuskan untuk fokus di satu bidang. Strategi ini tidak membutuhkan dana besar. Lebih mudah untuk membangun reputasi di satu bidang.

Kursus Pendidikan Pemrograman Terdesentralisasi

Kita bisa berkoordinasi di forum Pembangun! Anda juga bisa membangun reputasi di forum Pembangun. Jangan khawatir! Anda tetap mempertahankan jenama (brand) Anda. Anda tetap mempertahankan daftar murid-murid Anda.

Selamat Hari Pendidikan Nasional (2 Mei 2021)!