Saya bikin jajak pendapat tentang CTO asing di Indonesia:
Jadi saya bikin daftar CTO di startup Indonesia. Berapa banyak CTO asing? Terus saya mau lihat juga pendidikan mereka, dan lain-lain.
Kenapa saya lakukan ini? Karena hobi.
Tentu saja data ini tidak lengkap. Capek tahu pelototin Linkedin CTO satu persatu. Nanti pelan-pelan saya tambahkan.
Terus, untuk pendidikan, saya cuma tulis pendidikan yang sudah selesai. Jadi ada CTO yang sedang menjalani program Ph.D.. Untuk kasus itu, saya ambil pendidikan terakhir dia, S1, bukan Ph.D.
Terus ada data yang bertentangan. CTO Ajaib menulis Co-Founder di Linkedin-nya:
Tapi di profil perusahaan Ajaib, tertulis co-founder-nya cuma ada dua: CEO dan CPO.
Jadi untuk kasus CTO Ajaib, saya kosongkan data “Pendiri/Profesional”.
Terus untuk warganegara, saya cuma tebak. Misalnya CTO Bukalapak. Dia berasal dari Tiongkok, tapi sudah tinggal di Australia sangat lama. Jadi mungkin saja dia sudah ganti kewarganegaraan.
Data, notebook, dan laporan ini lisensinya adalah GPL-v3. Anda boleh pakai data, notebook, dan laporan ini dengan tujuan apapun tanpa minta izin dari saya, tapi lisensinya mesti dihormati. Setiap turunan data, notebok, dan laporan ini mesti memakai lisensi GPL-v3.
Jika Anda melanggar aturan ini, maka saya akan πβ‘ Anda:
Hepi kepoin data! Nanti kapan-kapan saya akan berfilsafat tentang laporan itu di artikel masa mendatang. Kenapa situasinya “seperti itu”.
Bagi yang belum tahu, saya menjual buku Pemrogram Rp 100 Juta. Buku ini belum selesai. Rencananya saya melepas 1 atau 2 bab per bulan. Tapi apa daya, saya larut dalam kesibukan saya.
Saya disentil oleh pembaca saya apakah saya masih melanjutkan buku ini. Terakhir saya memperbaharui buku ini adalah beberapa bulan yang lalu.
Oke, berikut jawabannya: buku ini akan tetap dilanjutkan.
Saya akan bercerita tentang kesibukan saya dan kenapa kesibukan saya ini penting bagi kesuksesan buku Pemrogram Rp 100 Juta.
Anda tahu saya punya dilema. Saya bisa saja fokus menulis buku ini. Jadi saya bekerja penuh waktu maksudnya. Tapi itu bukanlah jalan yang terbaik.
Jika saya melakukan itu maka kasus saya menjadi seperti menjadi kaya dengan menulis buku Bagaimana Menjadi Kaya. Saya bakal menjadi meme. π€£
Idealnya, saya menjadi kaya terlebih dahulu dengan bisnis selain menulis buku, baru saya menulis buku tentang Bagaimana Menjadi Kaya. Pengalaman saya bakal memberi legitimasi terhadap buku itu.
Terus saya juga sibuk membangun startup. Bukan, bukan SailorCoin. Nah, startup ini sudah mendapatkan pendanaan dari angel. Nanti tunggu pengumuman resminya bulan depan.
Nah, apa yang saya lakukan ini penting bagi kesuksesan buku Pemrogram Rp 100 Juta: Panduan Bagi Pemrogram Untuk Menggapai π° Harta, π Tahta, dan β Kemasyhuran.
Dengan menulis artikel tentang indie hacking di forum Pembangun, saya menjadi punya banyak bahan untuk menulis buku, terutama di bagian π° Harta.
Dengan membangun startup dengan pendanaan dari angel, saya punya bahan untuk menulis tentang π Tahta dan β Kemasyhuran.
Pemrogram adalah karir yang menjanjikan. Tapi dunia sudah berubah. Terlalu banyak teknologi baru yang datang, seperti kripto, robotik, AI. Bayangkan Anda kembali ke tahun 2000, apa yang Anda pelajari? Pemrograman desktop dengan Visual Basic atau C++. Kemudian pada tahun 2006, Anda masih bisa belajar pemrograman desktop, tapi emasnya ada di web. Kemudian pada tahun 2011, Anda masih bisa belajar pemrograman web, tapi pemrograman mobile sudah muncul.
Terus remote sudah menjadi lazim. Batas negara menjadi kabur. Pemrogram Indonesia bukan bersaing dengan pemrogram Indonesia lainnya, tapi juga dengan pemrogram asing yang bekerja di startup Indonesia. Pemrogram Indonesia bisa bekerja remote di perusahaan Amerika. Gaji dollar dan biaya hidup Indonesia. Tapi persaingannya keras. pemrogram Indonesia bersaing juga dengan pemrogram Ukraina, Singapura, India, Brazil di kancah global.
Terus menjadi pemrogram yang sukses meraih tahta, bukan cuma harta, Anda juga harus pandai berpolitik. Biasanya Anda berpolitik di kantor. Sekarang Anda mungkin harus berpolitik di Twitter dan Discord juga karena dunia sudah pindah ke daring.
Perkembangan dan perubahaan jaman ini menjadi membingungkan bagi pemrogram-pemrogram Indonesia.
Buku ini saya harap bisa menjadi kompas di tengah perubahan jaman. Saya berharap pemrogram Indonesia bisa menggapai harta, tahta, dan kemasyhuran. Makanya saya menulis buku itu.
Mengurus startup yang didanai angel butuh komitmen tinggi. Sementara tanpa startup ini, saya pun kewalahan menyelesaikan buku ini. Maka dari itu saya akan menyewa jasa pemrogram lepas untuk mengembangkan beberapa fitur PredictSalary dengan gaji saya sebagai CEO startup tersebut. Saya juga akan menyewa jasa penulis lepas untuk menulis tentang materi indie hacker di Pembangun. Walaupun saya menjadi CEO dengan pendanaan dari luar, tapi saya ingin dunia indie hacker Indonesia menjadi hidup. Terus untuk SailorCoin, pasangan pendiri saya akan menjadi lebih aktif. Saya akan mengambil peran yang lebih tidak aktif.
