Categories
bisnis startup

Bekerja di Perusahaan Global

Tapi Anda tetap tinggal di Indonesia. Bisa memangnya?

Jadi saya melihat sebuah tren perintis (startup). Perusahaan ini bersifat regional (misalnya Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, Eropa Timur) dan mereka menghubungkan pemrogram-pemrogram di wilayah tersebut dengan perusahaan global (biasanya perusahaan di Amerika Serikat dan Eropa).

Contoh: Ontop, Andela, Pesto, YouTeam, Turing, Manara.

Andela (dulunya) fokus menghubungkan pemrogram di Afrika ke perusahaan global tapi sekarang mereka sudah menjadi lebih umum. Ontop fokus di wilayah Amerika Latin. Manara fokus di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Di halaman depan situs Manara, mereka menulis, “Why hire from Palestine?”

Salah satu premis bisnis mereka adalah perusahaan global (yang biasanya berada di Amerika Serikat dan Eropa) memiliki duit (dari VC misalnya) tapi mereka kekurangan tenaga kerja (pemrogram umumnya) untuk membangun produk digital. Di luar Amerika Serikat dan Eropa, banyak pemrogram yang berbakat dan membutuhkan pekerjaan. Jadi…. terciptalah pernikahan di surga (marriage in heaven).

Jadi apakah kita bisa bergaji level Silicon Valley tapi tinggal di Indonesia? Nah, perusahaan di Silicon Valley ada yang menyamaratakan level gaji di seluruh dunia, seperti Gumroad. Tapi ada juga yang menggunakan kota tempat Anda tinggal untuk penyesuaian gajinya, seperti Gitlab. Gaji Anda akan lebih rendah jika Anda memilih tinggal di Jakarta ketimbang misalnya tinggal di Singapura. Tapi bahkan dengan penyesuaian terhadap kota tempat tinggal pemrogram, gajinya masih sangat kompetitif dibandingkan dengan perusahaan lokal. Pemrogram yang bukan senior saja bisa dapat USD 5 – 6 ribu per bulan.

Jadi jika Anda sedang mencari pekerjaan, Anda bisa mencoba jasa dari perusahaan-perusahaan yang sudah disebutkan di atas. Pastikan Anda bisa berbahasa Inggris dengan baik. Oh, tentu saja kemampuan pemrograman Anda juga harus baik.

Nah, apakah hal ini akan membuat pasar pemrogram di Indonesia makin ketat dan kering? Entahlah. Tergantung Anda memandang dari sudut pandang apa. Tergantung apa reaksi perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Dari sekilas kita bisa bilang perusahaan Indonesia bakal makin susah menemukan pemrogram-pemrogram untuk membangun produk digital. Pemrogram yang bernama Zard misalnya mendapat tawaran pekerjaan dari perusahaan Kecap DiManaSaja dengan gaji Rp 20 juta, tapi perusahaan di Silicon Valley menawarkan dia Rp 50 juta. Menurut Anda, Zard seharusnya memilih tawaran yang mana?

Nah, perusahaan Kecap DiManaSaja punya pilihan untuk menaikkan tawarannya menjadi Rp 50 juta atau lebih. Perkara mereka mau atau bisa itu cerita lain. Mereka bisa saja memang tidak punya duit. Kemungkinan lainnya adalah bisa saja mereka punya duitnya tapi mereka pelit. Mereka pikir kalau bisa bayar pemrogram dengan murah, kenapa harus bayar mahal? Sebagian masih berpikir pemrogram itu bisa dikomoditasi. Berapa banyak lulusan bootcamp atau universitas tiap tahunnya? Masih banyak yang mau menerima pekerjaan pemrogram dengan gaji Rp 20 juta. Jadi tidak ada faedahnya membayar pemrogram Rp 50 juta.

Jadi seperti yang Anda lihat, semua tergantung dari perusahaan atau perintis di Indonesia. Lalu bagaimana dengan perusahaan yang tidak punya duit? Kan tidak adil bagi mereka untuk bersaing dengan perusahaan di Silicon Valley yang punya kantung yang dalam. Yah, mau bagaimana lagi. Dunia memang tidak adil. Sebenarnya ada beberapa cara untuk membujuk pemrogram untuk menerima tawaran misalnya dengan opsi saham yang murah hati. Tapi birokrasi pemberian opsi saham di Indonesia agak rumit. Makanya banyak perusahaan yang mendirikan badan di Singapura untuk mengatasi masalah ini.

Lalu bagaimana dengan mengumandangkan nasionalisme untuk membujuk pemrogram Indonesia untuk bekerja di perusahaan / perintis di Indonesia? Entahlah apakah itu bisa bekerja dengan baik. Masalahnya kita hidup di jaman globalisasi. Bahkan unicorn seperti Gojek atau Tokopedia, sebagian (entah besar atau kecil) kepemilikan perusahaan tersebut dimiliki pihak asing. Lagipula tergantung bagaimana cara Anda mendefinisikan nasionalisme itu, menerima gaji lebih tinggi (Rp 50 juta di contoh di atas) itu mungkin lebih nasionalis karena Anda (harap-harapnya) bakal membelanjakan uang itu di Indonesia karena Anda tinggal di Indonesia. Semakin banyak Anda menghabiskan gaji Anda di Indonesia, PDB (GDP) Indonesia bakal meningkat. Selain itu mungkin produk digital di perusahaan di Silicon Valley tempat Anda bekerja bakal memberi efek positif yang jauh lebih besar ke dunia (termasuk Indonesia). Misalnya mereka membuat produk perlindungan privasi.

Jadi seperti yang Anda lihat, masalah nasionalisme dan efek positif itu adalah masalah yang pelik. Selain itu, kiamat tidak akan terjadi. Jangan Anda pikir bahwa setelah artikel ini dirilis, semua pemrogram se-Nusantara memutuskan bekerja di perusahaan di Amerika Serikat dan Eropa dan akhirnya semua perintis di Indonesia gulung tikar karena tidak ada pemrogram-pemrogram yang mau bekerja dengan mereka. Pertama, sebagian besar pemrogram Indonesia tidak bakal tahu ada pilihan untuk bekerja di perusahaan luar (blog ini tidaklah terlalu populer). Kedua, sebagian besar pemrogram Indonesia tidak dapat berbahasa Inggris dengan lancar. Ketiga, sebagian besar pemrogram Indonesia kemampuan teknisnya masih kurang. Keempat, mereka masih lebih nyaman bekerja di perusahaan di Indonesia. Kelima, planet Mars yang menaungi negara Indonesia sedang berada di posisi terdekat dengan matahari sehingga nasib perintis-perintis Indonesia masih bagus. Aura mereka masih cemerlang sehingga masih bisa menarik banyak pemrogram Indonesia untuk bekerja di tempat mereka. Hal ini bakal tetap berlaku sampai 10 tahun ke depan. Untuk alasan terakhir ini, saya bercanda. 😂

Lagipula kekayaan itu bukan permainan dengan jumlah nol (wealth is not a zero-sum game). Pemrogram dengan gaji Silicon Valley suatu hari kan mungkin bakal buka bisnis. Entah bisnis beternak lele, atau bikin perintis. Jadi kita tidak perlu cemas dengan pemrogram-pemrogram yang memutuskan untuk bekerja di perusahaan luar ketimbang bekerja di perusahaan dalam negeri karena gaji yang besar. Kita, sebagai masyarakat secara kolektif, tetap bakal diuntungkan dengan fenomena ini.

