Slipicon Valley, Silicon Bali, Cilegon Valley, ….
Jadi negara kita, Indonesia, terobsesi membangun Silicon Valley. Kita akan melihat kenapa membuat Silicon Valley itu susah setengah mati. Dan kenapa kita tidak perlu berkecil hati jika kita gagal dalam membuat Silicon Valley. It’s not us, it’s them. Walaupun begitu, kita akan melihat kota-kota manakah yang berpotensi menjadi Silicon Valley Indonesia. Terus ada paradigma baru yang mentransenden konsep “Silicon Valley Indonesia”.
Apa itu Silicon Valley?
Orang mengartikan Silicon Valley itu berbeda-beda. Ada yang mengartikannya sebagai sebuah tempat di California di mana banyak perusahaan-perusahaan berbasis peranti lunak dan peranti keras sukses berdiri di situ.
Tapi ada juga yang mengartikannya secara umum, yaitu semua perusahaan teknologi berbasis peranti lunak dan peranti keras dari Amerika Serikat.
Ada yang mengartikan Silicon Valley sebagai suatu mindset dalam menghasilkan inovasi dalam membangun perintis (startup).
Karena orang mengartikannya berbeda-beda, maka kadang-kadang terjadi lost in translation. Misalnya, apakah perusahaan teknologi yang didirikan di New York, seperti Digital Ocean itu termasuk Silicon Valley atau tidak? Ada yang bilang tidak karena New York bukan bagian dari Silicon Valley. Ada yang bilang ya, karena Silicon Valley mencakup semua perusahaan teknologi di Amerika Serikat.
Tapi untuk artikel ini, saya akan menggunakan pengertian Silicon Valley yang mencakup semua perusahaan teknologi dari Amerika Serikat. Kecuali saya membicarakan tempat fisik.
Kenapa orang terobsesi dengan Silicon Valley?
Karena 💸💸💸.
Di atas itu adalah daftar perusahaan-perusahaan yang mencapai valuasi setidaknya $1 trilyun (Rp 14.000.000.000.000.000). Hanya ada satu perusahaan yang bukan bagian dari Silicon Valley.
Silicon Valley Indonesia
Mari kita melihat-lihat tempat-tempat yang dielu-elukan sebagai Silicon Valley Indonesia.
Batam
Kelebihannya adalah dekat dengan Singapura. Ada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Batam. Industri animasi di sana sudah berjalan.
Malang
Ada KEK juga di Malang.
Bali
Bali merupakan hotspot pengunjung dari belahan dunia lainnya. Ini merupakan potensi terjadinya pertukaran ide. Bali juga merupakan tempat favorit orang nomad.
Papua
Tangerang
Tangerang dekat dengan Jakarta.
Surabaya
Salah satu kota terbesar di Indonesia.
Yogyakarta
Bandung
Bogor
Cikarang
Depok
Medan
Manado
Jakarta
Sukabumi
Makassar
Dari kota-kota atau daerah-daerah yang sudah disebutkan di atas, mana yang Anda jagokan menjadi Silicon Valley Indonesia?
Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat sejarah Silicon Valley yang sebenarnya.
Sejarah Silicon Valley
Mari kita kembali ke akar. Apa yang membuat Silicon Valley itu Silicon Valley?
Berikut sejarah lengkapnya:
Ceritanya panjang:
Ada versi videonya yang durasinya sejam.
Kalau Anda punya waktu lebih, coba bacalah artikel-artikelnya atau tontonlah videonya.
Tapi bagi Anda yang sangat sibuk, saya singkatkan sejarah Silicon Valley dalam 3 paragraf.
Di Perang Dunia Kedua, Amerika dan Inggris membutuhkan teknologi untuk men-jamming radar Jerman. Amerika sadar bahwa untuk memenangkan perang, dibutuhkan teknologi yang canggih. Mereka kerjasama dengan universitas. Pemerintah memberi pendanaan yang besar kepada universitas-universitas. Hal ini berlanjut sampai periode setelah Perang Dunia Kedua usai. Musuh Amerika adalah Uni Sovyet saat itu. Amerika ingin terbang melintasi Uni Sovyet untuk memantau kekuatan perang Uni Sovyet. Maka dari itu, Amerika membutuhkan teknologi yang canggih supaya pesawat mereka tidak terdeteksi oleh Uni Sovyet. Teknologi anti-radar dan satelit pun dikembangkan supaya bisa mengintip Uni Sovyet. Teknologi ini membutuhkan hal-hal yang berhubungan dengan Integrated Circuit yang bahannya adalah Silicon.