Dengan begitu kesibukan utama saya adalah menjadi CEO startup baru ini dan menyelesaikan buku ini. That should be manageable.
Sementara untuk buku ini, saya akan menulis lebih rutin. Saya tidak akan menyewa jasa ghost writer atau menggunakan AI untuk menulis buku ini. Saya akan menyelesaikan buku ini. It’s personal.
Saya akan merilis konten baru tiap hari di GitHub minimal sebanyak 400-500 kata. Kecuali akhir pekan. Dengan begitu, buku ini akan selesai lebih cepat.
Jadi negara kita, Indonesia, terobsesi membangun Silicon Valley. Kita akan melihat kenapa membuat Silicon Valley itu susah setengah mati. Dan kenapa kita tidak perlu berkecil hati jika kita gagal dalam membuat Silicon Valley. It’s not us, it’s them. Walaupun begitu, kita akan melihat kota-kota manakah yang berpotensi menjadi Silicon Valley Indonesia. Terus ada paradigma baru yang mentransenden konsep “Silicon Valley Indonesia”.
Apa itu Silicon Valley?
Orang mengartikan Silicon Valley itu berbeda-beda. Ada yang mengartikannya sebagai sebuah tempat di California di mana banyak perusahaan-perusahaan berbasis peranti lunak dan peranti keras sukses berdiri di situ.
Tapi ada juga yang mengartikannya secara umum, yaitu semua perusahaan teknologi berbasis peranti lunak dan peranti keras dari Amerika Serikat.
Ada yang mengartikan Silicon Valley sebagai suatu mindset dalam menghasilkan inovasi dalam membangun perintis (startup).
Karena orang mengartikannya berbeda-beda, maka kadang-kadang terjadi lost in translation. Misalnya, apakah perusahaan teknologi yang didirikan di New York, seperti Digital Ocean itu termasuk Silicon Valley atau tidak? Ada yang bilang tidak karena New York bukan bagian dari Silicon Valley. Ada yang bilang ya, karena Silicon Valley mencakup semua perusahaan teknologi di Amerika Serikat.
Tapi untuk artikel ini, saya akan menggunakan pengertian Silicon Valley yang mencakup semua perusahaan teknologi dari Amerika Serikat. Kecuali saya membicarakan tempat fisik.
Kenapa orang terobsesi dengan Silicon Valley?
Karena πΈπΈπΈ.
Di atas itu adalah daftar perusahaan-perusahaan yang mencapai valuasi setidaknya $1 trilyun (Rp 14.000.000.000.000.000). Hanya ada satu perusahaan yang bukan bagian dari Silicon Valley.
Silicon Valley Indonesia
Mari kita melihat-lihat tempat-tempat yang dielu-elukan sebagai Silicon Valley Indonesia.
Batam
Kelebihannya adalah dekat dengan Singapura. Ada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Batam. Industri animasi di sana sudah berjalan.
Malang
Ada KEK juga di Malang.
Bali
Bali merupakan hotspot pengunjung dari belahan dunia lainnya. Ini merupakan potensi terjadinya pertukaran ide. Bali juga merupakan tempat favorit orang nomad.
Papua
Tangerang
Tangerang dekat dengan Jakarta.
Surabaya
Salah satu kota terbesar di Indonesia.
Yogyakarta
Bandung
Bogor
Cikarang
Depok
Medan
Manado
Jakarta
Sukabumi
Makassar
Dari kota-kota atau daerah-daerah yang sudah disebutkan di atas, mana yang Anda jagokan menjadi Silicon Valley Indonesia?
Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat sejarah Silicon Valley yang sebenarnya.
Sejarah Silicon Valley
Mari kita kembali ke akar. Apa yang membuat Silicon Valley itu Silicon Valley?
Berikut sejarah lengkapnya:
Ceritanya panjang:
Ada versi videonya yang durasinya sejam.
Kalau Anda punya waktu lebih, coba bacalah artikel-artikelnya atau tontonlah videonya.
Tapi bagi Anda yang sangat sibuk, saya singkatkan sejarah Silicon Valley dalam 3 paragraf.
Di Perang Dunia Kedua, Amerika dan Inggris membutuhkan teknologi untuk men-jamming radar Jerman. Amerika sadar bahwa untuk memenangkan perang, dibutuhkan teknologi yang canggih. Mereka kerjasama dengan universitas. Pemerintah memberi pendanaan yang besar kepada universitas-universitas. Hal ini berlanjut sampai periode setelah Perang Dunia Kedua usai. Musuh Amerika adalah Uni Sovyet saat itu. Amerika ingin terbang melintasi Uni Sovyet untuk memantau kekuatan perang Uni Sovyet. Maka dari itu, Amerika membutuhkan teknologi yang canggih supaya pesawat mereka tidak terdeteksi oleh Uni Sovyet. Teknologi anti-radar dan satelit pun dikembangkan supaya bisa mengintip Uni Sovyet. Teknologi ini membutuhkan hal-hal yang berhubungan dengan Integrated Circuit yang bahannya adalah Silicon.
Nah, teknologi-teknologi ini kebanyakannya dikembangkan di Universitas Stanford. Lalu dekan di sana mendorong murid-muridnya untuk mendirikan perusahaan untuk memproduksi barang-barang elektronik ini dengan klien utama yaitu militer Amerika.
Setelah itu, makin banyak perusahaan yang memproduksi barang-barang elektronik ini. Kemudian ada yang keluarga-keluarga kaya membentuk perusahaan investasi untuk bisnis yang beresiko tinggi. Terus, ada orang yang bikin VC yang memberi pendanaan kepada perusahaan-perusahaan teknologi. Dan seterusnya.