Dari sisi koin lainnya perusahaan di Indonesia bisa mempekerjakan orang-orang dari seluruh dunia kan. Oh, jangan Anda pikir semua perusahaan di Indonesia itu miskin. Perusahaan Gojek itu valuasinya lebih tinggi daripada Gitlab atau Gumroad. Apalagi kalau sampai bergabung dengan Tokopedia 🙈. Saya juga sudah tahu gaji sebagian pemrogram di Gojek. Dan gajinya ðŸ”ĨðŸ”ĨðŸ”Ĩ. Sangat kompetitif jika Anda bandingkan dengan perusahaan luar. Kan saya pencipta PredictSalary. Adalah jalan ninja saya untuk tahu gaji-gaji orang.

Sebenarnya saya sudah pernah lihat perusahaan seperti Tiket.com mau mendatangkan karyawan dari luar. Mereka ada duitnya. Cuma apakah mereka terbuka terhadap budaya kerja jarak jauh (remote), entahlah. Mereka “lebih suka” mendatangkan orang dari luar untuk bekerja di Jakarta. Yang saya dengar dari karyawan yang bekerja di unicorn atau perusahaan besar (tidak harus Gojek atau Tiket.com) adalah manajemen mau mereka balik bekerja di kantor setelah keadaan “aman“. Tapi opsi bagi mereka untuk mempekerjakan pemrogram-pemrogram yang berbakat dari seluruh dunia selalu terbuka.

Efek seperti apakah yang bakal terjadi beberapa tahun ke depan saya tidak tahu. Ketika mahasiswa lulus di universitas di Indonesia, dia bisa melamar pekerjaan ke seluruh dunia tanpa meninggalkan Indonesia. Tapi persaingainnya juga berdarah-darah karena dia harus bersaing dengan pemrogram-pemrogram yang berbakat dan pekerja keras dari India, Ukraina, Argentina, dan lain-lain. It’s a brave new world.

Nah, situasi ini bisa juga menjadi peluang bagi Anda yang ingin membuat perintis dengan nada yang serupa. Jika Manara fokus terhadap wilaya Timur Tengah dan Afrika Utara, Anda bisa fokus ke Indonesia atau Asia Tenggara. Salah satu nilai yang dapat Anda berikan adalah proses pemeriksaan (vetting) keahlian pemrogram. Hal itu luar biasa sulitnya. Tapi tidak ada hal yang berharga tanpa kesulitan kan? Atau ada? ðŸĪ”

Categories
perintis startup

Analisa C-Level dan VP-Level Perusahaan Teknologi Besar di Indonesia

Di halaman ini, saya akan menulis analisa C-level dan VP-level di perusahaan teknologi besar di Indonesia. C-level dan VP-level ini seperti jenderal-jenderal militer. Kita jangan terlalu terfokus terhadap raja atau ratu atau presiden atau perdana menteri. Tanpa jenderal-jenderal yang kompeten, sebuah negara juga bakal susah untuk memenangkan perang.

Untuk sementara perusahaannya saya batasi hanya perusahaan yang memiliki jumlah karyawan lebih dari 1000 orang. Makanya cuma 7 perusahaan. Ke depan bakal saya tambahkan.

Daftar ini tidak lengkap. Tidak ada yang namanya “select * from gojek where roles = ‘c-level’;” di Linkedin. Anggap saja daftar ini adalah pengambilan contoh (sampling).

Saya ingin melihat distribusi seks, pendidikan, universitas di orang-orang yang sukses karirnya ini.

Halaman ini akan diperbaharui secara berkala.

Saya menyertakan data sebagai berkas CSV buat kalian main-main di Excel atau LibreOffice Calc atau Google Sheets. Ada Jupyter Notebook juga buat kalian yang bisa pakai pandas. Kalian bisa unduh notebook ini dan unggah ke Google Colaboratory buat analisa data.

Lisensi representasi data dan Jupyter Notebook adalah GPLv3. Jadi Anda bisa memodifikasi notebook ini dan mempublikasikannya di tempat lain dengan catatan bahwa Anda tetap menyertakan lisensi GPLv3. Anda tidak perlu minta izin kepada saya.

Jadi misalnya Anda ingin menganalisa faktor tinggi badan di C-level dan VP-level, yah silahkan. Tapi kalau ada orang lain yang mengambil notebook hasil modifikasi Anda itu dan memodifikasinya (misalnya menganalisa representasi ras), yah Anda tidak boleh melarang sepanjang dia menyertakan lisensi GPLv3.

Kalau Anda berani melanggar titah GPLv3â€Ķ. saya akan 👉ðŸ”ĨðŸ”ĨðŸ”Ĩ Anda.

Azula Menembak Petir
Azula Menembak Petir

Harap diingat, data di luar itu tidak rapi. Misalnya ada yang mencantumkan pendidikan tapi tidak ditulis tahunnya sehingga menyulitkan prediksi umur C-level dan VP-level. Prediksi umur menggunakan heuristik tahun mulai belajar di universitas dan tahun mulai bekerja. Artinya umur bisa saja meleset. Misalnya orang bisa saja selesai SMA jalan-jalan dulu sebelum mulai belajar di universitas. Prediksi kewarganegaraan berdasarkan foto, nama, sekolah, dan bahasa yang dikuasai mereka. Ini juga bisa salah. Jadi harap maklum.

Ke depan saya juga akan menyertakan naskah (script) Julia dan R. Sementara pakai Python dulu ya. Selain itu di masa depan saya juga akan menyertakan kolum prediksi gaji dengan karya tercinta saya, PredictSalary. 😂

Data CSV: https://arjunaskykok.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/analisa/c_level_vp_level_perusahaan_teknologi_besar_2020_12_13.csv

Jupyter Notebook: https://arjunaskykok.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/analisa/Analisa_C-Level_dan_VP-Level_di_Perusahaan_Teknologi_Besar_Desember_2020.ipynb

Jupyter Notebook HTML (enak langsung dibaca di tempat): https://arjunaskykok.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/analisa/Analisa_C-Level_dan_VP-Level_di_Perusahaan_Teknologi_Besar_Desember_2020.html

Kesimpulan: Secara gabungan, jumlah perempuan sebagai C-level atau VP-level lebih baik daripada jumlah perempuan sebagai pendiri perintis. Tapi…. ada sesuatu di C-level. Perempuan dan lulusan dalam negeri jumlahnya sedikit sekali. Warga asing paling banyak dari India. ITB adalah universitas yang paling mendominasi di pendidikan S1 C-level dan VP-level. Rata-rata orang mencapai posisi C-level atau VP-level pada umur 33 tahun.

Categories
startup

Analisa Pendiri Perintis di Indonesia

Di halaman ini, saya akan menulis analisa pendiri (founder) perintis (startup) di Indonesia. Untuk sementara perintisnya saya batasi hanya yang didanai oleh pemodal ventura (VC). Saya ingin menganalisa latar belakang pendidikan, seks, pengalaman kerja, dll dari pendiri.

