Jadi 2 tahun lalu, saya membuat posting paling viral di Linkedin. Posting itu mendapat 1600 reaksi, 162 ribu jumlah terlihat, dan 177 komentar. Setelah itu sampai sekarang, saya tidak dapat membuat posting yang mengalahkan posting tersebut.
Berikut posting terviral sepanjang sejarah saya menjadi Linkedinfluencer:
Posting itu saking viralnya sampai membuat aku dihubungi oleh seorang jurnalis dari Kompas. Dan posting aku pun masuk Kompas (daring yah, bukan cetak).
Nah, aku menulis posting itu cuma buat ekspresi diri. Iseng-iseng saja. Buat lucu-lucuan saja. Tapi konten posting itu ternyata bagi banyak orang dianggap nyolot dan menyinggung perasaan orang. Setelah dipikir-pikir, iya sih. Bahasa Inggrisnya obnoxious. Cara menulis aku membakar emosi orang karena konten ini berhubungan dengan kelas (status sosial). Kelas lulusan universitas ternama vs kelas “di luar itu”. Tapi cara aku menulis itu juga yang bikin konten itu viral. Menjadi influencer itu kadang harus nyebelin biar bisa viral. 😝
Kalau Anda pergi ke posting Linkedin itu, Anda bisa lihat banyak komentar yang bernada seperti ini, “Aku bukan dari universitas-universitas tersebut. Tapi aku juga sukses,” dan “Aku bukan lulusan universitas. Tapi aku lebih sukses daripada lulusan universitas.“
Kita akan membahas tentang peran sebuah universitas terhadap kesuksesan orang. Gulung ke bagian bawah kalau kalian tidak sabar.
Tapi sementara ini mari kita lihat statistik terkini. Apakah sudah berubah. Statistik ini diambil dari Linkedin. Cari perusahaannya. Terus klik tab People. Lihat bagian “Where they studied“. Perhatikan universitas mana yang mengambil posisi tiga teratas.
Tokopedia
Bukalapak
Traveloka
Gojek
Blibli
OVO
Tiket.com
Apa yang Anda bisa simpulkan? Jika Anda bicara karyawan unicorn, maka lulusan universitas yang paling banyak diterima adalah:
- Universitas Indonesia
- Institut Teknologi Bandung
- Universitas Bina Nusantara
Nah, di posting viral Linkedin saya, ada komentar seperti ini, “Apa gunanya kesuksesan universitas yang memproduksi banyak karyawan yang diterima di unicorn? Mending jadi pengusaha.” Jadi yang berkomentar ini adalah lulusan universitas di luar tiga universitas tersebut. Dan dia adalah pengusaha.
Tapi saya sudah menganalisa pendiri perintis itu kebanyakannya dari universitas mana. Tiga universitas itu tetap mendominasi. Betul, posisi mereka tidak selalu posisi tiga teratas karena ada yang namanya *batuk* lulusan Amerika *batuk*. 😘
Terus saya juga sudah menganalisa eksekutif (C-level dan VP-level) di perusahaan teknologi besar itu kebanyakan dari universitas mana. Tiga universitas itu juga tetap mendominasi.
Berikut kesimpulan saya. Kalau ini adalah Olimpiade universitas terbaik untuk dunia startup di Indonesia, maka pemenang medali emas, medali perak, medali perunggu-nya adalah:
- ITB
- UI
- Binus
Mungkin ada yang keberatan dengan pemenang medali emas, yaitu ITB. Harusnya UI yang juara. Tapi saya mempertimbangkan juga faktor lulusan ITB yang lebih sedikit daripada lulusan UI. Selain itu, sudah ada pendiri unicorn yang berasal dari ITB (pendiri Bukalapak). Tapi belum ada alumni UI yang berhasil menjadi pendiri unicorn.
Tapi kalau Anda mau pasang UI sebagai juara 1, yah silakan. Tidak perlulah kita bergelut 🤼 soal ini. 😝
Nah, mari kita bahas apakah kuliah perlu menjadi syarat untuk sukses (tidak harus di dunia perintis, tapi di hidup pada umumnya). Hal ini untuk menanggapi komentar-komentar di posting Linkedin saya yang sudah saya sebutkan.
Perlukah Kuliah di Universitas Ternama?
Untuk sukses, perlukah kita kuliah di universitas ternama seperti Stanford, MIT, Carnegie Mellon, Oxford, ITB, UI?
Ada yang mengambil contoh bahwa ada orang yang sukses tapi tidak kuliah di universitas ternama. Betul, ada. Dari analisa di atas, kalian juga bisa lihat ada orang yang berasal dari universitas yang kurang terkenal, tapi bisa jadi pendiri perintis, bisa jadi eksekutif di unicorn, bisa jadi karyawan di unicorn.
Tapi kalau kita bicara statistik, nah, ceritanya berbeda. Kalau Anda kuliah di tiga universitas tersebut, maka peluang Anda untuk sukses di dunia perintis menjadi lebih besar. Tapi kalau Anda bukan lulusan universitas ternama, tidak berarti Anda tidak bisa sukses.