Teknologi-teknologi inilah yang akan menjadi dasar perkembangan industri Komputer Personal (Personal Computer / PC) di Silicon Valley. Jadi adalah kondisi perang dan militer Amerika yang membesarkan Silicon Valley.
Keistimewaan Silicon Valley
Apa sih keistimewaan Silicon Valley itu? Keistimewaan Silicon Valley itu bisa dibagi menjadi empat kategori, yaitu pemerintah dan masyarakat yang mendukung budaya wirausaha di bidang peranti lunak dan peranti keras, SDM dengan kemampuan yang tinggi, pendiri (founder) perintis yang visioner dan pemodal ventura (VC) yang sangat mendukung perintis.
Kita ambil contoh perekayasa peranti lunak dari SDM di Silicon Valley. Apakah Anda memperhatikan yang mengembangkan bahasa-bahasa pemrograman, kerangka pengembangan (framework) dan sistem operasi itu kebanyakannya orang-orang dari Silicon Valley?
Ada banyak pendiri perintis yang sangat visioner dari Silicon Valley, seperti Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg, dan lain-lain.
Jika saya bilang, SDM dan pendiri perintis Indonesia kalah kualitasnya dibandingkan dengan SDM dan pendiri perintis Silicon Valley, saya yakin pasti sedikit yang akan membantah saya.
Nah, ada satu faktor lagi yaitu VC. Banyak ide-ide cemerlang yang hanya bisa lahir dengan bantuan dana yang besar. Kita ambil contoh VC yang sangat terkenal dari Silicon Valley, yaitu Marc Andreessen. Sebelum menjadi VC, dia adalah pencipta Mosaic, yaitu perambah (browser) yang pertama kali banyak digunakan. Dia juga adalah pasangan pendiri (co-founder) Netscape.
Dia adalah salah satu VC yang visioner dan berani mendanai proyek-proyek ambisius. Contohnya:
George Hotz mendapatkan pendanaan $3 juta (Rp 42 milyar) pada tahun 2016 dari VC Andreessen Horowitz (salah satu partnernya adalah Mark Andreessen) untuk perintis mobil swakemudinya.
Anda tidak akan menemukan VC yang mau mendanai perintis self-driving car di Indonesia.
Jika Anda tanya VC di Indonesia kenapa mereka tidak mau mendanai perintis self-driving car di Indonesia, maka jawaban mereka kemungkinan adalah di Indonesia tidak ada SDM mumpuni yang sanggup membangun perintis self-driving car.
Itu ada benarnya, tapi ada faktor juga di mana VC di Indonesia terlalu takut mengambil resiko (risk-averse). Mereka hanya berani berinvestasi pada sektor yang sudah pasti dan aman, seperti SaaS atau e-commerce. Kalau teknologinya terlalu baru, misalnya drone, self-driving car, atau NFT, mereka susah untuk dibujuk dalam memberikan pendanaan.
Faktor terakhir adalah pemerintah dan masyarakat. Di Silicon Valley sana, kegagalan adalah hal yang dipandang lumrah. Tidak apa-apa jika gagal. Di Indonesia, masih ada stigma kegagalan dalam menjadi pengusaha. Belum lagi faktor di mana pemerintah Amerika tanpa sengaja mem-bootstrap Silicon Valley dengan proyek militernya yang mengakibatkan banyaknya muncul perusahaan-perusahaan teknologi.
Kombinasi dari 4 hal ini membuat Amerika (tapi tidak Indonesia) memiliki perusahaan teknologi seperti ini:
It’s not us, it’s them
Mungkin paragraf-paragraf sebelumnya ada yang menyinggung perasaan teman-teman di dunia perintis Indonesia.
“Kita tidak kalah kok dengan Silicon Valley. Buktinya kita punya Tokopedia dengan valuasi $9 milyar atau Rp 100 trilyun lebih. Kita juga punya …. (sebutkan nama perusahaan teknologi Indonesia favorit Anda dengan valuasi besar)”
Anda harus ingat bahwa saya tidak bilang kondisi dunia perintis kita buruk atau menyedihkan secara absolut. Mari kita gunakan analogi. Anggap tim nasional basket kita juara di Asia Tenggara. Itu kondisi yang menggembirakan kan? Kita bisa berbangga akan pencapaian itu. Kemudian tim nasional kita mengikuti Olimpiade dan bertemu dengan tim nasional Amerika Serikat di mana ada Kevin Durant dan teman-temannya. Menurut Anda, berapa skor yang akan terjadi jika Kevin Durant dan teman-temannya bermain serius?
Jika Anda masih ngotot bahwa Indonesia tidak kalah dengan Amerika, lihatlah angka-angka di bawah ini.
Angka untuk Tiongkok (China) ada kesalahan sedikit. Tapi kita membandingkan Indonesia dengan Amerika. Lihatlah jumlah unicorn yang dihasilkan oleh Indonesia dan Amerika. Iya, saya tahu Amerika populasinya 333 juta, dan Indonesia populasinya 274 juta. Kalaupun Anda menormalisasikan jumlah unicorn dengan jumlah populasi, kita masih kalah JAUH.
Amerika Serikat punya beberapa perusahaan yang menembus valuasi $1 trilyun. Kita tidak punya.
Saya mau bilang tidak perlu malu kalah dengan Amerika Serikat, karena bukan cuma kita yang kalah. Hampir semua negara lain juga kalah dengan Amerika.
Masih ingat saya bilang bahwa VC Indonesia kurang suka mengambil resiko? Bukan cuma mereka, tapi VC Korsel juga.
VC Kanada pun dikeluhkan oleh orang-orang.
VC Eropa juga.
Itulah kenapa saya tidak menyalahkan VC Indonesia. VC Silicon Valley itu seperti timnas basket Amerika. Siapa yang bisa mengalahkan mereka? Tidak Eropa, tidak Kanada.
Ehm, itu tidak sepenuhnya benar. Tiongkok lumayan mendekati Amerika. Ada kemungkinan kecil India juga bisa menyusul di masa depan.