Hal ini bermula ketika saya berdiskusi dengan teman-teman di grup perekayasa peranti lunak. Saya bilang lulusan Amerika mendominasi sebagai pendiri perintis di Indonesia. Saya kasih datanya di artikel saya yang berjudul Jangan Terintimidasi dengan Lulusan Amerika. Di situ saya menganalisa latar belakang pendiri perintis yang mencapai status centaur setidaknya (valuasi USD 100 juta sampai USD 1 milyar). Paling banyak lulusan Amerika. Ada yang tidak setuju. Terus dia keberatan dengan metodologi analisa saya. Di situ saya cari latar belakang pendidikan per perintis bukan pendiri perintis. Jadi misalnya perintis A punya pendiri B dan pendiri C. Jika pendiri B lulusan Amerika dan pendiri C lulusan dalam negeri, saya lihat jabatan mereka. Kalau pendiri B itu CEO, maka saya anggap latar belakang pendidikan perintis A itu Amerika Serikat. Tapi orang yang keberatan ini ada benarnya. Harusnya analisanya per pendiri. Itulah yang saya lakukan di kesempatan berikut ini.

Nah, misalnya pendiri D itu S1-nya di dalam negeri, dan S2-nya di Amerika, lulusan manakah dia? Saya menggunakan konsep spektrum (weighting). Jadi S2 dikasih berat lebih banyak. Dengan contoh itu, maka pendiri D adalah lulusan Amerika 60%, lulusan Indonesia 40%. Bagaimana kalau dia S1 di dalam negeri dan S1 (lagi!!!) di Singapura? Maka pendiri D adalah lulusan dalam negeri 50%, lulusan luar negeri non-Amerika 50%. Bagaimana dengan S3? 60% S3, 30% S2, 10% S1.

Saya juga ingin lihat universitas mana yang paling banyak mengeluarkan pendiri perintis. Di luar Amerika, negara manakah yang paling banyak menjadi tempat belajar pendiri perintis di Indonesia?

Selain masalah pendidikan, saya juga ingin lihat representasi seks (laki-laki dan perempuan). Apakah jomplang?

Anda bisa menganggap analisa ini adalah versi pertama. Ke depannya saya akan menggunakan analisa yang lebih rumit, yaitu menyangkut pengalaman kerja. Misalnya apakah bekerja di yunikon seperti Gojek, Traveloka, Tokopedia, Bukalapak bakal mendongkrak peluang sukses sebagai pendiri perintis? Bagaimana jika bekerja di perusahaan konsultan ternama seperti BCG, McKinsey?

Terus pendidikan kan bukan cuma di universitas? Bagaimana kalau belajar di bootcamp seperti Hacktiv8? Bagaimana kalau belajar di kursus daring seperti Coursera dan Udacity? Ke depan saya akan memperhitungkan ini juga.

Halaman ini akan diperbaharui secara berkala.

Saya menyertakan data sebagai berkas CSV buat kalian main-main di Excel atau LibreOffice Calc atau Google Sheets. Ada Jupyter Notebook juga buat kalian yang bisa pakai pandas. Kalian bisa unduh notebook ini dan unggah ke Google Colaboratory buat analisa data.

Lisensi representasi data dan Jupyter Notebook adalah GPLv3. Jadi Anda bisa memodifikasi notebook ini dan mempublikasikannya di tempat lain dengan catatan bahwa Anda tetap menyertakan lisensi GPLv3. Anda tidak perlu minta izin kepada saya.

Jadi misalnya Anda ingin menganalisa kecocokan Zodiak pendiri di perintis (apakah Gemini harmonis dengan Scorpio sebagai pasangan pendiri / co-founder) 😆, yah silahkan. Tapi kalau ada orang lain yang mengambil notebook hasil modifikasi Anda itu dan memodifikasinya (misalnya menganalisa representasi ras), yah Anda tidak boleh melarang sepanjang dia menyertakan lisensi GPLv3.

Kalau Anda berani melanggar titah GPLv3…. saya akan 👉 ðŸ”ĨðŸ”ĨðŸ”Ĩ Anda.

Azula menembak petir.
Azula menembak petir

Harap diingat, data di luar itu tidak rapi. Misalnya ada yang mencantumkan pendidikan tapi tidak ditulis tahunnya sehingga menyulitkan prediksi tahun kelahiran pendiri perintis. Ada juga yang cuma pasang status Co-Founder tapi tidak ada jabatan (CEO atau COO atau CTO). Prediksi tahun kelahiran menggunakan heuristik tahun mulai belajar di universitas dan tahun mulai bekerja. Artinya tahun kelahiran bisa saja meleset. Misalnya orang bisa saja selesai SMA jalan-jalan dulu sebelum mulai belajar di universitas.

Selain itu saya membagi pendiri ke kategori teknikal atau bisnis. Ternyata pendiri itu susah dimasukkan ke dalam 2 kotak ini. Misalnya ada yang memiliki latar belakang hukum. Ada juga yang bunglon (punya latar belakang teknikal dan bisnis). Misalnya Ferry Unardi (CEO Traveloka) adalah lulusan dengan jurusan Computer Science. Terus dia ambil MBA tapi tidak selesai. Jadi Ferry itu pendiri latar belakang bisnis atau teknikal? Saya masukkan Ferry Unardi sebagai pendiri teknikal karena pendidikan S1-nya lebih dominan. Ada juga kasus pendiri ambil jurusan Computer Science, terus kerjanya di Pemasaran (Marketing) atau Finansial, nah itu saya kategorikan sebagai latar belakang bisnis (pengalaman kerja lebih tinggi nilainya daripada latar belakang pendidikan). Ke depan mungkin saya akan menggunakan spektrum (weighting). Jadi pendiri itu bisa dikategorikan sebagai pendiri teknikal 60%, bisnis 40%. Saya masih memutar otak saya ya.

Ke depan saya juga akan menyertakan naskah (script) Julia dan R. Sementara pakai Python dulu ya.

Saya memulai analisa saya dari perintis yang didanai East Ventures. Di masa depan, saya akan bahas juga perintis dari Surge, YC, dll.

East Ventures

Situs: https://east.vc

Sumber data utama: https://east.vc/c/indonesia/?post_types=avada_portfolio

Data CSV: https://arjunaskykok.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/pendiri/east_ventures/2020-10-06_east-ventures.csv

Ada kesalahan kecil (bug) dalam penghitungan jumlah lulusan Amerika di notebook ini. Tapi kesalahan itu tidak mengubah fakta bahwa jumlah lulusan Amerika adalah yang paling banyak. Nanti di versi berikutnya, saya perbaiki kesalahan itu. Tapi sekarang saya lagi malas. 😉

Jupyter Notebook: https://arjunaskykok.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/pendiri/east_ventures/2020-10-06_Pendiri_Perintis_East_Ventures.ipynb

Jupyter Notebook HTML (enak langsung dibaca di tempat): https://arjunaskykok.s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/pendiri/east_ventures/2020-10-06_Pendiri_Perintis_East_Ventures.html

Kesimpulan: Pendiri perintis perempuan cuma 10%. Lulusan Amerika adalah yang paling banyak. Universitas dalam negeri yang paling banyak menelurkan perintis adalah ITB. Negara favorit di luar Amerika sebagai tempat belajar adalah Australia, diikuti oleh Singapura.

Categories
confidence startup

Jangan Terintimidasi dengan Lulusan Amerika

Ada apa dengan lulusan Amerika? Memangnya kenapa dengan lulusan Amerika sampai judul ini seakan-akan mencari keributan? Jadi begini, teman. Di dunia perintis (startup) di tanah air, lulusan Amerika itu punya aura khusus. Mereka spesial. Saya juga dulu tidak sadar akan fenomena “lulusan Amerika” di tanah air.