Nah, teknologi-teknologi ini kebanyakannya dikembangkan di Universitas Stanford. Lalu dekan di sana mendorong murid-muridnya untuk mendirikan perusahaan untuk memproduksi barang-barang elektronik ini dengan klien utama yaitu militer Amerika.
Setelah itu, makin banyak perusahaan yang memproduksi barang-barang elektronik ini. Kemudian ada yang keluarga-keluarga kaya membentuk perusahaan investasi untuk bisnis yang beresiko tinggi. Terus, ada orang yang bikin VC yang memberi pendanaan kepada perusahaan-perusahaan teknologi. Dan seterusnya.
Teknologi-teknologi inilah yang akan menjadi dasar perkembangan industri Komputer Personal (Personal Computer / PC) di Silicon Valley. Jadi adalah kondisi perang dan militer Amerika yang membesarkan Silicon Valley.
Keistimewaan Silicon Valley
Apa sih keistimewaan Silicon Valley itu? Keistimewaan Silicon Valley itu bisa dibagi menjadi empat kategori, yaitu pemerintah dan masyarakat yang mendukung budaya wirausaha di bidang peranti lunak dan peranti keras, SDM dengan kemampuan yang tinggi, pendiri (founder) perintis yang visioner dan pemodal ventura (VC) yang sangat mendukung perintis.
Kita ambil contoh perekayasa peranti lunak dari SDM di Silicon Valley. Apakah Anda memperhatikan yang mengembangkan bahasa-bahasa pemrograman, kerangka pengembangan (framework) dan sistem operasi itu kebanyakannya orang-orang dari Silicon Valley?
Ada banyak pendiri perintis yang sangat visioner dari Silicon Valley, seperti Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg, dan lain-lain.
Jika saya bilang, SDM dan pendiri perintis Indonesia kalah kualitasnya dibandingkan dengan SDM dan pendiri perintis Silicon Valley, saya yakin pasti sedikit yang akan membantah saya.
Nah, ada satu faktor lagi yaitu VC. Banyak ide-ide cemerlang yang hanya bisa lahir dengan bantuan dana yang besar. Kita ambil contoh VC yang sangat terkenal dari Silicon Valley, yaitu Marc Andreessen. Sebelum menjadi VC, dia adalah pencipta Mosaic, yaitu perambah (browser) yang pertama kali banyak digunakan. Dia juga adalah pasangan pendiri (co-founder) Netscape.
Dia adalah salah satu VC yang visioner dan berani mendanai proyek-proyek ambisius. Contohnya:
George Hotz mendapatkan pendanaan $3 juta (Rp 42 milyar) pada tahun 2016 dari VC Andreessen Horowitz (salah satu partnernya adalah Mark Andreessen) untuk perintis mobil swakemudinya.
Anda tidak akan menemukan VC yang mau mendanai perintis self-driving car di Indonesia.
Jika Anda tanya VC di Indonesia kenapa mereka tidak mau mendanai perintis self-driving car di Indonesia, maka jawaban mereka kemungkinan adalah di Indonesia tidak ada SDM mumpuni yang sanggup membangun perintis self-driving car.
Itu ada benarnya, tapi ada faktor juga di mana VC di Indonesia terlalu takut mengambil resiko (risk-averse). Mereka hanya berani berinvestasi pada sektor yang sudah pasti dan aman, seperti SaaS atau e-commerce. Kalau teknologinya terlalu baru, misalnya drone, self-driving car, atau NFT, mereka susah untuk dibujuk dalam memberikan pendanaan.