Di atas adalah daftar 10 perusahaan teknologi terbesar di dunia. Adakah negara dari Eropa atau Kanada? Tiongkok pun cuma bisa mengambil dua tempat.
Jadi janganlah Anda bersedih jika dunia perintis Indonesia kalah dengan Silicon Valley. Eropa dan Kanada pun kalah.
Yang punya peluang cukup besar untuk “menyamai” Amerika adalah Tiongkok. Dan mungkin India 15 tahun lagi.
Silicon Valley Indonesia yang realistis
Sepanjang Anda tidak mengartikan Silicon Valley Indonesia itu sebagai Silicon Valley di California, sepanjang Anda mengartikan Silicon Valley itu sebagai upaya untuk membangkitkan industri peranti lunak (mari kita lupakan peranti keras setidaknya untuk 10 tahun) di Indonesia, maka peluangnya cukup besar. Pembicaraannya menjadi realistis.
Kita sudah punya Silicon Valley Indonesia, yaitu Jakarta. Sebagian besar perintis-perintis Indonesia bercokol di sini. Nih buktinya.
Jakarta
Bandung
Yogyakarta
Surabaya
Bali
Tangerang
Saya sudah cek kota-kota lain seperti Malang, Medan, Semarang. Jumlah perintis-perintisnya sangat sedikit.
Jadi Jakarta adalah kota yang paling banyak memiliki perintis. Jakarta adalah Silicon Valley Indonesia. Penelitian sudah membuktikannya.
Tapi kita tidak puas jika Jakarta yang mendapat kehormatan Silicon Valley Indonesia. Ada alasan bagus juga. Karena jangan semua menumpuk di Jakarta.
Mari kita lihat unicorn-unicorn yang dihasilkan di kota-kota lain.
Jika Anda perhatikan, India punya Mumbai, Bengaluru, dan New Delhi yang menghasilkan unicorn. Jerman punya Berlin dan Munich. Tiongkok punya Beijing, Shanghai, Hangzhou, Senzhen. Amerika punya banyak kota.
Kita cuma punya Jakarta.
Nah, kota manakah yang paling besar kemungkinannya memunculkan unicorn selain Jakarta di Indonesia?
Tangerang. Karena paling dekat dengan Jakarta. Ingat yah konsentrasi pekerja digital, pendiri perintis, dan VC masih terkonsentrasi di Jakarta.
Saya mendapat informasi dari burung-burung kecil saya, sebagian perintis di bawah portfolio VC tertentu mendapat mandat untuk memindahkan markas mereka ke Tangerang. Saya tidak persis tahu apa alasannya. Mungkin tempat di Jakarta terlalu sesak. Properti di Tangerang masih murah. Atau mungkin feng shui di Tangerang lebih bagus. Entahlah.
Tapi memilih Tangerang sebagai Silicon Valley Indonesia itu curang karena dekat dengan Jakarta. Ada istilah Jabodetabek tahu?
Mari kita pilih kota atau daerah di luar Jabodetabek. Jawabannya ada dua, yaitu Bandung dan Yogyakarta. Mereka bersaing ketat.
Surabaya masih ada harapan. Tapi masih ada perbedaan yang jauh antara Surabaya dengan kota-kota seperti Bandung dan Yogyakarta.
Bali ada harapan sedikit. Bali punya potensi sebenarnya. Ia adalah tempat favorit pekerja nomad. Tapi entah kenapa Bali susah menarik software engineer atau pekerja digital umumnya di Indonesia.
Mari kita kembali ke Bandung dan Yogyakarta.
Bandung karena ia memiliki universitas yang paling sukses di dunia perintis Indonesia. Bandung juga memiliki banyak perintis yang bermarkas di sana. Ingat Silicon Valley (yang di Amerika sana) adalah Silicon Valley karena ada universitas Stanford.
Yogyakarta karena ia yang tampaknya memiliki jumlah pekerja digital paling banyak di luar Jakarta. Budaya software engineering di Yogyakarta adalah yang paling kuat di Indonesia (selain Jakarta). Saya tidak punya data kuat. Nanti kapan-kapan saya investigasi lebih dalam. Sementara datanya dari PredictSalary. Jumlah baris untuk kota Yogyakarta adalah yang paling banyak (di luar Jakarta).
Ada lelucon kejam tentang Yogyakarta, yaitu UMR Yogyakarta. Jadi ada stereotipe tentang Yogyakarta di mana Anda dapat mencari pekerja dengan gaji yang rendah. Saya sering berbincang-bincang dengan pebisnis di Jakarta yang mengeluhkan harga jasa pemrogram di Jakarta terlalu mahal. Solusinya? Cari engineer di Yogyakarta. Saya hampir tidak pernah dengar kota lain. Mungkin 95% pembicaraan ini selalu berakhir dengan, “Mari kita outsource ke Yogyakarta.” Mereka tidak bilang outsource ke Semarang, Solo, Surabaya atau Medan. Selalu Yogyakarta. Yah, ada satu kali paling Bandung disebut.
Nah, Yogyakarta yang selama ini berada di bayang-bayang Jakarta sudah mulai bangkit dan menemukan jati dirinya ketimbang cuma sebagai tempat outsource dari Jakarta atau cabang perusahaan Jakarta.
Gambar di atas adalah footer situs perusahaan Gamatechno yang mengembangkan ERP. Markasnya di Yogyakarta. Cabangnya di Jakarta. Biasanya kan sebaliknya.
Yang mau saya bilang adalah industri software Yogyakarta mulai bangkit. Mereka bukan lagi cuma tempat outsourcesoftware engineering perusahaan-perusahaan Jakarta. Mereka bisa bikin perusahaan sendiri dengan karakter sendiri, terlepas dari bayang-bayang Jakarta.
Nah, tapi Bandung juga punya perintis tersendiri. Betul. Bandung punya Bobobox misalnya.