Kalau saya bilang “lulusan Amerika” itu maksudnya adalah lulusan universitas yang ada di negara Amerika Serikat. Jadi lulusan universitas di Kanada atau Bolivia itu tidak masuk hitungan. 🙃

Walaupun judul artikel blog ini adalah “Jangan Terintimidasi dengan Lulusan Amerika”, semangat artikel ini bisa dipakai di situasi yang mirip misalnya: lulusan universitas swasta vs lulusan universitas negeri elit, lulusan bootcamp vs lulusan universitas, lulusan SMA vs lulusan universitas, orang Indonesia vs ekspat, dll.

Mari kita pergi ke masa lalu saya. Beberapa tahun yang lalu, saya mendekap tubuhnya, rambutnya yang panjang membelai wajah saya, suaranya yang manja…. Ooops, salah memori. Maaf, maaf, saya ambil memori yang salah. 😂

Mari kita mulai lagi. Beberapa tahun yang lalu, saya diajak oleh teman saya untuk mendirikan perintis. Salah satu strategi yang mau dipakai oleh dia adalah posisi CEO (Pejabat Eksekutif Utama / Chief Executive Officer) mau diberikan ke lulusan Amerika. Dia dan saya sama-sama lulusan dalam negeri. Alasan dia adalah lulusan Amerika itu punya koneksi ke investor-investor yang kebanyakannya adalah lulusan Amerika. Teorinya adalah lulusan Amerika itu punya komunitas sendiri di mana mereka sering berkumpul bersama (hang-out). Nah, dengan begitu, maka CEO lulusan Amerika itu punya probabilitas yang besar dalam mendapatkan pendanaan karena teman bergaulnya investor-investor. Begitulah teorinya.

Hal itu membuat saya merenung apakah lulusan Amerika itu begitu spesialnya. Terus selama saya bertualang di dunia perintis, saya bertemu dengan beberapa orang yang mau mendirikan perintis. Kebanyakan dari mereka adalah lulusan Amerika. Saya jadi bertanya-tanya ini pergaulan saya yang bias atau lulusan Amerika itu memang spesial. Jumlahnya itu signifikan, tidak bisa dikategorikan sebagai kebetulan saja. Ada sesuatu dengan lulusan Amerika ini.

Kemudian saya iseng-iseng lihat statistik latar belakang pendidikan (mereka kuliah di mana) para pendiri perintis. Jumlah perintis itu kan banyak sekali ya. Jadi saya batasi perintis yang masuk kategori yunikon (unicorn) dan centaur. Definisi centaur itu perintis yang memiliki valuasi di atas USD 100 juta tapi di bawah USD 1 milyar. Terus saya tidak masukkan perusahaan yang berasal dari korporasi seperti OVO atau Dana.

Kita mulai dari latar belakang pendidikan pendiri yunikon:

  • Gojek: lulusan Amerika
  • Traveloka: lulusan Amerika
  • Tokopedia: lulusan dalam negeri
  • Bukalapak: lulusan dalam negeri

Imbang ya. 2 lulusan dalam negeri vs 2 lulusan Amerika.

Nah, mari kita lanjut ke daftar perintis lainnya:

  • Akulaku: lulusan Amerika
  • Kredivo: lulusan dalam negeri
  • Halodoc: lulusan luar negeri non-Amerika
  • Sociolla: lulusan luar negeri non-Amerika
  • Warung Pintar: lulusan dalam negeri
  • IDN Media: lulusan Amerika
  • Modalku: lulusan Amerika
  • Kopi Kenangan: lulusan Amerika
  • Waresix: lulusan Amerika
  • Moka: lulusan Amerika
  • Investree: lulusan luar negeri non-Amerika
  • Ralali: lulusan luar negeri non-Amerika
  • Ruangguru: lulusan Amerika
  • Tanihub: lulusan dalam negeri
  • Sayurbox: lulusan luar negeri non-Amerika
  • Fabelio: lulusan luar negeri non-Amerika
  • Payfazz: lulusan dalam negeri
  • Mekari: lulusan dalam negeri
  • Xendit: lulusan Amerika
  • Fore: lulusan dalam negeri

Nah, nah, sumber informasi dari Linkedin. Jadi kalau pendirinya “berbohong” di Linkedin, yah informasinya menjadi salah. Atau mungkin pendirinya lupa perbaharui pendidikannya di Linkedin. Jadi saya ketik “founder nama perintis” di Duckduckgo atau Google. Terus cek nama pendirinya di Linkedin. Mungkin juga saya lupa cek semua pendirinya. Perhitungannya bisa salah yah.

Selain itu saya mesti jelaskan bagaimana cara saya mengkategorikan pendiri ini lulusan Amerika atau dalam negeri atau luar negeri non-Amerika. Aturan saya agak acak (ad-hoc). Misalnya si A, kuliah S1 di dalam negeri, terus S2 di Amerika, saya hitungnya lulusan Amerika. Terus ada lagi kasus pendiri S1 di Amerika terus S2 di Eropa, dan pasangan pendiri lainnya kuliah di Amerika saja. Nah, itu saya hitungnya lulusan Amerika. Nah, terus ada lagi pendirinya bukan WNI, tapi orang luar. Yah, wajar sih, dia kuliah di luar. Itu tetap saya hitung.

Idealnya hitung-hitungan begini tidak boleh binary (hitam atau putih). Mesti pakai berat (weight) atau spektrum (hitam – abu-abu – putih). Jadi pendiri S1 di Eropa, terus S2 di Amerika, itu mungkin hitungannya 60% lulusan Amerika, 40% lulusan luar negeri non-Amerika. Terus kalau pasangan pendirinya lulusan Amerika saja maka hitungan spektrumnya berubah menjadi 70% lulusan Amerika, 30% lulusan luar negeri non-Amerika.

Tapi itu mesti menunggu saya punya waktu luang. Sekalian juga saya investigasi perintis-perintis lainnya, seperti Qlue, Ajaib, Bukukas, dan lain-lain. Lagi sibuk saya sekarang. Menyelediki latar belakang para pendiri perintis ini bikin cape, tahu gak? Misalnya, saya ketik “founder fabelio” di Google. Terus saya klik artikel pertama di hasil pencarian.

Ketik “founder fabelio” di Google
Nama “founder fabelio” di artikel yang bersangkutan

Nah, saya tinggal ketik “Christian Sutardi”, “Krisnan Lenon”, “Marsel Utoyo” di Linkedin, terus saya lihat pendidikan mereka di Linkedin. Begitu saja? Tidak begitu cepat, Ferguso. Tidak ada nama “Krisnan Lenon” dan nama “Marsel Utoyo” di Linkedin. Ternyata salah tulis. Harusnya “Krishnan Menon” dan “Marshall Tegar Utoyo“. 😑

Nah, grafiknya seperti ini:

Grafik latar belakang pendidikan pendiri perintis centaur

Lihat tidak, lulusan Amerika yang paling banyak. Padahal jika dibandingkan dengan lulusan dalam negeri, lulusan Amerika itu jumlahnya sedikit sekali. Jumlah mahasiswa Indonesia di Amerika itu 9000 lebih (tahun 2020). Sementara itu jumlah mahasiswa terdaftar di dalam negeri itu hampir 7 juta (tahun 2018). Jumlah mahasiswa dalam negeri itu ratusan kali lebih banyak. Kalau digabungkan kedua kategori ini, mahasiswa Indonesia di Amerika itu jumlahnya di bawah 1%. Hal ini mengasumsikan persentase kelulusan mahasiswa di dalam negeri dan Amerika sama ya.