Faktor terakhir adalah pemerintah dan masyarakat. Di Silicon Valley sana, kegagalan adalah hal yang dipandang lumrah. Tidak apa-apa jika gagal. Di Indonesia, masih ada stigma kegagalan dalam menjadi pengusaha. Belum lagi faktor di mana pemerintah Amerika tanpa sengaja mem-bootstrap Silicon Valley dengan proyek militernya yang mengakibatkan banyaknya muncul perusahaan-perusahaan teknologi.
Kombinasi dari 4 hal ini membuat Amerika (tapi tidak Indonesia) memiliki perusahaan teknologi seperti ini:
It’s not us, it’s them
Mungkin paragraf-paragraf sebelumnya ada yang menyinggung perasaan teman-teman di dunia perintis Indonesia.
“Kita tidak kalah kok dengan Silicon Valley. Buktinya kita punya Tokopedia dengan valuasi $9 milyar atau Rp 100 trilyun lebih. Kita juga punya …. (sebutkan nama perusahaan teknologi Indonesia favorit Anda dengan valuasi besar)”
Anda harus ingat bahwa saya tidak bilang kondisi dunia perintis kita buruk atau menyedihkan secara absolut. Mari kita gunakan analogi. Anggap tim nasional basket kita juara di Asia Tenggara. Itu kondisi yang menggembirakan kan? Kita bisa berbangga akan pencapaian itu. Kemudian tim nasional kita mengikuti Olimpiade dan bertemu dengan tim nasional Amerika Serikat di mana ada Kevin Durant dan teman-temannya. Menurut Anda, berapa skor yang akan terjadi jika Kevin Durant dan teman-temannya bermain serius?
Jika Anda masih ngotot bahwa Indonesia tidak kalah dengan Amerika, lihatlah angka-angka di bawah ini.
Angka untuk Tiongkok (China) ada kesalahan sedikit. Tapi kita membandingkan Indonesia dengan Amerika. Lihatlah jumlah unicorn yang dihasilkan oleh Indonesia dan Amerika. Iya, saya tahu Amerika populasinya 333 juta, dan Indonesia populasinya 274 juta. Kalaupun Anda menormalisasikan jumlah unicorn dengan jumlah populasi, kita masih kalah JAUH.
Amerika Serikat punya beberapa perusahaan yang menembus valuasi $1 trilyun. Kita tidak punya.
Saya mau bilang tidak perlu malu kalah dengan Amerika Serikat, karena bukan cuma kita yang kalah. Hampir semua negara lain juga kalah dengan Amerika.
Masih ingat saya bilang bahwa VC Indonesia kurang suka mengambil resiko? Bukan cuma mereka, tapi VC Korsel juga.
VC Kanada pun dikeluhkan oleh orang-orang.
VC Eropa juga.
Itulah kenapa saya tidak menyalahkan VC Indonesia. VC Silicon Valley itu seperti timnas basket Amerika. Siapa yang bisa mengalahkan mereka? Tidak Eropa, tidak Kanada.
Ehm, itu tidak sepenuhnya benar. Tiongkok lumayan mendekati Amerika. Ada kemungkinan kecil India juga bisa menyusul di masa depan.
Di atas adalah daftar 10 perusahaan teknologi terbesar di dunia. Adakah negara dari Eropa atau Kanada? Tiongkok pun cuma bisa mengambil dua tempat.
Jadi janganlah Anda bersedih jika dunia perintis Indonesia kalah dengan Silicon Valley. Eropa dan Kanada pun kalah.
Yang punya peluang cukup besar untuk “menyamai” Amerika adalah Tiongkok. Dan mungkin India 15 tahun lagi.
Silicon Valley Indonesia yang realistis
Sepanjang Anda tidak mengartikan Silicon Valley Indonesia itu sebagai Silicon Valley di California, sepanjang Anda mengartikan Silicon Valley itu sebagai upaya untuk membangkitkan industri peranti lunak (mari kita lupakan peranti keras setidaknya untuk 10 tahun) di Indonesia, maka peluangnya cukup besar. Pembicaraannya menjadi realistis.
Kita sudah punya Silicon Valley Indonesia, yaitu Jakarta. Sebagian besar perintis-perintis Indonesia bercokol di sini. Nih buktinya.