Saya tidak punya data keras. Saya cuma punya data pentilan dari PredictSalary. Saya cuma bisa bilang berdasarkan intuisi saya, Yogyakarta memiliki lebih banyak perintis dan pekerja digital daripada Bandung. Orang Yogya lebih “cinta” kota mereka. Orang Bandung biasanya pindah ke Jakarta untuk membangun perintis. Orang Yogyakarta lebih keras kepala dan tetap tinggal di Yogyakarta. Ini kesan yang saya dapatkan. Tidak ada data keras. Tapi di masa depan, saya akan mengukurnya, oke? Jadi kita tahu mana yang lebih unggul, Bandung atau Yogyakarta.
Analoginya, Jakarta itu di puncak klasemen dengan 40 poin. Bandung itu punya 30 poin. Yogyakarta itu punya 29 poin. Beda tipislah.
Remote
Tapi apakah konsep tempat fisik sebagai Silicon Valley Indonesia itu masih masuk akal? Sekarang kan jaman remote. Kenapa semua orang harus berkumpul di satu tempat untuk membangun perintis? Haruskah semua orang berkumpul di satu gedung untuk membuat aplikasi SaaS?
Tidak kan? Jadi kenapa kita ngotot mau membangun Silicon Valley Indonesia entah di Bandung, Yogyakarta, Medan atau apalah.
Kan kita bisa bikin perintis dengan konsep remote, seperti GitLab, atau Automattic. Bahkan Coinbase pun memutuskan untuk menjadi remote.
Pastikan koneksi internet kencang, stabil dan terjangkau tersedia bagi masyarakat umum. Saya sering melihat orang masih mengumpat tentang salah satu ISP di Indonesia (tidak boleh sebut nama) di Twitter.
Perkenalkan budaya remote ke masyarakat luas. Masih banyak orang yang keras kepala dan memaksa karyawan digital untuk bekerja di kantor.
Jika Anda menerima remote di hati Anda, maka Silicon Valley Indonesia adalah Indonesia. Ia bukan Jakarta, ia bukan Bandung, ia bukan Yogyakarta, tapi ia adalah Indonesia.
Batas-batas negara sudah mulai lemah di dunia yang serba cloud dan crypto ini.
Jika Anda menerima remote di hati Anda, maka Silicon Valley ada di awan (cloud). Ia bukanlah tempat fisik. Ia tidak bisa dilihat oleh mata, tidak bisa dipijak oleh kaki. Tapi ia nyata.
Bukit Algoritma
Pasti Anda protes jika saya tidak membahas Bukit Algoritma di artikel tentang Silicon Valley Indonesia. Jadi mau tidak mau saya mesti membahas Bukit Algoritma.
Adakah peluang berhasil dari Bukit Algoritma untuk menjadi Silicon Valley? Tentu saja kita mesti memperjelas Silicon Valley yang mana dulu.
Kalau tujuannya mau bikin Silicon Valley Amerika, yah jelas sangat kecil kemungkinannya. Tapi jangan merasa buruk, karena hampir semua negara (kecuali Tiongkok, dan mungkin India di masa depan) gagal membangun Silicon Valley Amerika.
Mari kita membuat tujuan yang lebih realistis. Dapatkah Bukit Algoritma bersaing dengan Jakarta, Bandung atau Yogyakarta?
Jadi saya sudah melakukan perjalanan waktu (time travel) ke masa depan berkali-kali. Hanya ada dua jalan di mana Bukit Algoritma menjadi sukses.
Pertama, Bukit Algoritma mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Dukungan penuh. 100%. Artinya pemerintah membatalkan rencana membangun ibukota baru di Kalimantan dan menggunakan duitnya untuk membangun Bukit Algoritma. Ingat yah, Silicon Valley Amerika itu ada campur tangan pemerintahnya (pendanaan dari pemerintah ke universitas dan militer Amerika bekerja sama dengan universitas dalam membangun alat perang).
Kedua, Bukit Algoritma memilih niche-nya. Jangan hajar semuanya.
Saat ini, Bukit Algoritma mau mengerjakan semuanya, yaitu teknologi nano, pertanian 4.0, drone, robotik, energi terbaharukan, kecerdasan buatan. Anggaran awalnya cuma Rp 18 trilyun. Itu tidak cukup.
Mending Bukit Algoritma fokus ke satu teknologi saja. Kalau bisa teknologi yang berkaitan dengan atom, bukan bit. Atom maksudnya peranti keras, bit maksudnya peranti lunak.
Jadi contohnya Bukit Algoritma didesain menjadi pusat pengembangan drone. Jadi hanya perintis yang berhubungan dengan drone yang diundang ke sini.
Atau Bukit Algoritma fokus ke pertanian 4.0. Jadi Bukit Algoritma mengundang perintis-perintis yang mengembangkan self-driving tractor, drone yang bisa menyemai pupuk, IoT yang memantau tanaman.
Jika Bukit Algoritma fokus ke perintis peranti keras, maka masih masuk akal jika pendiri perintis mau pergi ke sana. Tapi kalau pendiri perintis e-commerce atau SaaS diundang ke Bukit Algoritma, mereka pasti pikir-pikir. Kenapa aku mau pindah ke sana?
Salah satu faktor kenapa Bandung dan Yogyakarta menarik untuk menjadi kota markas perintis adalah mereka banyak hiburan. Di Yogyakarta, ada banyak cafe yang dipenuhi anak-anak muda. Terus ada juga restoran yang unik-unik. Di Yogyakarta, saya pernah menonton konser Raisa. Belum lagi faktor budaya Yogyakarta yang sangat unik dan susah ditiru.
Bagaimana Anda mengharapkan Sukabumi bersaing dengan kota besar seperti Bandung dan Yogyakarta (apalagi Jakarta)?
Jadi cara kedua untuk sukses adalah Bukit Algoritma didesain menjadi pusat perintis peranti keras (hardware) khusus.