Jadi 50% pendiri yunikon dan 40% pendiri centaur itu lulusan Amerika. ðŸĪ·â€â™‚ïļ

Kalau Anda penasaran terhadap negara-negara di lulusan luar negeri non-Amerika, paling banyak Australia. Selebihnya tersebar merata di Kanada, Jerman, Belanda, Inggris.

Ini konsisten dengan pengalaman anekdot saya di lapangan. Misalnya ada 9 orang yang “berjumpa” dengan saya dan ingin mendirikan perintis, mungkin persentasenya seperti ini: 5 orang lulusan Amerika, 3 orang lulusan dalam negeri, 1 orang lulusan luar negeri non-Amerika. Lulusan Amerika benar-benar mendominasi dunia perintis.

Nah, kembali ke kasus di mana saya diajak mendirikan perintis dan menyerahkan posisi CEO kepada lulusan Amerika, saya tidak tahu seberapa banyak kasus seperti itu. Apakah lulusan Amerika mendapatkan “keistimewaan” dalam mendirikan perintis? Kalaupun ada, apakah jumlahnya signifikan?

Tapi saya bisa menceritakan hipotesis saya bagaimana lulusan Amerika itu bisa mendominasi dunia perintis. Apa sih kelebihan mereka? Dan, sesuai dengan judul artikel ini, bagaimana supaya tidak terintimidasi mereka? Bagaimana cara menetralkan keunggulan mereka dan malah balik mengintimidasi mereka? Minimal apa yang Anda dapat lakukan supaya tidak minder dekat mereka. Lulusan Amerika itu (dari pengalaman saya) pintar-pintar tapi bukan berarti mereka “tidak bisa dikalahkan”. They are not invincible. Jadi kalau Anda “cuma” lulusan dalam negeri, sementara kompetitor Anda lulusan Amerika dan kalian sedang berebut posisi Wakil Presiden (Vice President) di perusahaan tempat kalian bekerja, baca artikel ini sampai selesai.

Ketika berkompetisi dengan lulusan Amerika, kalau Anda tidak dapat mengalahkan mereka, minimal jangan kalah banyak. JANGAN sampai kalah telak. Analoginya, kalau ini adalah pertandingan sepakbola, jangan sampai bernasib seperti Barcelona yang kalah 2-8 dari Bayern Munich. Jangan seperti Brazil yang kalah 1-7 dengan Jerman di semifinal Piala Dunia 2014. Kalah tipis, seperti kalah 1-2, tidak apa-apa. Kalah telak itu bisa merusak psikologi Anda. Kepercayaan diri Anda bisa tidak pulih bertahun-tahun.

Oke, mari kita mulai. Keunggulan pertama dari lulusan Amerika adalah:

Bahasa Inggris

No shit, Sherlock. 😂

Ini adalah medan pertempuran yang paling penting. Cara untuk tidak kalah di medan pertempuran ini gampang. Tapi kalau Anda sampai kalah telak, rusaklah semuanya. Kalau Anda cuma ambil satu hikmah dari artikel blog yang panjang ini, inilah dia: Belajar bahasa Inggris. This is a low hanging fruit. Saya serius. Jangan sampai bahasa Inggris Anda jelek.

Kalau saya adalah kompetitor Anda di perusahaan (misalnya saya lulusan Amerika), maka hal pertama yang akan saya lakukan adalah mencari tahu apakah bahasa Inggris Anda jelek atau tidak. Kalau jelek, saya akan menyerang Anda habis-habisan dari sini. Saya akan membuat Anda berbicara bahasa Inggris di depan rekan-rekan kerja lain dan Anda akan malu sendiri karena Anda salah mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Anda akan ditertawakan oleh orang lain. Anda akan malu sendiri. Hal itu akan merusak rasa percaya diri Anda dalam merebut posisi Wakil Presiden Teknik (VP of Engineering) misalnya.

Anda pasti berpikir kan kita hidup di Indonesia. Kenapa mesti berbahasa Inggris dengan baik di Indonesia? Memangnya bahasa nasional kita sudah berubah? Kan kita sudah mengucapkan Sumpah Pemuda di mana salah satunya menyangkut berbahasa Indonesia.

Jadi begini, teman! Sekarang ini adalah zaman globalisasi. Perusahaan-perusahaan besar seperti Gojek misalnya sudah mempekerjakan orang-orang luar (bukan WNI). Komunikasi mesti pakai bahasa apa dengan mereka? Bahasa Indonesia? Tidak kan. Jadi kalau Anda ingin karir Anda naik, yah bahasa Inggris mesti bagus.

Ini adalah kelemahan utama orang-orang Indonesia. Sebenarnya banyak lulusan dalam negeri yang punya keahlian apik (jika dibandingkan dengan lulusan Amerika). Cuma bahasa Inggris ini menghambat karir mereka. Misalnya teman saya di sebuah perintis internasional yang menerima karyawan jarak jauh (remote) pernah menunjukkan tulisan seorang kandidat. Jadi kandidat ini menunjukkan portfolionya yaitu blog teknikal dalam bahasa Inggris. Masalahnya bahasa Inggrisnya jelek. Tata bahasanya (grammar) banyak yang salah. Malah kalau dipikir-pikir, untuk melejitkan karir, pemrogram-pemrogram Indonesia lebih baik belajar bahasa Inggris ketimbang bahasa pemrograman baru seperti Dart, Go, Deno, atau Solidity.

Lulusan dalam negeri ini seperti Achilles, ksatria Yunani yang paling perkasa, yang membunuh Hector di depan gerbang Troy, tapi akhirnya mati karena pergelangan kakinya dipanah oleh Paris. Jangan sampai mati konyol “dibunuh” oleh lulusan Amerika karena bahasa Inggris Anda jelek.

Belajar bahasa Inggris itu sumber belajarnya banyak sekali. Di Avatar: The Last Airbender, Aang mesti pergi ke kutub utara untuk belajar manipulasi air (water bending). Kalian belajar bahasa Inggris tidak perlu pergi sebegitu jauhnya. Belajar Inggris bisa di rumah. Banyak situs atau aplikasi untuk belajar bahasa Inggris. Saran saya kalau memang harus keluar duit, yah jangan pelit. Ikut kursus bahasa Inggris yang bagus.

Ingat bahasa Inggris itu terdiri dari 4 komponen: baca (reading), dengar (listening), tulis (writing), bicara (speaking). Hanya karena kalian jago baca novel bahasa Inggris, tidak berarti kalian jago berbicara dalam bahasa Inggris. Jadi pastikan semua komponen bahasa Inggris kalian bagus.

Tidak ada alasan bahasa Inggris kalian jelek. Tapi, tapi, mereka kan tinggal di luar negeri (Amerika), sementara saya tinggal di Indonesia. Wajar bahasa Inggris saya jelek. Kalau itu alasan kalian, saya kasih bukti bahwa kalian bahasa Inggrisnya bisa lebih bagus dari lulusan Amerika. Lihat saja lulusan sastra Inggris. Bahasa Inggris mereka (menurut saya) lebih bagus daripada lulusan Amerika.

Nah, kalian tidak perlu ambil jurusan sastra Inggris untuk mengalahkan lulusan Amerika di medan bahasa Inggris. Ambil kursus dari EF, Wall Street English saja sudah cukup.