Jakarta
Bandung
Yogyakarta
Surabaya
Bali
Tangerang
Saya sudah cek kota-kota lain seperti Malang, Medan, Semarang. Jumlah perintis-perintisnya sangat sedikit.
Jadi Jakarta adalah kota yang paling banyak memiliki perintis. Jakarta adalah Silicon Valley Indonesia. Penelitian sudah membuktikannya.
Tapi kita tidak puas jika Jakarta yang mendapat kehormatan Silicon Valley Indonesia. Ada alasan bagus juga. Karena jangan semua menumpuk di Jakarta.
Mari kita lihat unicorn-unicorn yang dihasilkan di kota-kota lain.
Jika Anda perhatikan, India punya Mumbai, Bengaluru, dan New Delhi yang menghasilkan unicorn. Jerman punya Berlin dan Munich. Tiongkok punya Beijing, Shanghai, Hangzhou, Senzhen. Amerika punya banyak kota.
Kita cuma punya Jakarta.
Nah, kota manakah yang paling besar kemungkinannya memunculkan unicorn selain Jakarta di Indonesia?
Tangerang. Karena paling dekat dengan Jakarta. Ingat yah konsentrasi pekerja digital, pendiri perintis, dan VC masih terkonsentrasi di Jakarta.
Saya mendapat informasi dari burung-burung kecil saya, sebagian perintis di bawah portfolio VC tertentu mendapat mandat untuk memindahkan markas mereka ke Tangerang. Saya tidak persis tahu apa alasannya. Mungkin tempat di Jakarta terlalu sesak. Properti di Tangerang masih murah. Atau mungkin feng shui di Tangerang lebih bagus. Entahlah.
Tapi memilih Tangerang sebagai Silicon Valley Indonesia itu curang karena dekat dengan Jakarta. Ada istilah Jabodetabek tahu?
Mari kita pilih kota atau daerah di luar Jabodetabek. Jawabannya ada dua, yaitu Bandung dan Yogyakarta. Mereka bersaing ketat.
Surabaya masih ada harapan. Tapi masih ada perbedaan yang jauh antara Surabaya dengan kota-kota seperti Bandung dan Yogyakarta.
Bali ada harapan sedikit. Bali punya potensi sebenarnya. Ia adalah tempat favorit pekerja nomad. Tapi entah kenapa Bali susah menarik software engineer atau pekerja digital umumnya di Indonesia.
Mari kita kembali ke Bandung dan Yogyakarta.
Bandung karena ia memiliki universitas yang paling sukses di dunia perintis Indonesia. Bandung juga memiliki banyak perintis yang bermarkas di sana. Ingat Silicon Valley (yang di Amerika sana) adalah Silicon Valley karena ada universitas Stanford.
Yogyakarta karena ia yang tampaknya memiliki jumlah pekerja digital paling banyak di luar Jakarta. Budaya software engineering di Yogyakarta adalah yang paling kuat di Indonesia (selain Jakarta). Saya tidak punya data kuat. Nanti kapan-kapan saya investigasi lebih dalam. Sementara datanya dari PredictSalary. Jumlah baris untuk kota Yogyakarta adalah yang paling banyak (di luar Jakarta).
Ada lelucon kejam tentang Yogyakarta, yaitu UMR Yogyakarta. Jadi ada stereotipe tentang Yogyakarta di mana Anda dapat mencari pekerja dengan gaji yang rendah. Saya sering berbincang-bincang dengan pebisnis di Jakarta yang mengeluhkan harga jasa pemrogram di Jakarta terlalu mahal. Solusinya? Cari engineer di Yogyakarta. Saya hampir tidak pernah dengar kota lain. Mungkin 95% pembicaraan ini selalu berakhir dengan, “Mari kita outsource ke Yogyakarta.” Mereka tidak bilang outsource ke Semarang, Solo, Surabaya atau Medan. Selalu Yogyakarta. Yah, ada satu kali paling Bandung disebut.