Kenapa ITB, UI, dan Binus bisa secara konsisten menghasilkan lulusan yang sukses (entah sebagai karyawan, eksekutif, pendiri, pengusaha) di dunia teknologi, secara pasti saya tidak tahu. Tapi mungkin dosen-dosennya bagus dalam mengajar.
Masih ingat Onno W. Purbo pernah bilang salah satu alasan kenapa Indonesia tidak punya banyak orang yang jago di IT adalah karena kebanyakan dosen mengajarnya tidak bagus. His words, not mine.
“Ngga banyak dosen yang bisa ngajar bagus dan bener gitu. Banyak dosen yang ngajar ecek-ecek.”
Onno W. Purbo
Jadi jika Anda kuliah di universitas yang dosennya mengajar ecek-ecek, maka peluang Anda untuk sukses menjadi lebih redup. Tapi Anda masih bisa tetap sukses. Anda bisa belajar sendiri kan? Anda bisa belajar dari buku, Youtube, dan lain-lain.
Tapi berapa banyak orang yang memiliki dorongan tinggi seperti itu? Hitunglah statistiknya. Jumlahnya rendah.
Selain itu, ada faktor networking yang cuma ada di universitas ternama. Networking di sini maksudnya orang yang bisa memberi Anda rekomendasi ke perusahaan atau investor.
Misalnya, Anda kuliah di ITB. Terus Anda bikin aplikasi web yang keren. Terus dosen melihat potensi Anda. Dia menghubungkan Anda dengan investor. Boom. Jadilah perintis. Atau mungkin dia mendorong Anda untuk ikut lomba hackathon. Nama Anda jadi populer. Setelah lulus, Anda diperebutkan unicorn.
Tapi bandingkan ketika Anda kuliah di universitas XYZ. Anda bikin compiler yang bisa mengkompilasi bahasa daerah menjadi bahasa Python. Tapi tidak ada yang menghubungkan Anda dengan investor. Jadilah potensi Anda terlewatkan.
Yeah, life is not fair, buddy.
Perlukah Kuliah?
Sekarang mari kita ubah pertanyaannya. Perlukah kita kuliah untuk sukses? Apakah lulusan SMU/SMK bisa sukses juga?
Mari kita ambil contoh Susi Pudjiastuti. Beliau menjadi menteri di periode 2014-2019 tapi beliau tidak menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Beliau cuma lulusan SMP. Tapi beliau termasuk sukses kan? Sebelum menjadi menteri, beliau menjadi pengusaha perikanan yang sukses sampai mampu membeli pesawat.
Bayangkan saya bilang, “Wah lulusan SMP saja bisa sukses. Mari kita memberi nasihat kepada anak-anak muda untuk tidak perlu sekolah sampai SMA. Cukup sekolah sampai SMP saja.” Apa pendapat Anda?
Nggak gitu kan?
Anda harus lihat bahwa orang seperti kasus Bu Susi tidak bisa diekstrapolasi ke kalangan umum. Tahu tidak kenapa dia tidak lulus SMA? Karena dia ikut demo mendukung golput di pemerintahan Soeharto. Hal itu menunjukkan dia berani mengambil resiko. Ini salah atribut penting seorang pengusaha. Selain itu dia juga berasal dari keluarga pedagang sapi. Jadi setidaknya dia memiliki safety net. Faktor penting lainnya adalah dia ulet bekerja.
Kebanyakan orang memiliki pemahaman yang salah terhadap realita karena kurang mengerti statistik. Betul ada kasus seperti Bu Susi, tapi itu adalah outlier. Secara statistik, ada perbedaan penghasilan antara lulusan universitas dan lulusan SMU. Lulusan universitas mendapatkan penghasilan lebih besar daripada lulusan SMU.
Ada orang di timeline Linkedin saya yang kadang-kadang posting bahwa dia sering diremehkan karena bukan lulusan universitas (tidak kuliah). Ada nada kepahitan di posting-postingnya. Terus dia bercerita bahwa dia berhasil menjadi sukses, lebih sukses daripada lulusan-lulusan universitas.
Saya bisa berempati terhadap dia. Saya lulusan Binus, tapi saya juga kadang-kadang diremehkan karena bukan lulusan Amerika di lingkungan startup di Jakarta. Jadi kira-kira saya bisa merasakan emosi dia.
Tapi statistik adalah statistik. Kasus outlier tidak boleh diekstrapolasi ke masyarakat umum.
Kembali ke kasus Bu Susi, coba Anda cek latar belakang pendidikan menteri-menteri kita. Kebanyakan lulusan apa?
Jumlah lulusan sarjana di Indonesia itu masih rendah. Makanya orang-orang Indonesia perlu didorong untuk kuliah. Tentu saja, saya mengerti, tidak semua orang mampu kuliah. Makanya ada beasiswa, pinjaman dana pendidikan, Income Sharing Agreement.
Nah, bagi orang yang tidak mengenyam pendidikan di universitas, barulah kita menyemangati mereka dengan kisah Bu Susi. Tidak kuliah, no problem. Anda masih bisa sukses.