No money, no problem. Banyak cara untuk berlatih bahasa Inggris tanpa mengeluarkan banyak duit. Untuk melatih kemampuan membaca bahasa Inggris, banyak kan artikel bahasa Inggris di internet. Kamus Inggris juga gratis. Untuk melatih kemampuan mendengar bahasa Inggris, nonton saja Youtube atau dengar siniar (podcast) dalam bahasa Inggris. Melatih kemampuan menulis bahasa Inggris? Tulis artikel di blog / Medium / Substack / WordPress. Berlatih berbicara bahasa Inggris? Cari saja teman berlatih bahasa Inggris. Tidak ada teman? Monolog. Bicara sama tembok.

Lulusan Amerika itu banyak kelebihannya. Tapi Anda tidak boleh kalah bahasa Inggrisnya karena ada kelebihan mereka lainnya yang susah Anda kalahkan. Jadi itulah kenapa saya tekankan jangan sampai bahasa Inggris kalian jelek.

Keahlian (Skill)

Harus saya akui sebagai lulusan dalam negeri, kualitas universitas-universitas di Amerika Serikat lebih tinggi daripada kualitas universitas-universitas di Indonesia.

In other words, water is wet. 😂

Misalnya kalau mereka lulusan fakultas ilmu komputer Stanford, kemungkinan besar kemampuan pemrograman mereka lebih bagus daripada kemampuan pemrograman lulusan fakultas ilmu komputer Bina Nusantara.

Tapi…. ada cara untuk mengalahkan mereka di medan ini, yaitu pendidikan mandiri (self-education). Entah Anda sadar atau tidak, pendidikan sudah lumayan terdemokratisasikan lewat internet. Anda ingin belajar ilmu komputer (computer science)? Ada kurikulum bagi pelajar mandiri. Pembelajaran mandiri bukan cuma berlaku di dunia ilmu komputer. MIT (Massachusetts Institute Technology) mengeluarkan situs MIT Opencourseware di mana Anda bisa belajar material-material mereka (kalkulus, aljabar linear, psikologi, ekonomi, dll) secara gratis. Selain itu dengan biaya rendah (ratusan ribu per bulan) Anda bisa langganan buku-buku di situs O’Reilly. Di sana, Anda bisa ribuan buku teknikal sampai Anda muntah.

Nah, saya sudah berpasangan (pairing) dengan lulusan Amerika dalam pemrograman. Jadi saya tahu seberapa hebatnya mereka. Nah, saya bilang semua materi untuk menjadi pemrogram yang hebat ada di internet. Jadi sebenarnya bahkan kalian tidak perlu kuliah untuk mengalahkan lulusan Amerika. Materi-materi yang saya sudah tulis di paragraf sebelumnya lebih dari cukup untuk mengalahkan lulusan Amerika, dengan catatan kalian benar-benar belajar dan menghabiskan waktu yang sama banyaknya dengan mereka (3-4 tahun). Nah, bagi kalian lulusan dalam negeri, kalian bisa mengkombinasikan pembelajaran kuliah dengan pembelajaran mandiri. Hasilnya super.

Setidaknya untuk domain ilmu komputer, ini adalah medan pertempuran yang harus dimenangi oleh Anda. Titik.

Mereka Lebih Kaya

Lulusan Amerika itu lebih kaya daripada lulusan dalam negeri.

They’re rich. 😂

Saya belum menyelidiki hal ini secara mendalam. Tapi menurut dugaan saya, rata-rata lulusan Amerika itu jauh lebih kaya (atau orang tuanya kaya) daripada rata-rata lulusan dalam negeri. Betul, memang ada lulusan Amerika yang belajar di Amerika karena dapat beasiswa. Tapi kebanyakan lulusan Amerika itu belajar di Amerika berkat kekayaan orang tuanya.

Ini adalah salah satu kelebihan dari lulusan Amerika yang…. susah Anda kalahkan. Makanya ketika saya bilang jangan sampai bahasa Inggris Anda jelek dan gunakan pembelajaran mandiri untuk meningkatkan kemampuan Anda, saya benar-benar serius.

Lebih mudah mana? Belajar bahasa Inggris dan belajar mandiri atau jadi orang kaya? Menurut saya, lebih susah jadi orang kaya ketimbang memperbaiki bahasa Inggris. Ini adalah medan pertempuran yang boleh Anda lepas. Kadang untuk menang permainan catur, Anda harus merelakan bidak Anda.

Koneksi (Networking) Mereka Lebih Kencang

Ini sebelas dua belas dengan kelebihan lulusan Amerika sebelumnya (mereka lebih kaya). Koneksi mereka lebih kencang daripada koneksi Anda yang “cuma” lulusan dalam negeri. I’m sorry. It hurts. But it’s true. 😔

Apa sih yang dimaksudkan dengan koneksi itu? Misalnya lulusan Amerika ini pengen bikin perintis yang membuat aplikasi finansial. Terus orang tuanya menelpon teman-temannya di bank untuk meluangkan waktunya untuk melihat demo aplikasi web anaknya. Belum apa-apa, lulusan Amerika ini sudah punya klien potensial.

Dari lulusan-lulusan Amerika yang saya “jumpai”, mereka rata-rata memiliki koneksi yang kencang, misalnya punya kenalan investor, dan “orang-orang penting” di “tempat-tempat strategis”.

Ini adalah medan pertempuran yang…. adalah tidak apa-apa jika Anda kalah. Membangun koneksi itu susah luar biasa. Misalnya, untuk meningkatkan kosakata bahasa Inggris, Anda tinggal buka kamus, baca kata-kata dan menghafalkannya. Bangun koneksi dari mana? Anda tidak dapat menghubungi Willson Cuaca tiba-tiba dan bilang, “Yo, bro, kita temenan yuk biar koneksi gw gak kalah jauh ama koneksi lulusan Amerika.” Tidak bisa begitu. 😂

Mereka Lebih Percaya Diri

Mereka lebih PD. Misalnya saya mendorong lulusan dalam negeri untuk membuat perintis, jawaban mereka itu seperti ini. “Ah, saya belum punya kemampuan untuk mendirikan perintis. Saya masih harus banyak belajar.”

Nah, lulusan Amerika jawabannya begini, “LET’S DO IT.” Tidak ada keraguan.

Kadang-kadang (sering mungkin) mereka sering melebih-lebihkan aset mereka (kemampuan, koneksi, dll). Misalnya, anggap lulusan Amerika itu punya paman yang kaya. Anggap pamannya punya kekayaan Rp 20 milyar lebih misalnya. Sebenarnya memiliki kerabat seperti paman yang mempunyai kekayaan Rp 20 milyar itu sudah merupakan suatu “prestasi” tersendiri. Berapa banyak orang yang punya paman sangat kaya? Tapi lulusan Amerika masih ada yang melebih-lebihkan hal itu. Dia bilang, “Oh, paman saya punya aset sana sini. Harta dia ratusan milyar Rupiah.” Kira-kira begitu.

Jadi anggap Anda sebagai lulusan dalam negeri dan lulusan Amerika kalau dihitung-hitung nilai intimidasi dari bahasa Inggris, keahlian, kekayaan, koneksi, mungkin perbandingannya seperti ini.