Nah, Yogyakarta yang selama ini berada di bayang-bayang Jakarta sudah mulai bangkit dan menemukan jati dirinya ketimbang cuma sebagai tempat outsource dari Jakarta atau cabang perusahaan Jakarta.
Gambar di atas adalah footer situs perusahaan Gamatechno yang mengembangkan ERP. Markasnya di Yogyakarta. Cabangnya di Jakarta. Biasanya kan sebaliknya.
Yang mau saya bilang adalah industri software Yogyakarta mulai bangkit. Mereka bukan lagi cuma tempat outsource software engineering perusahaan-perusahaan Jakarta. Mereka bisa bikin perusahaan sendiri dengan karakter sendiri, terlepas dari bayang-bayang Jakarta.
Nah, tapi Bandung juga punya perintis tersendiri. Betul. Bandung punya Bobobox misalnya.
Saya tidak punya data keras. Saya cuma punya data pentilan dari PredictSalary. Saya cuma bisa bilang berdasarkan intuisi saya, Yogyakarta memiliki lebih banyak perintis dan pekerja digital daripada Bandung. Orang Yogya lebih “cinta” kota mereka. Orang Bandung biasanya pindah ke Jakarta untuk membangun perintis. Orang Yogyakarta lebih keras kepala dan tetap tinggal di Yogyakarta. Ini kesan yang saya dapatkan. Tidak ada data keras. Tapi di masa depan, saya akan mengukurnya, oke? Jadi kita tahu mana yang lebih unggul, Bandung atau Yogyakarta.
Analoginya, Jakarta itu di puncak klasemen dengan 40 poin. Bandung itu punya 30 poin. Yogyakarta itu punya 29 poin. Beda tipislah.
Remote
Tapi apakah konsep tempat fisik sebagai Silicon Valley Indonesia itu masih masuk akal? Sekarang kan jaman remote. Kenapa semua orang harus berkumpul di satu tempat untuk membangun perintis? Haruskah semua orang berkumpul di satu gedung untuk membuat aplikasi SaaS?
Tidak kan? Jadi kenapa kita ngotot mau membangun Silicon Valley Indonesia entah di Bandung, Yogyakarta, Medan atau apalah.
Kan kita bisa bikin perintis dengan konsep remote, seperti GitLab, atau Automattic. Bahkan Coinbase pun memutuskan untuk menjadi remote.
Pastikan koneksi internet kencang, stabil dan terjangkau tersedia bagi masyarakat umum. Saya sering melihat orang masih mengumpat tentang salah satu ISP di Indonesia (tidak boleh sebut nama) di Twitter.
Perkenalkan budaya remote ke masyarakat luas. Masih banyak orang yang keras kepala dan memaksa karyawan digital untuk bekerja di kantor.
Jika Anda menerima remote di hati Anda, maka Silicon Valley Indonesia adalah Indonesia. Ia bukan Jakarta, ia bukan Bandung, ia bukan Yogyakarta, tapi ia adalah Indonesia.
Siapa bilang kita harus membatasi diri dengan batas Indonesia? Tahukah Anda bahwa Anda bisa meminta pendanaan dari VC Amerika? Banyak perintis Eropa yang didanai VC Silicon Valley. Terus Anda juga dapat mempekerjakan pekerja digital dari seluruh dunia.
Batas-batas negara sudah mulai lemah di dunia yang serba cloud dan crypto ini.
Jika Anda menerima remote di hati Anda, maka Silicon Valley ada di awan (cloud). Ia bukanlah tempat fisik. Ia tidak bisa dilihat oleh mata, tidak bisa dipijak oleh kaki. Tapi ia nyata.
Bukit Algoritma
Pasti Anda protes jika saya tidak membahas Bukit Algoritma di artikel tentang Silicon Valley Indonesia. Jadi mau tidak mau saya mesti membahas Bukit Algoritma.
Adakah peluang berhasil dari Bukit Algoritma untuk menjadi Silicon Valley? Tentu saja kita mesti memperjelas Silicon Valley yang mana dulu.
Kalau tujuannya mau bikin Silicon Valley Amerika, yah jelas sangat kecil kemungkinannya. Tapi jangan merasa buruk, karena hampir semua negara (kecuali Tiongkok, dan mungkin India di masa depan) gagal membangun Silicon Valley Amerika.