Salah satu misi Bukit Algoritma adalah supaya generasi cemerlang Indonesia di luar negeri punya tempat untuk berkarya jika balik ke Indonesia. Tapi di jaman remote, orang Indonesia bisa kontribusi ke Indonesia sambil tetap tinggal di luar negeri. Misalnya karyawan perusahaan yang bermarkas di Indonesia bisa bekerja di Kosta Rika. Atau mereka tinggal di Kosta Rika, bekerja di GitLab dan kirim duit ke keluarga di Indonesia. Itu kan termasuk kontribusi?
Tapi untuk masalah hardware, remote masih belum bisa diterapkan. Jadi masih masuk akal jika Bukit Algoritma mengambil niche itu.
Kesimpulan
Silicon Valley di Amerika itu hampir tidak ada yang bisa mengalahkannya. SDM dan VC-nya levelnya beda. They’re on the league of their own. Tapi kita bisa membuat tujuan yang lebih realistis. Kembangkan industri software engineering dengan Silicon Valley sebagai pedoman. Kota-kota yang berpotensial menjadi pusat industri software engineering adalah Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Tapi dengan konsep remote, pusat fisik itu mungkin jadi tidak relevan lagi.
Jadi aku mendapat surat dari fans (awwww wadidawww π). Suratnya dalam bahasa Indonesia. Tapi untuk melindungi privasi fans saya, saya ubah kalimatnya dan terjemahkan ke bahasa Inggris:
Dear Pak Arjuna,
I’m one of your fans. Right now I’m X years old and work as a software engineer in a startup in Y sector. I have Z years experience.
I have a question about a crazy idea which is quite risky. I want to ask your opinion about this.
I’m planning to do double, triple, even 10+ jobs on remote working in many companies, and outsource to other people to do the jobs. I think that is a superior way to generate income if you can execute it well.
What do you think, Pak Arjuna? Is it possible? I have done my research and there are some people who have done it. But there is a possibility of failure as well.
I know you’re busy. Thanks for reading this email. I hope I can get your reply.
Best Regards, XXX
Surat fans
Nah, saya jawab di sini saja karena saya memang punya rencana untuk menulis tentang topik ini.
Remote ini adalah topik π₯π₯π₯. Kalau Anda mengikuti berita-berita tentang teknologi, maka Anda melihat pola di mana perusahaan pada umumnya mau karyawan-karyawannya balik kantor, sementara karyawan pada umumnya tetap mau bekerja di rumah. Ada pengecualian, di mana karyawan mau balik ke kantor atas keinginan sendiri, dan perusahaan lebih suka karyawan-karyawan bekerja di rumah. Tapi pada umumnya perusahaan (atau manajemen) suka WFO, karyawan suka WFH.
Oke, kembali ke surat fans tersebut, apa yang harus saya jawab?
Apakah saya harus menjawab dengan idealisme? Saya bisa mengutip kalimat dari sebuah film dan mengubahnya sedikit, “It profit a man nothing to give his soul for the whole world…. but for outsourcing jobs!“
Terus saya bisa bilang bahwa biasanya kontrak perjanjian kerja itu ada klausul di mana Anda tidak boleh meng-outsource pekerjaan Anda ke orang lain. Anda harus melakukan pekerjaan tersebut dengan darah dan keringat Anda sendiri.
Saya bisa mengkuliahi bahwa kejujuran adalah nilai-nilai yang dicari oleh perusahaan dari karyawan.
Tapi ketika menulis kalimat-kalimat di atas, saya bisa mendengar nada sinis dan sarkastik dari kalian, “Bro, cry me a river. You think companies are innocent? Do you really think they are the beacon of integrity and innovation? Lol.“
Betul sih, Anda dan saya sudah mendengar kisah ketika pandemi sedang puncak-puncaknya, perusahaan tetap memaksa karyawan untuk bekerja di kantor (WFO), padahal pekerjaan itu jelas-jelas bisa dikerjakan dari rumah. Perusahaan itu membahayakan kesehatan (dan mungkin nyawa) karyawan-karyawannya. Sementara rencana fans saya ini melanggar kontrak tapi tidak membahayakan kesehatan orang lain.
Di luar masalah pandemi ini, perusahaan juga tidak polos-polos amat. Sebuah perusahaan di fintech misalnya melakukan trik untuk mengakali auditor di tempat mereka. Ada cerita bahwa dari belakang (back-end), mereka mengintervensi proses logging untuk memuaskan hati auditor.
But two wrongs don’t make one right.
Betul. Mari kita lanjut pembahasan kita.
Adakah Orang yang Melakukannya?
Fans saya bilang dia sudah melakukan riset dan melihat bahwa ada sebagian orang yang berhasil melakukannya. Dia benar.
Mari kita lihat anekdot. Teman saya bercerita bahwa teman dia (teman temannya saya) memecat karyawan yang terbukti mengambil dua pekerjaan remote. Ketahuannya gara-gara dia salah kirim pesan ke manajer. Jadi pesan untuk manajer di perusahaan B dia kirim ke manajer di perusahaan A. Dia bekerja untuk perusahaan A dan perusahaan B. Kebetulan manajer di perusahaan A dan manajer di perusahaan B ini berteman. Jadi manajer yang terima pesan salah alamat ini curiga dan mengontak temannya. Ketahuanlah bahwa karyawan ini mengambil dua pekerjaan. Akhirnya dia dipecat.
Anekdot lain. Kenalan saya menerima pekerjaan dari sebuah perusahaan. Tapi dia tidak melepas pekerjaan lamanya. Tapi setelah beberapa bulan, dia melepas salah satunya. Tidak ketahuan sama sekali oleh dua perusahaan tersebut. Jadi ada beberapa bulan dia menerima gaji dari dua perusahaan.
Mari kita lihat kasus di luar anekdot.
There’s nothing new under the sun. Ada orang di Amerika Serikat yang meng-outsource pekerjaannya ke Tiongkok dan dengan waktu luangnya dia menonton video kucing. Tentu saja dia dipecat. Kalau dia tidak ketahuan, dia tidak akan masuk berita.