Perbandingan sebenarnya lulusan dalam negeri dan lulusan Amerika

Nah, Anda masih kalah. Tapi perbedannya tidak begitu besar. Lulusan Amerika melebih-lebihkan kelebihan mereka yang sudah lebih sehingga grafiknya seperti ini.

Perbandingan palsu antara lulusan dalam negeri dan lulusan Amerika

Nah, banyak lulusan dalam negeri yang termakan oleh strategi “melebih-lebihkan” lulusan Amerika ini sehingga lulusan dalam negeri merasa makin terintimidasi. Lulusan dalam negeri merasa jarak antara mereka dengan lulusan Amerika teramat jauh (padahal sebenarnya tidak).

Sebagai lulusan dalam negeri, solusinya adalah normalisasi dari apa yang mereka omongkan. Jangan terlalu percaya semua hal yang mereka katakan. Terus jadi lulusan dalam negeri, Anda jangan terlalu rendah hati. Anda tidak perlu kepedean seperti Presiden Donald Trump, tapi cobalah tambah rasa percaya diri di tindakan dan ucapan Anda.

Strategi

Setelah mengetahui kelebihan mereka, saatnya membicarakan strategi bagaimana cara menghindari intimidasi mereka. Kalau perlu, malah Anda sebagai lulusan dalam negeri yang mengintimidasi mereka. 😎

Nomor satu, belajar bahasa Inggris mati-matian. Ini adalah pertahanan Anda yang paling penting. Jangan sampai jebol. Saya serius 100%.

Nomor dua, tingkatkan kemampuan diri dengan pembelajaran mandiri. Saya sudah sebutkan beberapa sumber pembelajaran mandiri di atas. Tapi masih ada lagi yang lain. Misalnya, Coursera, Khan Academy, Edx. Ada juga yang namanya Youtube di mana Anda bisa belajar banyak hal.

Nomor tiga, bangun portfolio Anda. Misalnya dengan menulis blog, membuat video di Youtube tentang hal-hal di industri Anda, dll. Anda dapat juga mengambil S2, misalnya mengambil MBA di Prasmul.

Nomor empat, bangun kekayaan Anda, dengan menabung dan berinvestasi. Jangan terlalu boros dalam hidup Anda. Begini, Anda mungkin tidak akan bisa menyamai kekayaan orang tua lulusan Amerika tapi setidaknya jangan sampai Anda jatuh miskin (gara-gara Anda teledor di finansial Anda). Kalau Anda sampai jatuh miskin, maka misi Anda untuk mengintimidasi lulusan Amerika masuk kategori Mission Impossible. Hanya Ethan Hunt yang sanggup melaksanakannya. Tapi Anda bukan Ethan Hunt.

Nomor lima, karir Anda bisa menjadi penyelamat Anda. Misalnya Anda berhasil menjadi VP of Engineering di perintis terkenal. Maka hal ini bisa menetralkan keunggulan pendidikan lulusan Amerika. Saya kasih kabar gembira. Sebagai lulusan dalam negeri, tidaklah susah untuk mendapatkan posisi ini. Saya sebagai lulusan dalam negeri sempat menjadi CTO. Teman saya, lulusan dalam negeri, menjadi VP of Engineering di suatu perusahaan teknologi yang terkenal.

Nomor enam, bangun koneksi. Begini, koneksi Anda mungkin tidak akan bisa menyamai koneksi lulusan Amerika. Tapi cobalah sebaik mungkin. Cari koneksi di mana? Di perusahaan tempat Anda bekerja. Bergaullah dengan banyak orang. Jangan jadi orang brengsek. Selain itu Anda dapat juga membangun koneksi di internet.

Nomor tujuh, cari medan pertempuran di mana Anda bisa bersinar lebih terang daripada lulusan Amerika. Seperti apa? Nanti saya cerita di bawah.

Studi Kasus

Nah, mari kita lihat 2 studi kasus. Hidup saya dan kasus hipotetis seorang mahasiswa.

Saya sudah bilang kan saya “cuma” lulusan dalam negeri.

Nah, 7 tahun lalu saya ambil tes IELTS untuk melihat kemampuan bahasa Inggris saya. Nilai saya: Writing 6, Speaking 7, Reading 8.5, Listening 8. Not bad-lah. Saya masih terus memperbaiki kemampuan berbahasa Inggris saya. Tapi untuk medan pertempuran ini, saya merasa aman.

Setelah lulus kuliah, saya tetap menimba ilmu dari mana saja. Saya nonton video-video dari MIT Opencourseware, misalnya video pelajaran algoritma dari Srini Devadas dan Erik Demaine, video pelajaran finansial dari Andrew Lo, dan lain-lain. Saya baca buku-buku dari O’Reilly. Saya beli video-video dari Udemy. Saya ikut kursus akuntansi oleh Brian Bushee di Coursera.

Saya bukan orang pelit. Malah saya sampai bayar ribuan USD untuk ikut 2 Nanodegree dari Udacity, yaitu Self-Driving Car Engineer dan Robotics Software Engineer.

Sertifikat Nanodegree dari Udacity

Mari kita lanjut ke portfolio. Saya sudah menulis buku yang diterbitkan oleh penerbit resmi. Dalam bahasa Inggris pula. Topiknya eksotis pula (tentang Blockchain).

Sampul buku blockchain

Selain itu saya juga sudah menjadi pembicara di PyCon (konferensi Python) dan berkontribusi ke proyek kode terbuka Python dan Django.

Karir saya juga okelah. Saya sempat mengecap rasanya menjadi CTO (Pejabat Teknologi Utama / Chief Technology Officer).

Nah, bicara koneksi, gara-gara jadi CTO, saya diundang ke grup Whatsapp CTO. Sebagian besar anggotanya CTO, tapi ada juga yang menjadi VP of Engineering, dan orang-orang penting di dunia teknologi di tanah air.

Selain itu saya juga membangun produk digital, yaitu PredictSalary, pengaya perambah (browser extension) yang bisa memprediksi gaji dari lowongan pekerjaan. Di Chrome, jumlah penggunanya 493. Di Firefox, jumlah penggunanya 87. Jadi total jumlah pengguna produk saya ini hampir 600 orang. Dan saya baru merilis produk ini bulan lalu.

PredictSalary di Chrome web store

Nah, saya juga pandai bermain di media sosial. Posting saya di Linkedin rata-rata dapat 3000-4000 terlihat (views). Tidak jarang saya buat posting yang dilihat lebih dari 10 ribu kali. Misalnya:

Posting Linkedin banyak jumlah dilihatnya

Nah, Techinasia punya jumlah pelanggan buletin (newsletter) sebanyak 100 ribu. Itu sebagai perbandingannya.

Selain itu, saya juga pandai menulis.

Pujian menulis

Saya banyak menerima pujian atas kemampuan menulis baik terhadap blog ini maupun buku Pemrogram Rp 100 Juta saya. Di atas 10 ada kali.

Terus saya juga membangun ketrampilan dan reputasi di bidang yang sangat baru, misalnya Deep Learning dan Blockchain. Kita ambil contoh Bitcon. Pelajaran tentang Bitcoin itu ada di MIT baru tahun lalu. Padahal Bitcoin itu sudah ada 10 tahun lalu. Bayangkan Anda menekuni teknologi Bitcoin beberapa tahun lalu, lulusan Amerika tidak dapat memiliki kelebihan berarti dibandingkan dengan Anda. Karena tidak ada pelajaran Bitcoin di universitas-universitas di Amerika beberapa tahun lalu. Kalau Anda ingin belajar Bitcoin, yah tempatnya di internet. Nah sekarang ini (tahun 2020), yang lagi hot adalah Decentralized Finance (DeFi) di Ethereum. Anda dan lulusan Amerika memiliki start yang sama. Belum ada pelajaran tentang DeFi yang komprehensif di universitas-universitas. Kalian sama-sama harus belajar topik ini dari internet.