Idealnya, nasihat terhadap anak muda itu seperti ini, “Kalau bisa kuliahlah. Kalau bisa, kuliah di universitas ternama. Tapi kalau cuma lulusan SMA/SMK, jangan berkecil hati. Masih bisa sukses kok dalam hidup.” (Terms and Conditions Apply)
Tapi Mungkin Kuliah itu Tidak Perlu
Jadi ada orang yang skeptis terhadap pendidikan tingkat lanjut. Contohnya Peter Thiel (pendiri PayPal). Dia memberi $100.000 (Rp 1,4 milyar) bagi anak muda untuk putus kuliah supaya bisa jadi pengusaha.
Berikut situs Thiel Fellowship:
Kalau Anda lebih muda daripada 22 tahun, Anda bisa memohon duit $100.000 ini untuk mendirikan perusahaan. Tapi Anda harus keluar (drop out) dari kuliah.
Nah, salah satu lulusan Thiel Fellowship adalah Vitalik Buterin (pencipta Ethereum)!
Pendiri Figma juga lulusan Thiel Fellowship.
Tapi kita harus hati-hati terhadap kasus seperti ini. Mereka ini adalah orang yang bakal sukses entah kuliah atau tidak. Makanya kasus seperti Bill Gates dan Mark Zuckerberg yang drop out itu tidak bisa diekstrapolasi ke kalangan umum. Sebelum kalian putus kuliah, apakah kalian serajin dan sepintar mereka? Keluarga mereka juga lumayan berada.
Tapi Kuliah Mungkin Bukan Pilihan Terbaik
Kalau kalian membaca berita-berita tentang pendidikan, banyak kegelisahan di dunia pendidikan sejak pandemi menghantam bumi ini. Kenapa orang kuliah? Selain mendapat gelar sarjana, itu adalah kesempatan untuk menjadi orang dewasa tanpa tinggal bersama orang tua (kebebasan). Biasanya orang kuliah itu harus merantau. Jadi tidak tinggal serumah dengan orang tuah lagi. Yeah!!!! Kuliah juga menjadi kesempatan untuk menjalin hubungan dengan orang lain (networking).
Nah, kalau kuliahnya online, what’s the point?
Sekalian saja, tidak perlu kuliah. Belajar sendiri dari Khan Academy dan Youtube. Banyak materi pembelajaran gratis terutama di bidang ilmu komputer. Anda bisa belajar Ilmu Komputer (Computer Science) dengan mandiri.
Betul, kalau Anda ingin jadi dokter atau pengacara, apa boleh buat. Tapi kalau Anda ingin jadi software engineer dan bekerja di Gojek, Anda tidak perlu kuliah kan? Kurikulum tersedia di internet. Yang perlu Anda butuhkan adalah disiplin, komputer, dan tempat yang tenang untuk belajar.
Ada banyak startup yang bergerak di bidang pendidikan. Anda bisa membayar lebih murah untuk belajar ilmu ketimbang Anda kuliah.
Lalu Anda bilang, kuliah itu perlu karena Anda butuh kredensial. HRD tidak akan meloloskan Anda untuk bekerja di perusahaan kalau Anda tidak punya surat kelulusan kuliah.
Betulkah demikian? Tidak salah 100%, tapi tidak benar 100% juga. Ada kok lulusan SMK yang kerja di Bukalapak. Saya sudah membaca dokumen IPO Bukalapak.
Tapi kalau Anda memperhatikan latar belakang pendidikan eksekutif di Bukalapak, rata-rata mereka lulusan S2 dan S1. So there’s that.
Nah, kabar baik bagi Anda yang tidak suka kuliah, di “sebagian tempat”, orang-orang sudah tidak memperhatikan surat kelulusan kuliah Anda.
Sebagai software engineer, Anda bisa bikin portfolio di GitHub/GitLab. Sebagai desainer, Anda bisa bikin portfolio di Behance.
Nah, kalau Anda menjadi software engineer di bagian back-end engineering, kredensial mungkin tidak terlalu penting, tapi kalau Anda bergerak di bidang Deep Learning / Data Science / Machine Learning, kredensial masih dianggap penting. Kalau crypto, tidak terlalu penting.
Networking? Anda juga bisa melakukan networking dengan orang-orang penting di internet, misalnya lewat Twitter, Discord, GitHub, Linkedin.
Kesimpulan
Kuliah penting atau tidak penting? Anda mungkin jadi tambah bingung setelah membaca artikel blog ini. Di satu pihak, saya bilang kuliah itu penting. Di tempat lain, saya bilang, kuliah itu tidak penting.
There are nuances in this problem.
Kalau saya jadi figur publik, misalnya Presiden atau Menteri Pendidikan, maka saya akan bilang, kuliah itu penting. Karena saya berbicara dengan masyarakat umum.
Tapi seandainya ada mahasiswi yang memiliki karakter seperti Bu Susi, dan dia bilang dia bosan kuliah. Dia pengen bikin startup dan putus kuliah saja. Kemungkinannya saya akan mendukungnya.
Kita juga tidak bisa tergantung terhadap universitas untuk memperbaiki kualitas SDM kita. Makanya saya menulis visi saya, yaitu Pendidikan Terdesentralisasi. Orang bisa belajar dari bootcamp atau Youtuber.