Fans saya itu bukanlah satu-satunya orang yang memikirkan rencana ini. Dari dulu sudah ada yang berkontemplasi untuk melakukan hal ini.
Kasusnya juga tidak sedikit.
Bahkan ada komunitasnya. π€£
Ada dua kategori dari kasus ini. Outsource pekerjaan dan mengambil lebih dari satu pekerjaan. Bisa saja orang cuma melakukan salah satu kategori ini. Kebetulan fans saya ini berniat melakukan dua kategori ini. Mari kita bedah setiap kategori.
Outsource pekerjaan
Orang bisa outsource pekerjaannya ke orang lain. Tapi dia tidak mengambil dua pekerjaan. Dengan waktu luangnya dia bisa menonton video kucing, main Genshin Impacts, menulis pantun, bikin meme.
Kenapa perusahaan tidak suka orang meng-outsource pekerjaannya? Biasanya berhubungan dengan kerahasiaan data perusahaan. Kode (source code) perusahaan itu adalah sumber keunggulan perusahaan. Dengan meng-outsource pekerjaan Anda, orang luar bisa mengintip rahasia perusahaan. Misalnya, oh ternyata perusahaan Gojek atau Traveloka melakukan pengurutan rute dengan algoritma Merge Sort. Maka perusahaan kompetitor bisa mencontek keunggulan mereka.
Bisa juga karena faktor insentif. Perusahaan membayar Anda Rp 30 juta per bulan. Tapi Anda membayar Rp 10 juta ke pemrogram di tempat lain. Asumsi perusahaan dalam membayar Anda itu adalah Anda cukup termotivasi untuk melakukan pekerjaan tersebut. Orang dengan bayaran Rp 10 juta mungkin motivasinya lebih asal-asalan.
Selain itu perusahaan sudah melakukan wawancara teknis terhadap Anda. Tapi orang yang di-outsource itu belum teruji oleh perusahaan. Jadi ada faktor kontrol kualitas.
Tentu saja kita bisa berandai-andai apa yang terjadi jika orang yang di-outsource oleh karyawan yang bekerja di perusahaan meng-outsource ke orang lain.
Ada lelucon. Perusahaan A mendapat kontrak membuat aplikasi web dari pemerintah daerah sebesar Rp 5 milyar. Terus perusahaan A lempar ke perusahaan B dengan harga Rp 3 milyar. Terus perusahaan B lempar ke perusahaan C dengan harga Rp 500 juta. Terus perusahaan C lempar ke freelancer dengan harga Rp 50 juta. Terus freelancer lempar ke temannya baru belajar pemrograman dengan harga Rp 10 juta. Terus temannya itu lempar ke tetangganya dengan harga Rp 3 juta. Terus tetangganya…. stackoverflow.
Hal ini juga akan membuat banyak orang semakin yakin dengan pilihan hidupnya, yaitu mending menjadi manajer/politisi daripada pembuat/engineer.
Di Indonesia, terdapat pandangan bahwa keahlian berpolitik itu bakal mendapatkan nilai lebih besar daripada pembuat (maker) / engineer. Makanya banyak orang lebih suka menjadi politisi ketimbang insinyur.
Tapi kan kita membahas manajer bukan politisi?
Apa definisi politisi? Orang yang menjalankan sistem pemerintahan. Apa definisi manajer? Orang yang mengatur pekerjaan.
Jadi akhirnya orang-orang Indonesia semakin kehilangan minat untuk menjadi engineer, yang mengakibatkan Indonesia semakin kekurangan engineer, yang mengakibatkan kita mengimpor engineer India.
Mengambil Dua (Atau Lebih) Pekerjaan
Kategori lain adalah orang itu mengambil dua pekerjaan remote sekaligus. Atau lebih. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan outsourcing karena orang yang mengambil dua pekerjaan itu tidak selalu meng-outsource ke orang lain. Dia bisa saja mengerjakan dua pekerjaan itu dengan keringat dan darahnya sendiri.
Bagaimana seandainya dia bisa mengerjakan pekerjaan di perusahaan A dengan efisien sehingga dia hanya butuh waktu 4 jam? Mungkin dia mengubah pola hidupnya, misalnya dia mulai minum suplemen Vitamin C, yang mengakibatkan otaknya bekerja 200% lebih kencang. Atau dia disambar petir sehingga dia mendapatkan kekuatan super di mana dia bisa bekerja jauh lebih efisien? Ini kembali ke pertanyaan filosofis. Apakah karyawan itu boleh melakukan hal lain di sisa 4 jam (asumsi kerja 8 jam sehari). Anggap saja dia tidak mengambil pekerjaan lain. Tapi dia main Genshin Impact. Atau dia bikin pantun. Apakah boleh?
Apakah perusahaan membayar karyawan itu berdasarkan lama bekerja atau nilai yang dihasilkan oleh karyawan tersebut?
Anda bertanya, mana mungkin orang bisa mengerjakan pekerjaan 8 jam dengan 4 jam? Anda bisa melakukannya dengan otomatisasi. Misalnya Anda disuruh mengisi data di berkas Excel. Anda bisa membuat script Python untuk melakukannya. Ada orang yang sudah melakukannya.
Jika saya bisa mengotomatisasi pekerjaan saya sehingga saya cuma butuh 2 atau 4 jam untuk melakukannya, apakah saya boleh bermain Genshin Impact atau bikin pantun atau bikin meme atau mengerjakan pekerjaan dari perusahaan lain dengan sisa waktu saya? Jika tidak, apakah hasil kerja saya bisa dianggap sebagai perpetuity? π€
Tapi memang ada perusahaan yang membayar Anda bukan atas nilai yang Anda berikan, tapi mereka membayar Anda atas loyalitas Anda. Jadi Anda harus tunjukkan loyalitas kepada perusahaan dengan berada di kantor 8-10 jam. Tidak masalah nilai yang Anda berikan itu tidak seberapa.