Sama dengan Blockchain, teknologi Deep Learning itu juga tergolong baru. Pustaka Tensorflow saja baru dipublikasikan ke umum tahun 2015. Jadi orang-orang yang belajar Deep Learning, start awalnya kurang lebih sama, baik lulusan Amerika maupun lulusan dalam negeri.

Nah, semua hal-hal yang saya sebutkan di atas kalau digabungkan cukuplah untuk mengintimidasi lulusan Amerika. 😛

Betul, butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun keahlian, koneksi, reputasi yang saya miliki. Mengintimidasi lulusan Amerika adalah maraton bukan sprint. ðŸĪĢ

Nah, bayangkan ada anak yang baru lulus dari universitas di Amerika, balik ke tanah air, mengajak saya ngopi-ngopi cantik. Dia mau bikin perintis. Karena dia adalah lulusan Amerika dan saya adalah lulusan dalam negeri, maka dia merasa lebih berhak menjadi CEO. Tapi di dunia nyata, orang ngomongnya secara implisit, tidak terang-terangan. Misalnya, “Saya punya kenalan investor A, B, C, dan D.” Ini artinya Anda sebagai lulusan dalam negeri seharusnya tahu diri. 😉

Nah, saya tinggal bilang kelebihan saya dari A sampai Z. Misalnya saya bilang, CEO yang baik itu harus bisa menulis dengan baik, seperti Jeff Bezos. Saya sudah bilang kan saya bisa menulis.

Selain itu saya bisa menetralkan koneksi dia ke investor-investor itu. Dengan kata lain melemahkan kelebihan dia.

https://twitter.com/yoheinakajima/status/1294453363682074625

Saya bisa bilang investor-investor itu sudah terdemokratisasikan. Jadi dia kenal dengan investor-investor itu tidaklah berarti banyak. Mau cari pendanaan? Bisa cari di Linkedin. Atau bisa kirim lamaran ke SurgeAhead, YC, dan masih banyak lainnya.

Tapi di dunia yang nyata, saya tidak akan melakukan hal itu. Saya akan bilang saya tidak tertarik dengan ide perintisnya. Berdebat siapa yang lebih pantas menjadi CEO dengan lulusan anyar Amerika itu seperti berebut mainan. Kekanak-kanakan. Childish. Saya kan orang yang cool 😎. Saya lebih suka mengintimidasi orang seperti Itachi di seri Naruto, yaitu dengan reputasi dan bahasa tubuh.

Tapi contoh di atas kan masih bau kencur. Bagaimana dengan lulusan Amerika yang sudah punya kelebihan lainnya, misalnya posisinya sekarang adalah VP of Sales di perintis yang terkenal. Koneksi dia lumayan kencang, misalnya kenal dengan pejabat-pejabat penting di OJK, bank-bank swasta dan nasional. Tentu saja, dia kenal dengan banyak investor. Dia mau mengajak saya untuk membangun perintis finansial. Apa yang harus dilakukan? Dia mau menjadi CEO karena dia merasa lebih berhak.

Nah, saya tidak memiliki koneksi kencang di dunia finansial jadi saya harus mengajaknya bertempur di medan lain. Misalnya saya bisa mengajaknya untuk membangun perintis di bidang lain. Contohnya saya mengajak dia untuk membuat penggubah video seperti Adobe After Effects di web. Dengan begitu kelebihan dia yaitu koneksi kencang di dunia finansial menjadi tidak berguna. Saya punya daya lebih dalam bernegosiasi karena saya punya kelebihan di bidang perintis ini, yaitu kemampuan pemasaran digital dan kemampuan rekayasa peranti lunak. Iya, seperti di cerita Avatar: The Last Airbender, Katara (water bender) mengalahkan Azula (fire bender) dengan mengajaknya bertarung di tempat yang banyak airnya. Sorry, spoiler. ðŸĪŠ

Katara vs Azula

Nah, tidak berarti saya bisa mengintimidasi semua lulusan Amerika. Ada sebagian lulusan Amerika yang masih mengintimidasi saya misalnya Nadiem Makarim. Jadi misalnya dia mengajak saya membuat perintis, saya rela posisi CEO diambil dia. 😂

Nah, mari kita lihat kasus hipotetis. Anggap Anda adalah mahasiswa aktif di universitas dalam negeri. Ada ungkapan Latin: Si vis pacem, para bellum. Artinya, jika Anda ingin perdamaian, bersiaplah untuk perang.

Perang masih lama. Anda masih kuliah. Tapi Anda harus bersiap-siap menghadapi lulusan Amerika.

Jadi belajarlah bahasa Inggris benar-benar. Belajar ilmu-ilmu dari luar kampus misalnya MIT Opencourseware. Kontribusi ke proyek kode terbuka (opensource) misalnya React. Di contoh ini, saya asumsikan Anda adalah mahasiswa ilmu komputer. Kalau bukan, sesuaikan jenis portfolio Anda. Bangun koneksi dengan ikut webinar lokal. Kalau Anda suka jadi pemengaruh (influencer), bangun reputasi Anda di media sosial. Belajarlah menulis teknikal di blog.

Beberapa tahun sudah lewat. Anda diterima bekerja di sebuah perintis. Salah satu rekan kerja Anda adalah lulusan Amerika. Congkak sekali dia. Hanya karena dia adalah lulusan Stanford, dia pikir dia adalah matahari di mana rekan-rekan kerjanya adalah planet yang mengitari dia. Ketika berdiskusi di sprint sebuah produk, tanpa babibu, dia menggunakan bahasa Inggris padahal semua orang di dalam ruangan itu adalah orang Indonesia. Dengan sabar Anda meladeni dia. Belum tahu dia, nilai rata-rata IELTS Anda adalah 8. 😉

Kemampuan pemrograman Anda (teruji lewat proyek kode terbuka) mulai mengintimidasi dia. Malah Anda yang sering menegur dia karena standar kode dia masih rendah. Anda juga menulis blog teknikal di bagian teknis (engineering) di perintis Anda. Tulisan Anda memancarkan kirana yang menyilaukan mata lulusan Amerika itu. Akhirnya setelah beberapa minggu, lulusan Amerika itu mulai menunjukkan rasa segan dan hormat terhadap Anda.

Jadi tulisan ini adalah hadiah saya di hari kemerdekaan RI yang ke-75 ini kepada Anda, lulusan dalam negeri (ataupun lulusan SMA, lulusan bootcamp) yang minder terhadap lulusan Amerika (ataupun lulusan luar negeri, ekspat). Saya merdekakan Anda dari rantai penjajahan rendah diri!

Ketika berhadapan dengan lulusan Amerika, jangan melihat ke bawah, tapi lihatlah mata mereka dengan penuh kepercayaan diri. Busungkan dada Anda. Berkacak pingganglah. Berjalanlah seperti Tom Cruise yang penuh kepercayaan diri di film Top Gun. ✈ïļ

Terbanglah ke langit yang biru. Jadilah legenda.

Dirgahayu RI! ðŸ‡ŪðŸ‡Đ