Mari kita membuat tujuan yang lebih realistis. Dapatkah Bukit Algoritma bersaing dengan Jakarta, Bandung atau Yogyakarta?
Jadi saya sudah melakukan perjalanan waktu (time travel) ke masa depan berkali-kali. Hanya ada dua jalan di mana Bukit Algoritma menjadi sukses.
Pertama, Bukit Algoritma mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Dukungan penuh. 100%. Artinya pemerintah membatalkan rencana membangun ibukota baru di Kalimantan dan menggunakan duitnya untuk membangun Bukit Algoritma. Ingat yah, Silicon Valley Amerika itu ada campur tangan pemerintahnya (pendanaan dari pemerintah ke universitas dan militer Amerika bekerja sama dengan universitas dalam membangun alat perang).
Kedua, Bukit Algoritma memilih niche-nya. Jangan hajar semuanya.
Saat ini, Bukit Algoritma mau mengerjakan semuanya, yaitu teknologi nano, pertanian 4.0, drone, robotik, energi terbaharukan, kecerdasan buatan. Anggaran awalnya cuma Rp 18 trilyun. Itu tidak cukup.
Mending Bukit Algoritma fokus ke satu teknologi saja. Kalau bisa teknologi yang berkaitan dengan atom, bukan bit. Atom maksudnya peranti keras, bit maksudnya peranti lunak.
Jadi contohnya Bukit Algoritma didesain menjadi pusat pengembangan drone. Jadi hanya perintis yang berhubungan dengan drone yang diundang ke sini.
Atau Bukit Algoritma fokus ke pertanian 4.0. Jadi Bukit Algoritma mengundang perintis-perintis yang mengembangkan self-driving tractor, drone yang bisa menyemai pupuk, IoT yang memantau tanaman.
Jika Bukit Algoritma fokus ke perintis peranti keras, maka masih masuk akal jika pendiri perintis mau pergi ke sana. Tapi kalau pendiri perintis e-commerce atau SaaS diundang ke Bukit Algoritma, mereka pasti pikir-pikir. Kenapa aku mau pindah ke sana?
Salah satu faktor kenapa Bandung dan Yogyakarta menarik untuk menjadi kota markas perintis adalah mereka banyak hiburan. Di Yogyakarta, ada banyak cafe yang dipenuhi anak-anak muda. Terus ada juga restoran yang unik-unik. Di Yogyakarta, saya pernah menonton konser Raisa. Belum lagi faktor budaya Yogyakarta yang sangat unik dan susah ditiru.
Bagaimana Anda mengharapkan Sukabumi bersaing dengan kota besar seperti Bandung dan Yogyakarta (apalagi Jakarta)?
Jadi cara kedua untuk sukses adalah Bukit Algoritma didesain menjadi pusat perintis peranti keras (hardware) khusus.
Salah satu misi Bukit Algoritma adalah supaya generasi cemerlang Indonesia di luar negeri punya tempat untuk berkarya jika balik ke Indonesia. Tapi di jaman remote, orang Indonesia bisa kontribusi ke Indonesia sambil tetap tinggal di luar negeri. Misalnya karyawan perusahaan yang bermarkas di Indonesia bisa bekerja di Kosta Rika. Atau mereka tinggal di Kosta Rika, bekerja di GitLab dan kirim duit ke keluarga di Indonesia. Itu kan termasuk kontribusi?
Tapi untuk masalah hardware, remote masih belum bisa diterapkan. Jadi masih masuk akal jika Bukit Algoritma mengambil niche itu.
Kesimpulan
Silicon Valley di Amerika itu hampir tidak ada yang bisa mengalahkannya. SDM dan VC-nya levelnya beda. They’re on the league of their own. Tapi kita bisa membuat tujuan yang lebih realistis. Kembangkan industri software engineering dengan Silicon Valley sebagai pedoman. Kota-kota yang berpotensial menjadi pusat industri software engineering adalah Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Tapi dengan konsep remote, pusat fisik itu mungkin jadi tidak relevan lagi.