Pengusaha
Pembaca yang budiman mungkin berpikir, kenapa fans saya tidak dianjurkan untuk jadi pengusaha. Ketimbang melanggar kontrak kerja, dia sebaiknya jadi pengusaha software house atau software agency. Atau dia minta promosi jadi manajer ke perusahaan.
Ada beberapa alasan. Mungkin dia bukan anak orang kaya. Dia masih butuh gaji. Saya punya teman saya, anak orang kaya. Setelah kerja beberapa tahun, dia membuka usaha software house. Modalnya dari orang tua. Dia mendapat kliennya dengan bantuan oleh keluarganya.
Tapi kan tidak semua orang anak orang kaya.
Anda mungkin bilang, mau jadi pengusaha tidak boleh curang. Bukan anak orang kaya tidak berarti boleh melanggar aturan. Anda benar. Hidup memang tidak adil. Hanya karena Anda mendapatkan kondisi hidup yang tidak adil, tidak berarti Anda boleh melanggar aturan.
Tapi melihat kisah-kisah pengusaha yang sukses, salah satu faktor yang saya sering lihat adalah mereka melanggar aturan.
Banyak pengusaha yang mendapatkan banyak keuntungan dari penyelundupan (bawa barang dari luar negeri, tapi tidak bayar pajak). Ada teman saya yang punya kode etik seperti ini. Tidak apa berbisnis yang mengandung unsur penyelundupan karena Anda cuma merugikan pemerintah. Tapi haram berbisnis obat-obatan terlarang (drugs) karena bisa menghancurkan hidup orang lain.
Sebelum pandemi, banyak orang berbisnis jastip (jas titipan). Mereka jalan-jalan keluar negeri, misalnya ke Seoul atau Paris. Kemudian mereka membeli barang titipan dan membawanya ke Indonesia. Kemudian mereka mengirim barang tersebut ke klien mereka. Klien mereka membayar biaya premium tambahan. Apakah Anda pikir pebisnis jastip ini membayar pajak barang tersebut pada saat masuk ke Indonesia?
Ini adalah blog tentang dunia perintis (startup). Mari kita berbicara tentang perintis yang melanggar aturan. Salah satu perusahaan teknologi yang paling sukses adalah Gojek. Tahu tidak di hari-hari awalnya Gojek itu melanggar aturan. Motor dan kendaraan beroda dua bukan termasuk angkutan umum. Aturan ini tertuang di Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tapi akhirnya aturan ini dilunakkan. Kita bisa berandai-andai apa yang terjadi jika Nadiem Makarim patuh terhadap aturan 100%? Mungkin ketika dia mulai membangun Gojek, dia berpikir, “Wah, motor tidak boleh jadi angkutan umum. Kita tidak boleh melanggar peraturan.” Akhirnya dia batal membangun Gojek.
Pernah dengar kredo startup, “Ask for forgiveness rather than permission.“
Banyak perusahaan-perusahaan teknologi di Silicon Valley yang melanggar aturan kiri dan kanan untuk mengejar pertumbuhan (growth hacking at all cost). Nanti kapan-kapan saya cerita.
Anda bisa anggap fans saya ini memiliki naluri pengusaha. Dia melihat kesempatan dalam kesempitan.
Saya bisa bayangkan artikel saya menjadi materi TikTok. “Hati-hati terhadap karyawan remote. Mereka bakal outsource pekerjaannya. Mereka ingin mensabotase bisnis Anda.”
Oh ya, ngomong-ngomong tentang software house, bagi kalian yang berminat membangun software house, sebentar lagi saya akan menulis bab tentang itu.
Saat ini saya sedang menulis bab tentang NFT. Setelah itu saya akan menulis bab tentang software house. Bab ini didasarkan dari kisah nyata teman saya yang sukses membangun software house.
Efek Makro
Saya bisa bayangkan artikel saya ini adalah anugrah terindah kepada manajemen perusahaan yang tidak suka dengan kerja remote. Mereka ingin karyawan-karyawan balik ke kantor tapi karyawan-karyawan sudah keenakan kerja dari rumah. Kan produktivitas tidak turun. Kenapa harus balik ke kantor.
Benar juga sih. Mereka jadi bingung bagaimana membalas argumen karyawan pro-WFH. Sampai ada artikel saya.
Artikel saya lalu dijadikan sebagai referensi untuk memaksa karyawan-karyawan kembali ke kantor. Benar kan? Mereka tidak bisa dipercaya kerja dari rumah.
Saya bisa bayangkan townhall lewat Zoom di perusahaan A. CEOnya memberi wejangan, “Linkedinfluencer, Arjuna Sky Kok, menulis artikel yang bagus tentang mudharat kerja dari rumah. Maka dari itu, setelah vaksin, kalian harus kembali ke kantor. No debate.”
Atau karyawan masih boleh kerja dari rumah, tapi laptop mereka mesti dipasang aplikasi spyware yang mengirim gambar mereka dari webcam setiap beberapa menit, untuk memastikan mereka benar-benar bekerja.
Kesimpulan
Anda bisa pastikan bakal banyak drama tentang kerja remote. Ada hubungan antagonis antara karyawan dan perusahaan. Tidak semua, tentu saja. Tapi saya bisa merasakan ketegangan di antara mereka.
Tahun itu tahun 2036. Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade 2036.
Istri saya hamil tua. Bisnis saya (SwanLove, PredictSalary, blog ini, Pembangun) tidak menghasilkan cukup uang. Akhirnya saya mendengar kata istri saya untuk melepaskan impian saya menjadi pengusaha startup dan mencari pekerjaan sebagai software engineer. Saya melamar di perusahaan YYY di mana fans saya menjadi CEOnya. Perusahaan dia sesukses Crossover. Akhirnya saya diterima karena dia suka membaca blog saya.
Saat koding di hari pertama, saya mulai berpikir, “Bagaimana jika saya meng-outsource pekerjaan saya ke mahasiswa?” π